Bela Negara atau Memberdayakan Pemuda?
Sandiaga S Uno ; Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra
|
KORAN
SINDO, 11 November 2015
Wacana bela negara
menjadi topik yang hangat dalam beberapa minggu belakangan. Publik menangkap
bela negara sebagai mobilisasi warga negara untuk diberi pelatihan militer
dan kemudian dijadikan komponen cadangan untuk pertahanan nasional.
Walaupun kemudian
pihak Kementrian Pertahanan menegaskan bahwa garis besar dari konsep bela
negara ini adalah upaya menumbuhkan dan memantapkan kesadaran berbangsa
terhadap berbagai ancaman multidimensi. Lewat beragam tingkat pelatihan
diharapkan akan lahir seratus juta kader pembina, kader bela negara ataupun
kader muda bela negara.
Sebagaimana gagasan
baik lainnya dalam rangka mewujudkan Revolusi Mental, tentu hal ini kita
sambut baik. Pertanyaan yang muncul hanyalah, seberapa efektif program ini?
Adakah program ini akan menciptakan pemuda yang berdaya atau justru hanya
bergaya? Konstitusi kita, Undang- Undang Dasar 1945, telah mengamanatkan
bahwa persoalan bela negara adalah hak dan kewajiban warga negara.
Revolusi kemerdekaan
kita telah memberi pelajaran penting bagaimana aplikasi sesungguhnya dari
konsep bela negara ini. TB Simatupang dalam catatan perjuangannya ”Laporan
Dari Banaran” melukiskan hubungan TNI dengan rakyat seperti ikan di dalam
air: TNI menjadi ikan, rakyat yang menjadi airnya.
Gagasan kebangsaan dan
cinta Tanah Air seluruh rakyat Indonesia pada masa itu tumbuh secara organik
sebab setiap orang merasa jadi pemilik dari republik ini. Suatu hal yang
pantas mereka perjuangkan atas nama apa pun. Semangat kebangsaan dan cinta
Tanah Air itu tidak tumbuh dengan instan. Perlu proses perjuangan politik dan
kesadaran nasional yang panjang.
Dimulai sejak masa
Indische Partij pada 1912 diikuti kemudian dengan era Sarekat Islam hingga
perjuangan politik mencapai puncaknya di bawah pimpinan Soekarno dan Mohammad
Hatta. Tentu kita pantas mengajukan pertanyaan berikutnya, bisakah program
selama sebulan, dua minggu, atau satu minggu mampu menggugah kesadaran yang
sama?
Para pemuda tentu saja
menjadi sasaran utama dari program bela negara ini. Gemuknya populasi Indonesia
pada usia produktif ini tidak saja memberikan bonus demografi untuk kita,
tetapi juga memunculkan tantangan untuk memaksimalkan potensi yang ada.
Mereka, para pemuda, adalah kelompok paling dinamis dan paling peka terhadap
perubahan dibandingkan kelompok usia lainnya.
Apalagi di era
kecepatan informasi dan nyaris hilangnya batas-batas negara saat ini, mereka
juga menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi krisis identitas. Upaya
menggalang para pemuda lewat program bela negara ini memang bisa jadi salah
satu pilihan solusi untuk menghadapi perkembangan dunia saat ini.
Tetapi, menurut hemat
saya, apabila seluruh energi diarahkan pada pelatihan yang sifatnya temporer
tanpa didukung oleh program-program yang bersifat jangka panjang dan mampu
memberdayakan mereka, bisa jadi program ini tidak mampu menjawab persoalan
yang ada. Sebab, bagaimana bisa para pemuda berdaya membela negara apabila
mereka tidak berdaya menghadapi nasibnya sendiri?
Saya tidak memiliki
kapasitas untuk menghitung atau menilai berapa besaran anggaran yang harus
dikeluarkan untuk program bela negara ini, tetapi tentu butuh anggaran yang
tidak sedikit jumlahnya. Kebijakan ini sudah mulai bergulir, kritik saja
tentu tidak cukup. Harapan saya, pemerintah masih terbuka untuk menerima
saran dan masukan agar program ini tidak berakhir sebagai doktrin dan kata-kata
belaka.
Saya menyarankan agar
program bela negara ini harus didukung lintas kementrian dan apabila perlu
melibatkan pihak swasta. Para pemuda tidak hanya dibekali pemantapan semangat
kebangsaan dan kesediaan untuk membela negara, tetapi juga dilengkapi dengan
training atau pelatihan yang membuat mereka bisa berguna untuk diri sendiri
maupun masyarakat.
Kader bela negara ini
seharusnya bukan saja para pemuda yang siap membela negara, tetapi memiliki
energi lebih untuk bekerja dengan keahlian tertentu dan lebih baik lagi
apabila bisa menciptakan kesempatan kerja untuk orang lain. Pemerintah bisa
menyiapkan program lanjutan dengan mengirim pemuda-pemuda ini untuk berkarya
di seluruh pelosok Tanah Air.
Mereka bisa terlibat
dalam proyek-proyek pembangunan daerah, membangun basis-basis industri baru
di tingkat UKM, dan dalam jangka panjang ikut terlibat dalam pemberdayaan dan
pelatihan masyarakat di sekitarnya. Upaya mengonsolidasikan soft power sebagaimana sering disitir
oleh Menteri Pertahanan terkait program bela negara ini seharusnya dilakukan
dalam bentuk empowerment dan bukan sekadar doktrin belaka.
Kita tentu tidak ingin
program bela negara ini hanya akan menghasilkan jagoan-jagoan baru tanpa skill yang keberadaan mereka justru
meresahkan masyarakat. Seyogianya alumni program bela negara adalah mereka
yang memahami katakata dari penyair W S Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.
Cinta Tanah Air
bukanlah sebuah kewajiban, melainkan kesadaran. Saya memiliki keyakinan,
potensi ancaman terbesar kita justru berasal dari ketidakberdayaan sosial dan
ekonomi. Apabila kerentanan itu tidak bisa kita atasi, musuh dari mana pun
akan dengan mudahnya menusuk jantung Republik Indonesia.
Saya senantiasa
percaya, pemberdayaan, kemandirian ekonomi, dan kemampuan untuk berwirausaha
adalah aspek penting pertahanan nasional. Dinamika perjuangan sosial dan
ekonomi senantiasa menumbuhkan semangat cinta Tanah Air. Kerja-kerja kecil
yang dilakukan secara terus-menerus oleh banyak orang akan memupuk kesadaran
pentingnya mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.
Sebab ”Indonesia” ini
bukanlah warisan sempurna, Ibu Pertiwi ini harus terus disempurnakan lewat
kerja nyata kita. Bukankah jauh-jauh hari Bung Hatta sudah mengingatkan kita
lewat sitiran sajak Rene de Clerq, ”Hanya
satu tanah yang disebut tanah airku. Ia tumbuh dari perbuatan. Dan, perbuatan
itu adalah perbuatanku”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar