Polemik Pelobi
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 11 November 2015
Kunjungan Presiden
Joko Widodo (Jokowi) selama dua hari ke Amerika Serikat (AS) menyisakan
polemik. Tulisan yang dirilis seorang akademisi dari Program Studi Politik
dan Hubungan Internasional di SOAS University of London, Dr Michael Buehler,
menyatakan bahwa kunjungan Presiden RI telah melibatkan kelompok pelobi
berbayar. Penyangkalan dari Kementerian Luar Negeri ternyata tidak meredam
berita tersebut. Justru muncul rasa ingin tahu yang lebih besar tentang
kebenaran perihal digunakannya jasa perusahaan dalam menyukseskan kunjungan
tersebut.
Pertama-tama mari kita
pahami konteks mengapa tulisan semacam ini muncul.
Artikel Buehler dapat
ditulis karena menjadi ada kewajiban bagi segenap lembaga di AS untuk
melaporkan kegiatan dan hubungan kerja mereka sesuai dengan aturan Foreign Registration Act 1938.
Undang-undang ini ditulis karena rasa khawatir dari anggota parlemen pada
masa Perang Dunia II tentang banyaknya lembaga di AS yang menyuarakan
kepentingan negara-negara asing, khususnya yang berhaluan ideologi komunis.
Ideologi komunis
adalah momok bagi warga AS pada masa itu. Oleh sebab itu, muncul kewajiban
bagi seluruh lembaga yang berhubungan dengan Pemerintah AS untuk mencatatkan
diri dan melaporkan kegiatannya.
Dengan kata lain,
sebenarnya kita pun dapat menelusuri dalam data tersebut lembaga-lembaga apa
saja yang pernah bekerja berdasarkan kontrak yang dipesan oleh pihak
Indonesia. Kepentingan yang diwakili dalam kegiatan lobi tidak terbatas pada
kegiatan politik dan pemerintahan, tetapi juga dapat terkait isu lain seperti
lingkungan hidup hingga hak asasi manusia (HAM).
Namun masyarakat dan
media kita justru tertarik pada isu tersebut karena sejumlah uang yang
dibayarkan untuk pelobi dan tentang spekulasi peran pelobi dari lembaga asing
yang terdaftar di Singapura dan AS dalam menyukseskan kunjungan Presiden
Jokowi ke AS. Ketertarikan itu juga disebabkan pengalaman di dalam negeri
yang menyajikan banyak bukti bahwa para pelobi sebagian besar memiliki
motivasi dan tujuan yang tidak jujur. Perbedaannya bahwa para pelobi di
Indonesia sebagian besar bergerak secara informal, sementara di AS mereka
adalah organisasi yang memang memiliki spesialisasi untuk melakukan lobi.
Jumlah pelobi di AS
sangat besar. Center for Responsive
Politics menyatakan terdapat 11.000 lebih organisasi pelobi di AS dan
mereka telah membelanjakan sekitar USD2,39 miliar atau kira-kira Rp34,65
triliun untuk kegiatan melobi pada 2014. Target utama mereka terutama pembuat
kebijakan dan peraturan. Lee Drutman (2015) mencatat total nominal yang
berbeda. Tapi dia mengungkap bahwa uang yang paling banyak dibelanjakan
adalah lobi untuk anggota parlemen (House
of Representative), yakni sebesar USD1,18 miliar, sementara untuk Senator
sebesar USD860 juta. Tentu selain mereka, para pelobi juga bergerak mendekati
kementerian di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama. Mereka mewakili
tidak hanya kepentingan kelompok di AS seperti serikat buruh atau asosiasi
profesi, tetapi juga kepentingan pemerintah asing lain di luar AS.
Informasi itu dapat
diperoleh karena organisasi pelobi harus membuka informasi tentang kegiatan
dan jumlah uang yang dibelanjakan sebagaimana ditentukan oleh beberapa
peraturan federal, antara lain Lobbying
Disclosure Act 1995. Pasal 10 undang-undang itu mendefinisikan bahwa
pelobi adalah ”individu mana pun yang
dipekerjakan atau memiliki klien dengan tujuan memperoleh bayaran uang untuk
jasa yang melibatkan kegiatan melobi lebih dari 1 kontak dan tidak termasuk
kegiatan lobbying yang jumlah waktunya kurang dari 20% dari total waktu 6
bulan”. Selain peraturan ini, masih ada peraturan-peraturan lain yang
mendefinisikan dan membatasi ruang gerak pelobi.
Peraturan mengenai
para pelobi menjadi penting karena keberadaan mereka yang sangat signifikan
dalam kebijakan pembangunan dan politik di AS. Mereka kuat karena umumnya
dibiayai perusahaan, lembaga atau kepentingan asing yang memiliki dana besar.
Dana yang besar sering
kali juga membiayai gratifikasi dan penyuapan kepada para pejabat negara.
Namun keberadaan mereka juga tidak melanggar hukum karena termasuk dalam hak
yang dilindungi Amendemen Pertama, yaitu kebebasan berbicara. Kelompok lobi
termasuk bagian dari masyarakat sipil yang dapat dikategorikan sebagai bagian
dari gerakan advokasi.
Selain karena
dilindungi konstitusi, jaringan birokrasi modern yang terkait dengan hukum
dan politik juga semakin rumit. Matt W Loftis dan Jaclyn J Kettler (2015)
menemukan melalui penelitiannya bahwa negara-negara bagian di AS saat ini
juga banyak menggunakan jasa pelobi untuk memastikan bahwa proses hukum yang
terkait dengan kepentingan mereka di Kongres dapat ”dikawal” dan mewakili
kepentingan mereka. Jumlah pajak warga yang dipakai untuk menyewa jasa pelobi
sejak 1998-2008 mencapai USD150 juta.
Alasan menggunakan
jasa pelobi karena hukum, peraturan, kebiasaan, dan hal-hal lain yang terkait
dengan kepentingan mereka sangat banyak dan rumit sehingga perlu seseorang
yang memahami sistem untuk membantu mewakili kepentingan mereka.
Terkait dengan biaya
yang dikeluarkan, negara-negara bagian yang memiliki kesulitan ekonomi,
misalnya tingkat penganguran yang tinggi, justru cenderung membayar lebih
banyak daripada negara yang tingkat penganggurannya rendah. Hal itu
disebabkan biaya untuk meyakinkan pihak yang dituju juga sangat besar,
baikmelaluipenelitian maupun pembentukan opini publik dan sebagainya. Pelobi
tidak hanya mengandalkan kedekatan personal, tetapi juga alasan dan metode
ilmiah.
Sedemikian besarnya
pengaruh kelompok pelobi hingga banyak orang di AS yang menganggap bahwa
politik dan arah tidak lagi ditentukan rakyat, tetapi kelompok-kelompok
pelobi tersebut. Sinisme itu timbul karena efek negatif yang ditimbulkan
seperti praktik korupsi dan gratifikasi. Presiden Barack Obama yang saat itu tengah
menjadi kandidat Presiden AS menyatakan dalam kampanyenya di Bristol pada
2008 bahwa ia telah menetapkan arah kebijakan pembangunan dan politik AS
sehingga tidak akan dipengaruhi kelompok pelobi. Alasannya, ia memilih untuk
tidak mengambil satu sen pun dari kelompok-kelompok pelobi di Washington
untuk membiayai kampanye pilpresnya.
Mengingat dinamika di
atas, secara politik, AS di bawah pemerintahan Obama setidaknya di atas
kertas memang tidak menghendaki untuk bersinggungan dengan kelompok-kelompok pelobi.
Apabila ada unsur-unsur dalam pemerintahan kita yang menggunakan jasa pelobi,
apalagi untuk isu tingkat tinggi seperti pertemuan kepala negara, maka unsur
pemerintah tersebut mungkin ”dibohongi” atau dikerjai oleh para pelobi.
Apakah ini yang terjadi dalam kasus Presiden kita?
Pada titik ini memang
tampak ada kesenjangan informasi antara registrasi di Kementerian Kehakiman
AS yang membuktikan bahwa terjadi kontrak kerja kegiatan para pelobi yang
menyatakan mewakili kepentingan Pemerintah Indonesia dengan pernyataan dari
Pemerintah RI yang mengatakan sebaliknya.
Salah satu cara untuk
membuktikan mana yang benar sebetulnya sangat mudah karena dalam proses
registrasi, para pelobi harus menyatakan dengan jujur kegiatan yang mereka
lakukan untuk klien mereka.
Apabila Pemerintah
Indonesia merasa bahwa registrasi itu adalah tidak benar, sudah menjadi
kewajiban Pemerintah Indonesia untuk melaporkannya kepada instansi terkait.
Di luar masalah hukum
tersebut, beberapa pokok materi yang disampaikan Buehler perlu didiskusikan
dengan kepala yang dingin. Di satu sisi, kita perlu mengapresiasi kesepakatan
investasi pembangkit listrik yang selain sulit karena dibutuhkan modal besar,
juga karena investor biasanya menghendaki keuntungan investasi dalam jangka
pendek. Tapi kalau kita lihat kesepakatan mengenai kerja sama Pemerintah Indonesia dengan perusahaan teknologi
seperti Google dan Microsoft, bukankah sesungguhnya bertentangan dengan semangat gerakan
aktivis atau pegiat teknologi informasi yang berusaha membuat software-software gratis atau open source untuk masyarakat sehingga
tidak tergantung pada bangsa lain? Demikian pula mengenai investasi Phillip Morris sebagai produsen rokok, bukankah
bertentangan dengan kampanye antirokok? Investasi-investasi
tersebut adalah sektor-sektor yang perlu dicermati dan dikritik karena berpotensi
kontraproduktif dengan arah pembangunan yang sedang dijalankan.
Dari hasil-hasil di
atas, patut kita bertanya: siapa yang sebenarnya melakukan lobi dan berhasil
menembus untuk mendapatkan keinginannya? Indonesia atau justru pihak AS? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar