Muslim Rohingya dalam Pemilu Myanmar
Chusnul Mar’iyah ; Presiden Direktur Center for Election and
Political Party
FISIP UI
|
KOMPAS,
12 November 2015
Myanmar
menyelenggarakan pemilu pada 8 November 2015. Inilah pemilu yang pertama kali
dilaksanakan lebih terbuka sejak rezim militer berkuasa di Myanmar.
Rangkaian pemilu
ditandai dengan dibukanya kebebasan berkampanye, termasuk kampanye partai
oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Penyelenggaraan pemilu di Myanmar menjadi perhatian seluruh dunia. Tingkat
kehadiran pemilih di TPS diperkirakan 80 persen. NLD diharapkan memenangi
kursi mayoritas di parlemen. Menurut para pemantau, pemilu berjalan lancar
dengan beberapa kekecualian. Adakah harapan baru dalam pemilu ini bagi warga
Muslim Rohingya yang jumlahnya diperkirakan 1,2 juta jiwa?
Warga beretnis
Rohingya yang Muslim dominan di kawasan barat Myanmar. Secara sistematis,
rezim militer, yang beridentitas Buddha, telah meminggirkan kelompok Muslim
ini.
Rohingya merupakan
minoritas. Pemerintah saat ini tak mengakui Rohingya sebagai warga negara
sah. Bahkan, dalam sensus 2014, warga Muslim Rohingya tak dimasukkan sebagai
warga Myanmar. Padahal, sejak tahun 1948, Rohingya diakui sebagai warga
Myanmar. Pada 1947, mereka memiliki kursi dalam Constitutional Assembly yang
dipimpin ayah Aung San Suu Kyi, pahlawan kemerdekaan Bogyoke Aung San. Pada
saat itu, warga Muslim Rohingya memiliki status warga negara penuh. Kondisi
itu berubah sejak pemerintahan militer.
Pada 1990-an,
pemerintah diktator militer Myanmar memberi identitas warga Muslim Rohingya
dengan kartu putih. Identitas ini masih dapat digunakan untuk ikut memilih
pada Pemilu 2010. Bahkan, seorang pemimpin Rohingya juga terpilih menjadi
anggota parlemen.
Akan tetapi, dalam
Pemilu 2015 ini identitas tersebut tak diakui. Hal itu membuat ratusan ribu
warga Muslim Rohingya tak dapat masuk dalam daftar pemilih pemilu.
Pada Pemilu 2010, KPU
Myanmar bahkan mencoret kandidat Rohingya karena dianggap tak dapat
membuktikan diri sebagai warga negara penuh. Di dalam UU tahun 1982 tentang
kewarganegaraan, warga Myanmar harus dapat membuktikan dokumen memiliki ayah
sampai buyutnya (tiga generasi ke atas).
Ini kebijakan rezim
untuk melindungi ras dan agama Buddha. Walaupun para kandidat Muslim Rohingya
sudah protes ke KPU, hasilnya warga Rohingya tetap dicoret dari daftar
pemilih dan daftar kandidat dari etnis Rohingya dengan alasan bukan warga
negara.
Sikap partai Suu Kyi
Rezim otoriter militer
Myanmar—dengan partainya Partai Serikat Solidaritas dan
Pembangunan—menggunakan kelompok nasionalis Buddha yang ekstrem yang dipimpin
Biksu Sayadaw U Wirathu membuat propaganda yang mendeskreditkan agama orang
Rohingya.
Oleh karena itu,
kebijakan politik rezim militer menghilangkan hak memilih Rohingya, hak untuk
menjadi kandidat anggota parlemen. Ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal
21 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang memberi garansi setiap
orang memiliki hak yang sama.
Bagaimana dengan
partai oposisi? Tokoh oposisi Aung Sang Suu Kyi, pemimpin NLD dan peraih
Nobel Perdamaian, ternyata juga tidak memasukkan isu Muslim Rohingya dalam
prioritas.
Beberapa waktu lalu,
penulis bertemu dengan seorang aktivis organisasi nonpemerintah dari Myanmar
dan menanyakan mengapa Aung San Suu Kyi tidak pernah memprotes diskriminasi
terhadap Muslim Myanmar dan tak menunjukkan kepeduliannya. Jawaban pendukung
Suu Kyi, ”Karena jumlah kekuatan partai oposisi tak mampu menghadapi kekuatan
rezim yang berkuasa.”
NLD juga mencoret
kandidat NLD yang berlatar belakang Rohingya untuk pemilu 8 November 2015.
Walaupun pemilu dianggap demokratis, masih ada ketakutan dan represi.
Pemilu ini di satu
sisi sebagai harapan baru bagi warga oposisi, tetapi di sisi lain—bagi warga
Muslim Rohingya—masih jauh dari harapan. Warga Rohingya berada di pengungsian
tanpa akses pendidikan, kesehatan, kehidupan yang layak, bahkan harus keluar
dari Myanmar menjadi pengungsi di negeri orang. Dengan pemilu ini diharapkan
ada perubahan untuk dapat mengembalikan hak-hak warga negara Myanmar yang
berlatar etnis Rohingya dan beragama Islam.
Presiden Myanmar akan
dipilih di parlemen hasil pemilu, tetapi dalam konstitusi yang dianggap
sebagai demokrasi yang disiplin, militer memiliki 25 persen kursi yang diangkat.Dengan
demikian, siapa pun yang akan memenangi pemilu di Myanmar, untuk menentukan
presiden, tetap harus mendapat restu dari elite militer. Bahkan, dalam
konstitusinya, presiden Myanmar tak boleh memiliki anak yang
berkewarganegaraan bukan Myanmar.
Pasal 59F konstitusi
Myanmar menyebutkan bahwa jika satu dari anak sah Anda... setia pada kekuatan
asing, maka Anda didiskualifikasi. Kedua anak Suu Kyi berkebangsaan Inggris.
Dengan demikian, pemilu ini cukup sulit bagi Aung San Suu Kyi untuk
mendapatkan posisi presiden yang akan ditentukan pada Maret 2016. Di samping
itu, kekuasaan presiden dalam sistem pemerintahan Myanmar ini tak terlalu
kuat karena menteri utama—yaitu menteri pertahanan, menteri dalam negeri, dan
menteri perbatasan—ditentukan militer.
Harapan kepada
pemerintah baru hasil pemilu parlemen: harus tetap optimistis akan ada
perubahan meski ringkih memperjuangkan hak warga Muslim Rohingya. Pemilu jadi
harapan baru bagi saudara Muslim Rohingya mendapat hidup lebih baik meski
pemilu sering tak membawa perubahan secara cepat. Kita menunggu hasil pemilu
parlemen ini dan menunggu sampai Maret 2016 saat presiden baru Myanmar
terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar