Seni yang Tumbuh dari Batu Bertanah
Silvester Petara Hurit ; Pengamat
Seni Pertunjukan; Tinggal di Bandung
|
KOMPAS,
08 November 2015
Melintasi Flores,
terutama bagian timur dan gugusan pulau di sekitarnya: Solor, Adonara,
Lembata, pada puncak musim kemarau tampak kuning membentang sampai ke
punggung bukit-bukit. Rumput dan pepohonan mengering dipanggang terik
kemarau. Curah hujan yang rendah, angin kemarau, dan ladang-ladang penuh
bebatuan membuat orang bertanya, bagaimana manusia bertahan di atas batu-batu
bertanah?
Menyaksikan perhelatan
seni seperti Festival Seni Budaya Lamaholot di Lembata, akhir September 2015,
yang melibatkan Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Alor-setelah sebulan
sebelumnya Festival Seni Budaya Flores Timur, di Larantuka, Flores Timur-kita
temukan daya hidup yang terpancar dari batu-batu bertanah. Leluhur Lamaholot,
demikian suku utama yang mendiami Flores Timur daratan, Solor, Adonara, dan
tersebar sampai ke Pantar dan Alor, telah menemukan daya seni dan menempatkannya
sebagai tenaga hidup menghadapi musim hujan yang pendek. Alam yang keras
membentuk watak manusia Lamaholot yang keras dan tradisi seninya telah
menenun jiwa mereka menjadi masyarakat periang penuh perayaan dan sukacita
seni.
Oreng yang merupakan seni
menyampaikan kisah hidup lewat nyanyian secara gaib langsung mempertautkan
kesadaran orang Flores Timur, Alor, dan Lembata dalam satu nada batin akan
ikatan kekerabatan yang kuat pada pembukaan Festival Budaya Lamaholot di
Lewoleba, Lembata. Nyanyian, tanpa harus dipahami maknanya, dalam sekejap
mampu membuka sekian lapis kesadaran bahwa semua mereka bersaudara; berasal
dari satu pokok keturunan. Darah yang sama mengalir dalam diri mereka yang
membangkitkan perasaan murni untuk saling rawat, saling jaga, dan saling
topang.
Menyanyi sambil
menari, berpantun, dan mengolah kata telah menjadi bagian penting dari
tradisi seni orang Lamaholot. Seni bukan sekadar urusan ekspresi, melainkan
penemuan besar kearifan, pengetahuan, dan ekspresi religiositas masyarakat.
Dalam perhelatan Seni-Budaya Flores Timur, dari desa-desa masih tampil dengan
gagah sejumlah orang tua berusia 90-an menari dan menyanyi mengisahkan
suka-duka hidup mereka sebagai petani ladang dalam keterpautan batin yang
indah dengan Nogo Ema/Tonu Wujo Sang Ibu Asal/Ibu Padi Pemberi Kesuburan dan
Kesejahteraan. Bagi mereka, panggung bukan soal seni tontonan, melainkan
pernyataan diri, ekspresi batin, serta iman akan kerahiman alam.
Bagi petani yang
membuka ladang di lahan perbukitan penuh batu, seni menjadi sarana membangun
komunikasi dengan matahari, penguasa gunung, laut, dan empat penjuru mata
angin. Agar panas menguapkan air menjelma awan. Dan supaya angin meniupkan
awan nun jauh dari arah lautan lepas melintasi langit meliputi gunung dan
menyebarkan butiran-butiran hujan sehingga benih padi dapat tumbuh subur
memenuhi ladang, memberi berkah dan kehidupan buat mereka. Maka, seluruh
aktivitasnya dipenuhi madah pujian, syair-syair indah dan tarian-tarian. Pun
ketika pagi dan senja, di atas pohon lontar mereka melantunkan puja-puji agar
dari sulur bunganya menetes minuman yang nikmat berlimpah buat anak-anaknya.
Nyanyian, musik, dan tarian memikat hati alam, mendatangkan kemurahan dan
keberkahan.
Puisi lisan
Di kampung-kampung,
orang yang menguasai puisi lisan serta mampu mendaraskan atau menyanyikannya,
apalagi yang berhubungan dengan kisah-kisah mitologis, diyakini memiliki
kekuatan lebih. Bisa menyembuhkan yang sakit, mengusir hama, mendatangkan
hujan, menghentikan badai. Seni menjadi jalan untuk sampai dan mengalami
rahasia kemurahan alam. Padi hasil ladang yang tak seberapa banyaknya
dimuliakan melalui tarian dan nyanyian agar cukup dikonsumsi sampai masa
panen berikutnya. Seni membuat yang sedikit jadi banyak, yang kurang jadi
lebih, dan yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Seni menawarkan cara
hidup yang imajinatif di atas lahan kering berbatu-batu. Tradisi seni
mengapungkan optimisme hidup di atas kerasnya kenyataan alam. Bahwa hidup
dapat ditenun dengan indah dari realitas yang tampak tak menjanjikan.
Di atas bumi yang
keras, ikatan persaudaraan dan kekerabatan dijaga demi terus berlangsungnya
rantai tolong-menolong, saling rasa, saling tanggung. Pun dengan alam
lingkungan yang padanya harapan hidup digantungkan. Di atas batu bertanah,
tumbuh subur penghargaan atas kehidupan, rasa solider dan penerimaan yang
besar terhadap perbedaan.
Di atas batu bertanah,
pada rambut, raut muka, warna kulit, dan bentuk tubuh dapat dikenali hidup
dan berbaurnya pelbagai asal-usul manusia: Papua, Jawa, Bugis, Melayu, China,
India, Eropa, dan sebagainya. Di atas batu bertanah lahir sekian banyak corak
motif dan ragam hias kain tenunnya. Di atas batu bertanah umat Islam dengan
setia dan penuh tanggung jawab menjaga keamanan prosesi keagamaan saudaranya
yang Katolik. Bahkan dalam tradisi perang Lamaholot pada masa lalu, setelah
lewat waktu perang yang disepakati, dalam hitungan menit, kedua pihak yang
berperang duduk minum tuak bersama dan bersenda gurau dengan mesranya. Darah
dan kematian membangkitkan kesadaran akan kehidupan, akan pentingnya
rekonsiliasi dan tatanan baru yang lebih dinamis, berkualitas, dan
berpengharapan.
Merawat sukacita
Seni telah mengobarkan
dan merawat sukacita masyarakat. Sukacita itulah yang membuat beban berat
jadi ringan. Terik matahari tak menyurutkan niat untuk bekerja dan tanah
berbatu tak kuasa menahan gairah untuk mencipta. Mimpi dan kreativitas lahir
serta membiak dengan suburnya.
Sukacita seni telah
mengantar mereka pada suatu ekspresi iman yang otentik pada alam dan Sang Penguasa
Hidup. Beriman artinya bekerja dengan memahat harapan di cadas batu. Beriman
artinya bersukacita. Sukacita memungkinkan lebah hutan yang ganas setia
memberikan sari madunya bagi mereka. Pun ratusan ikan paus bermigrasi
melintasi lautnya senantiasa merelakan satu-dua ekor dari kawanannya
ditangkap sebagai berkah bagi masyarakat yang dengan iman membangun hidup di
atas batu-batu keras.
Seni telah mengajarkan
bahwa hidup tidaklah dibangun lewat litani keluh kesah. Tangisan kematian
menjelma renungan hidup. Berkisah tentang nasib, perjalanan, dan suka-duka
hidup dari yang telah berpulang ke rahim bunda. Bumi adalah bunda kehidupan.
Muasal dan akhir dari kehidupan. Maka devosi terhadap kedewian ilahi tumbuh
dan mengakar dengan kuatnya. Corak kekatolikannya kental dengan spirit devosi
kepada Bunda Maria. Pada ibu, pada kepercayaan yang teguh terhadap bumi dan
semesta, dasar hidup dibangun dan dirawat.
Kekayaan seni,
ekspresi, dan daya hidup masyarakat Lamaholot yang mendiami salah satu dari
sekian gugus kepulauan di wilayah timur Indonesia selama ini diabaikan dalam
desain pembangunan. Potensi wilayah seringnya hanya dibaca dan diukur dari
parameter ekonomi dan kekuasaan. Yang diteropong adalah bumi Lamaholot yang
kadung tercitrakan sebagai daerah kering, miskin, tertinggal, rawan gizi
buruk, dan rentan konflik antarkampung.
Ironis bahwa khazanah
seni yang telah berproses dan dimatangkan dalam sepak terjang masyarakatnya
tidak dilihat sebagai kekayaan yang luar biasa. Kreativitas yang telah
mentradisi dan hidup dari generasi ke generasi dipandang dengan teropong yang
buruk. Teropong buruk senantiasa menangkap obyek yang juga buruk. Seni yang
indah penuh sukacita, yang tumbuh secara demikian mengagumkan di atas
batu-batu bertanah selamanya akan berlalu dari manusia yang mata, hati, dan
otaknya batu. Tak tergetar, tak tersentuh, tak punya keharuan, rasa kagum dan
hormat terhadap segala kehidupan yang tumbuh dan menggeliat indah di atas
batu-batu bertanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar