Selasa, 10 November 2015

Seni yang Tumbuh dari Batu Bertanah

Seni yang Tumbuh dari Batu Bertanah

Silvester Petara Hurit  ;   Pengamat Seni Pertunjukan; Tinggal di Bandung
                                                     KOMPAS, 08 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Melintasi Flores, terutama bagian timur dan gugusan pulau di sekitarnya: Solor, Adonara, Lembata, pada puncak musim kemarau tampak kuning membentang sampai ke punggung bukit-bukit. Rumput dan pepohonan mengering dipanggang terik kemarau. Curah hujan yang rendah, angin kemarau, dan ladang-ladang penuh bebatuan membuat orang bertanya, bagaimana manusia bertahan di atas batu-batu bertanah?

Menyaksikan perhelatan seni seperti Festival Seni Budaya Lamaholot di Lembata, akhir September 2015, yang melibatkan Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Alor-setelah sebulan sebelumnya Festival Seni Budaya Flores Timur, di Larantuka, Flores Timur-kita temukan daya hidup yang terpancar dari batu-batu bertanah. Leluhur Lamaholot, demikian suku utama yang mendiami Flores Timur daratan, Solor, Adonara, dan tersebar sampai ke Pantar dan Alor, telah menemukan daya seni dan menempatkannya sebagai tenaga hidup menghadapi musim hujan yang pendek. Alam yang keras membentuk watak manusia Lamaholot yang keras dan tradisi seninya telah menenun jiwa mereka menjadi masyarakat periang penuh perayaan dan sukacita seni.

Oreng yang merupakan seni menyampaikan kisah hidup lewat nyanyian secara gaib langsung mempertautkan kesadaran orang Flores Timur, Alor, dan Lembata dalam satu nada batin akan ikatan kekerabatan yang kuat pada pembukaan Festival Budaya Lamaholot di Lewoleba, Lembata. Nyanyian, tanpa harus dipahami maknanya, dalam sekejap mampu membuka sekian lapis kesadaran bahwa semua mereka bersaudara; berasal dari satu pokok keturunan. Darah yang sama mengalir dalam diri mereka yang membangkitkan perasaan murni untuk saling rawat, saling jaga, dan saling topang.

Menyanyi sambil menari, berpantun, dan mengolah kata telah menjadi bagian penting dari tradisi seni orang Lamaholot. Seni bukan sekadar urusan ekspresi, melainkan penemuan besar kearifan, pengetahuan, dan ekspresi religiositas masyarakat. Dalam perhelatan Seni-Budaya Flores Timur, dari desa-desa masih tampil dengan gagah sejumlah orang tua berusia 90-an menari dan menyanyi mengisahkan suka-duka hidup mereka sebagai petani ladang dalam keterpautan batin yang indah dengan Nogo Ema/Tonu Wujo Sang Ibu Asal/Ibu Padi Pemberi Kesuburan dan Kesejahteraan. Bagi mereka, panggung bukan soal seni tontonan, melainkan pernyataan diri, ekspresi batin, serta iman akan kerahiman alam.

Bagi petani yang membuka ladang di lahan perbukitan penuh batu, seni menjadi sarana membangun komunikasi dengan matahari, penguasa gunung, laut, dan empat penjuru mata angin. Agar panas menguapkan air menjelma awan. Dan supaya angin meniupkan awan nun jauh dari arah lautan lepas melintasi langit meliputi gunung dan menyebarkan butiran-butiran hujan sehingga benih padi dapat tumbuh subur memenuhi ladang, memberi berkah dan kehidupan buat mereka. Maka, seluruh aktivitasnya dipenuhi madah pujian, syair-syair indah dan tarian-tarian. Pun ketika pagi dan senja, di atas pohon lontar mereka melantunkan puja-puji agar dari sulur bunganya menetes minuman yang nikmat berlimpah buat anak-anaknya. Nyanyian, musik, dan tarian memikat hati alam, mendatangkan kemurahan dan keberkahan.

Puisi lisan

Di kampung-kampung, orang yang menguasai puisi lisan serta mampu mendaraskan atau menyanyikannya, apalagi yang berhubungan dengan kisah-kisah mitologis, diyakini memiliki kekuatan lebih. Bisa menyembuhkan yang sakit, mengusir hama, mendatangkan hujan, menghentikan badai. Seni menjadi jalan untuk sampai dan mengalami rahasia kemurahan alam. Padi hasil ladang yang tak seberapa banyaknya dimuliakan melalui tarian dan nyanyian agar cukup dikonsumsi sampai masa panen berikutnya. Seni membuat yang sedikit jadi banyak, yang kurang jadi lebih, dan yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Seni menawarkan cara hidup yang imajinatif di atas lahan kering berbatu-batu. Tradisi seni mengapungkan optimisme hidup di atas kerasnya kenyataan alam. Bahwa hidup dapat ditenun dengan indah dari realitas yang tampak tak menjanjikan.

Di atas bumi yang keras, ikatan persaudaraan dan kekerabatan dijaga demi terus berlangsungnya rantai tolong-menolong, saling rasa, saling tanggung. Pun dengan alam lingkungan yang padanya harapan hidup digantungkan. Di atas batu bertanah, tumbuh subur penghargaan atas kehidupan, rasa solider dan penerimaan yang besar terhadap perbedaan.

Di atas batu bertanah, pada rambut, raut muka, warna kulit, dan bentuk tubuh dapat dikenali hidup dan berbaurnya pelbagai asal-usul manusia: Papua, Jawa, Bugis, Melayu, China, India, Eropa, dan sebagainya. Di atas batu bertanah lahir sekian banyak corak motif dan ragam hias kain tenunnya. Di atas batu bertanah umat Islam dengan setia dan penuh tanggung jawab menjaga keamanan prosesi keagamaan saudaranya yang Katolik. Bahkan dalam tradisi perang Lamaholot pada masa lalu, setelah lewat waktu perang yang disepakati, dalam hitungan menit, kedua pihak yang berperang duduk minum tuak bersama dan bersenda gurau dengan mesranya. Darah dan kematian membangkitkan kesadaran akan kehidupan, akan pentingnya rekonsiliasi dan tatanan baru yang lebih dinamis, berkualitas, dan berpengharapan.

Merawat sukacita

Seni telah mengobarkan dan merawat sukacita masyarakat. Sukacita itulah yang membuat beban berat jadi ringan. Terik matahari tak menyurutkan niat untuk bekerja dan tanah berbatu tak kuasa menahan gairah untuk mencipta. Mimpi dan kreativitas lahir serta membiak dengan suburnya.

Sukacita seni telah mengantar mereka pada suatu ekspresi iman yang otentik pada alam dan Sang Penguasa Hidup. Beriman artinya bekerja dengan memahat harapan di cadas batu. Beriman artinya bersukacita. Sukacita memungkinkan lebah hutan yang ganas setia memberikan sari madunya bagi mereka. Pun ratusan ikan paus bermigrasi melintasi lautnya senantiasa merelakan satu-dua ekor dari kawanannya ditangkap sebagai berkah bagi masyarakat yang dengan iman membangun hidup di atas batu-batu keras.

Seni telah mengajarkan bahwa hidup tidaklah dibangun lewat litani keluh kesah. Tangisan kematian menjelma renungan hidup. Berkisah tentang nasib, perjalanan, dan suka-duka hidup dari yang telah berpulang ke rahim bunda. Bumi adalah bunda kehidupan. Muasal dan akhir dari kehidupan. Maka devosi terhadap kedewian ilahi tumbuh dan mengakar dengan kuatnya. Corak kekatolikannya kental dengan spirit devosi kepada Bunda Maria. Pada ibu, pada kepercayaan yang teguh terhadap bumi dan semesta, dasar hidup dibangun dan dirawat.

Kekayaan seni, ekspresi, dan daya hidup masyarakat Lamaholot yang mendiami salah satu dari sekian gugus kepulauan di wilayah timur Indonesia selama ini diabaikan dalam desain pembangunan. Potensi wilayah seringnya hanya dibaca dan diukur dari parameter ekonomi dan kekuasaan. Yang diteropong adalah bumi Lamaholot yang kadung tercitrakan sebagai daerah kering, miskin, tertinggal, rawan gizi buruk, dan rentan konflik antarkampung.

Ironis bahwa khazanah seni yang telah berproses dan dimatangkan dalam sepak terjang masyarakatnya tidak dilihat sebagai kekayaan yang luar biasa. Kreativitas yang telah mentradisi dan hidup dari generasi ke generasi dipandang dengan teropong yang buruk. Teropong buruk senantiasa menangkap obyek yang juga buruk. Seni yang indah penuh sukacita, yang tumbuh secara demikian mengagumkan di atas batu-batu bertanah selamanya akan berlalu dari manusia yang mata, hati, dan otaknya batu. Tak tergetar, tak tersentuh, tak punya keharuan, rasa kagum dan hormat terhadap segala kehidupan yang tumbuh dan menggeliat indah di atas batu-batu bertanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar