Rabu, 11 November 2015

Pahlawan Olahraga

Pahlawan Olahraga

Imam Nahrawi  ;  Menteri Pemuda dan Olahraga RI
                                                    JAWA POS, 10 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

AKAN bagus jika setiap 10 November tak hanya dirayakan dengan mengenang para pahlawan nasional, tapi juga merenungkan bagaimana agar kepahlawanan tetap relevan di zaman sekarang.

Melalui pertanyaan semacam itulah, relevansi kepahlawanan dengan kekinian akan terus digali. Wacana kepahlawanan terus coba dibumikan dalam kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara serta bukan sekadar hafalan pelajaran sejarah.

Situasi sekarang memang tidak sama lagi dengan era Bung Karno, Bung Hatta, atau Bung Tomo, apalagi zaman Pangeran Diponegoro atau Pattimura. Problem ke-Indonesiaan hari ini bukan lagi Belanda atau Jepang yang datang ke tanah air dengan membawa senjata untuk menaklukkan.

Patriotisme dan rasa cinta kepada tanah air tetap penting. Hanya pengejawantahannya tentu bukan dengan menenteng-nenteng bambu runcing seperti zaman revolusi dulu. Patriotisme hari ini berarti mengerahkan dan memaksimalkan segenap potensi serta kemampuan kita untuk bekerja dan berkarya dengan sebaik-baiknya demi memajukan pelbagai matra kehidupan berbangsa serta bernegara.

Salah satu bidang yang sangat membutuhkan patriotisme dan kepahlawanan adalah olahraga. Membicarakan kepahlawanan olahraga menjadi relevan bukan semata karena belum ada sosok pahlawan nasional yang berlatar belakang seorang atlet. Tapi juga karena kepahlawanan olahraga memungkinkan imajinasi kepahlawanan dan patriotisme menemukan pengejawantahannya yang konkret.

Olahraga, apalagi dalam pertandingan kompetitif berskala internasional, merupakan bentuk modern dari perjuangan fisik dan bersenjata di masa perjuangan dulu. Karakter olahraga kompetitif yang membagi permainan ke dalam dua kubu, A vs B, kita vs mereka, kami vs kalian, kawan vs lawan, memungkinkan imajinasi tentang perjuangan fisik menjadi tampak nyata.

Dalam skala kompetisi antarnegara, patriotisme menampakkan wujudnya yang jelas karena yang bertanding adalah dua negara yang berbeda. Tensi bisa sangat tinggi jika yang bertanding mewakili dua negara yang punya riwayat perseteruan atau antara dua negara yang sedang bersaing secara geopolitik. Misalnya Amerika vs Rusia, Israel vs Palestina, atau bahkan misalnya Indonesia vs Malaysia.

Mewakili negara dalam sebuah pertandingan berskala internasional memang punya bobot berbeda jika dibandingkan dengan mewakili klub. Kebanggaan bangsa dipertaruhkan. Nama baik bangsa juga diuji.

Harapan seluruh rakyat tersematkan di pundak para atlet. Bahkan, dalam level pertandingan yang penting, dukungan rakyat pun bisa terkumpul dengan sangat masif sehingga energi nasionalisme seperti menyelimuti seluruh negeri.
Kemenangan dalam pertandingan atau kompetisi seperti itu bisa sangat membanggakan. Apalagi jika kemenangan disempurnakan dengan dikereknya Sang Saka Merah Putih dan diiringi kumandang lagu Indonesia Raya. 

Kebanggaan sebagai sebuah bangsa naik seketika. Nama bangsa pun dengan sendirinya terharumkan oleh prestasi-prestasi berskala internasional.

Banyak di antara kita yang masih ingat betapa bangga dan terharunya kita semua saat Susi Susanti meraih emas di Olimpiade 1992 di Barcelona. Emas pertama dalam sejarah keikutsertaan Indonesia di Olimpiade itu disambut dengan gegap gempita. Berkat Susi, untuk kali pertama dalam sejarah, Indonesia bisa berdiri sejajar dengan negara lain yang pernah meraih emas di Olimpiade.

Saat Susi Susanti terisak penuh haru kala bendera Merah Putih dikerek dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, jutaan rakyat Indonesia juga merasakan keharuan serta kebanggaan yang sama. Siapa pun yang menyaksikan adegan ketika Susi Susanti terisak penuh haru di Barcelona niscaya ada dalam frekuensi emosi yang sama dengan seorang Susi.

Susi Susanti, juga atlet-atlet lain yang pernah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, adalah para pahlawan kontemporer bangsa ini. Mereka memang tak mengangkat senjata untuk memerangi penjajah. Namun, keberhasilan mereka dengan sendirinya membuat nama Indonesia terangkat di mata dunia.

Merekalah yang akhirnya menjadi ”diplomat paro waktu” yang mempromosikan Indonesia. Para atlet yang menjadi juara dunia tentu berjasa memperkenalkan nama Indonesia ke dunia. Mereka, pada dasarnya, dengan kemampuan di bidangnya sendiri telah menjadi seorang diplomat.

Jika kita sudah akrab dengan istilah ”diplomasi budaya”, semestinya olahraga pun bisa memainkan peran serupa. Para juara dengan sendirinya menjadi ujung tombak diplomasi Indonesia di dunia internasional.

Olahraga akhirnya memungkinkan wacana kepahlawanan menemukan relevansinya di zaman sekarang. Siapa pun bisa menjadi pahlawan bagi Indonesia walaupun tak hidup pada zaman penjajahan. Siapa pun bisa menjadi pahlawan jika bisa mempersembahkan prestasi yang membanggakan dan mengharumkan nama Indonesia.

Melalui olahraga itulah, akhirnya kepahlawanan juga bisa terus dipraktikkan dalam bidang-bidang lain. Seorang peneliti yang berhasil dengan sebuah penemuan yang penting bagi umat manusia jelas menjadi prestasi yang membanggakan bagi bangsanya. Mantan Presiden Habibie, misalnya, yang mengharumkan nama Indonesia dalam bidang riset dan industri kedirgantaraan. Jika suatu saat ada anak bangsa yang berhasil meraih Nobel Ekonomi atau Nobel Sastra, untuk contoh lain, tentu dia juga menjadi pahlawan bagi kita semua.

Kepahlawanan tidak lagi menjadi monopoli masa lalu dan tokohtokoh bangsa yang sudah meninggal. Melalui olahraga dan yang lainnya, kepahlawanan tetap mungkin lahir terus-menerus. Kepahlawanan akhirnya terus dan selalu akan relevan sampai kapan pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar