Kamis, 12 November 2015

Polemik Pelobi

Polemik Pelobi

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                KORAN SINDO, 11 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama dua hari ke Amerika Serikat (AS) menyisakan polemik. Tulisan yang dirilis seorang akademisi dari Program Studi Politik dan Hubungan Internasional di SOAS University of London, Dr Michael Buehler, menyatakan bahwa kunjungan Presiden RI telah melibatkan kelompok pelobi berbayar. Penyangkalan dari Kementerian Luar Negeri ternyata tidak meredam berita tersebut. Justru muncul rasa ingin tahu yang lebih besar tentang kebenaran perihal digunakannya jasa perusahaan dalam menyukseskan kunjungan tersebut.

Pertama-tama mari kita pahami konteks mengapa tulisan semacam ini muncul.
Artikel Buehler dapat ditulis karena menjadi ada kewajiban bagi segenap lembaga di AS untuk melaporkan kegiatan dan hubungan kerja mereka sesuai dengan aturan Foreign Registration Act 1938. Undang-undang ini ditulis karena rasa khawatir dari anggota parlemen pada masa Perang Dunia II tentang banyaknya lembaga di AS yang menyuarakan kepentingan negara-negara asing, khususnya yang berhaluan ideologi komunis.

Ideologi komunis adalah momok bagi warga AS pada masa itu. Oleh sebab itu, muncul kewajiban bagi seluruh lembaga yang berhubungan dengan Pemerintah AS untuk mencatatkan diri dan melaporkan kegiatannya.

Dengan kata lain, sebenarnya kita pun dapat menelusuri dalam data tersebut lembaga-lembaga apa saja yang pernah bekerja berdasarkan kontrak yang dipesan oleh pihak Indonesia. Kepentingan yang diwakili dalam kegiatan lobi tidak terbatas pada kegiatan politik dan pemerintahan, tetapi juga dapat terkait isu lain seperti lingkungan hidup hingga hak asasi manusia (HAM).

Namun masyarakat dan media kita justru tertarik pada isu tersebut karena sejumlah uang yang dibayarkan untuk pelobi dan tentang spekulasi peran pelobi dari lembaga asing yang terdaftar di Singapura dan AS dalam menyukseskan kunjungan Presiden Jokowi ke AS. Ketertarikan itu juga disebabkan pengalaman di dalam negeri yang menyajikan banyak bukti bahwa para pelobi sebagian besar memiliki motivasi dan tujuan yang tidak jujur. Perbedaannya bahwa para pelobi di Indonesia sebagian besar bergerak secara informal, sementara di AS mereka adalah organisasi yang memang memiliki spesialisasi untuk melakukan lobi.

Jumlah pelobi di AS sangat besar. Center for Responsive Politics menyatakan terdapat 11.000 lebih organisasi pelobi di AS dan mereka telah membelanjakan sekitar USD2,39 miliar atau kira-kira Rp34,65 triliun untuk kegiatan melobi pada 2014. Target utama mereka terutama pembuat kebijakan dan peraturan. Lee Drutman (2015) mencatat total nominal yang berbeda. Tapi dia mengungkap bahwa uang yang paling banyak dibelanjakan adalah lobi untuk anggota parlemen (House of Representative), yakni sebesar USD1,18 miliar, sementara untuk Senator sebesar USD860 juta. Tentu selain mereka, para pelobi juga bergerak mendekati kementerian di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama. Mereka mewakili tidak hanya kepentingan kelompok di AS seperti serikat buruh atau asosiasi profesi, tetapi juga kepentingan pemerintah asing lain di luar AS.

Informasi itu dapat diperoleh karena organisasi pelobi harus membuka informasi tentang kegiatan dan jumlah uang yang dibelanjakan sebagaimana ditentukan oleh beberapa peraturan federal, antara lain Lobbying Disclosure Act 1995. Pasal 10 undang-undang itu mendefinisikan bahwa pelobi adalah ”individu mana pun yang dipekerjakan atau memiliki klien dengan tujuan memperoleh bayaran uang untuk jasa yang melibatkan kegiatan melobi lebih dari 1 kontak dan tidak termasuk kegiatan lobbying yang jumlah waktunya kurang dari 20% dari total waktu 6 bulan”. Selain peraturan ini, masih ada peraturan-peraturan lain yang mendefinisikan dan membatasi ruang gerak pelobi.

Peraturan mengenai para pelobi menjadi penting karena keberadaan mereka yang sangat signifikan dalam kebijakan pembangunan dan politik di AS. Mereka kuat karena umumnya dibiayai perusahaan, lembaga atau kepentingan asing yang memiliki dana besar.

Dana yang besar sering kali juga membiayai gratifikasi dan penyuapan kepada para pejabat negara. Namun keberadaan mereka juga tidak melanggar hukum karena termasuk dalam hak yang dilindungi Amendemen Pertama, yaitu kebebasan berbicara. Kelompok lobi termasuk bagian dari masyarakat sipil yang dapat dikategorikan sebagai bagian dari gerakan advokasi.

Selain karena dilindungi konstitusi, jaringan birokrasi modern yang terkait dengan hukum dan politik juga semakin rumit. Matt W Loftis dan Jaclyn J Kettler (2015) menemukan melalui penelitiannya bahwa negara-negara bagian di AS saat ini juga banyak menggunakan jasa pelobi untuk memastikan bahwa proses hukum yang terkait dengan kepentingan mereka di Kongres dapat ”dikawal” dan mewakili kepentingan mereka. Jumlah pajak warga yang dipakai untuk menyewa jasa pelobi sejak 1998-2008 mencapai USD150 juta.

Alasan menggunakan jasa pelobi karena hukum, peraturan, kebiasaan, dan hal-hal lain yang terkait dengan kepentingan mereka sangat banyak dan rumit sehingga perlu seseorang yang memahami sistem untuk membantu mewakili kepentingan mereka.

Terkait dengan biaya yang dikeluarkan, negara-negara bagian yang memiliki kesulitan ekonomi, misalnya tingkat penganguran yang tinggi, justru cenderung membayar lebih banyak daripada negara yang tingkat penganggurannya rendah. Hal itu disebabkan biaya untuk meyakinkan pihak yang dituju juga sangat besar, baikmelaluipenelitian maupun pembentukan opini publik dan sebagainya. Pelobi tidak hanya mengandalkan kedekatan personal, tetapi juga alasan dan metode ilmiah.

Sedemikian besarnya pengaruh kelompok pelobi hingga banyak orang di AS yang menganggap bahwa politik dan arah tidak lagi ditentukan rakyat, tetapi kelompok-kelompok pelobi tersebut. Sinisme itu timbul karena efek negatif yang ditimbulkan seperti praktik korupsi dan gratifikasi. Presiden Barack Obama yang saat itu tengah menjadi kandidat Presiden AS menyatakan dalam kampanyenya di Bristol pada 2008 bahwa ia telah menetapkan arah kebijakan pembangunan dan politik AS sehingga tidak akan dipengaruhi kelompok pelobi. Alasannya, ia memilih untuk tidak mengambil satu sen pun dari kelompok-kelompok pelobi di Washington untuk membiayai kampanye pilpresnya.

Mengingat dinamika di atas, secara politik, AS di bawah pemerintahan Obama setidaknya di atas kertas memang tidak menghendaki untuk bersinggungan dengan kelompok-kelompok pelobi. Apabila ada unsur-unsur dalam pemerintahan kita yang menggunakan jasa pelobi, apalagi untuk isu tingkat tinggi seperti pertemuan kepala negara, maka unsur pemerintah tersebut mungkin ”dibohongi” atau dikerjai oleh para pelobi. Apakah ini yang terjadi dalam kasus Presiden kita?

Pada titik ini memang tampak ada kesenjangan informasi antara registrasi di Kementerian Kehakiman AS yang membuktikan bahwa terjadi kontrak kerja kegiatan para pelobi yang menyatakan mewakili kepentingan Pemerintah Indonesia dengan pernyataan dari Pemerintah RI yang mengatakan sebaliknya.
Salah satu cara untuk membuktikan mana yang benar sebetulnya sangat mudah karena dalam proses registrasi, para pelobi harus menyatakan dengan jujur kegiatan yang mereka lakukan untuk klien mereka.

Apabila Pemerintah Indonesia merasa bahwa registrasi itu adalah tidak benar, sudah menjadi kewajiban Pemerintah Indonesia untuk melaporkannya kepada instansi terkait.

Di luar masalah hukum tersebut, beberapa pokok materi yang disampaikan Buehler perlu didiskusikan dengan kepala yang dingin. Di satu sisi, kita perlu mengapresiasi kesepakatan investasi pembangkit listrik yang selain sulit karena dibutuhkan modal besar, juga karena investor biasanya menghendaki keuntungan investasi dalam jangka pendek. Tapi kalau kita lihat kesepakatan mengenai kerja sama Pemerintah Indonesia dengan perusahaan teknologi seperti Google dan Microsoft, bukankah sesungguhnya bertentangan dengan semangat gerakan aktivis atau pegiat teknologi informasi yang berusaha membuat software-software gratis atau open source untuk masyarakat sehingga tidak tergantung pada bangsa lain? Demikian pula mengenai investasi Phillip Morris sebagai produsen rokok, bukankah bertentangan dengan kampanye antirokok?  Investasi-investasi tersebut adalah sektor-sektor yang perlu dicermati dan dikritik karena berpotensi kontraproduktif dengan arah pembangunan yang sedang dijalankan.

Dari hasil-hasil di atas, patut kita bertanya: siapa yang sebenarnya melakukan lobi dan berhasil menembus untuk mendapatkan keinginannya? Indonesia atau justru pihak AS?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar