Pahlawan Olahraga
Imam Nahrawi ; Menteri Pemuda dan Olahraga RI
|
JAWA
POS, 10 November 2015
AKAN bagus jika setiap 10 November tak hanya
dirayakan dengan mengenang para pahlawan nasional, tapi juga merenungkan
bagaimana agar kepahlawanan tetap relevan di zaman sekarang.
Melalui pertanyaan semacam itulah, relevansi
kepahlawanan dengan kekinian akan terus digali. Wacana kepahlawanan terus
coba dibumikan dalam kehidupan sehari-hari berbangsa dan bernegara serta
bukan sekadar hafalan pelajaran sejarah.
Situasi sekarang memang tidak sama lagi dengan
era Bung Karno, Bung Hatta, atau Bung Tomo, apalagi zaman Pangeran Diponegoro
atau Pattimura. Problem ke-Indonesiaan hari ini bukan lagi Belanda atau
Jepang yang datang ke tanah air dengan membawa senjata untuk menaklukkan.
Patriotisme dan rasa cinta kepada tanah air
tetap penting. Hanya pengejawantahannya tentu bukan dengan menenteng-nenteng
bambu runcing seperti zaman revolusi dulu. Patriotisme hari ini berarti
mengerahkan dan memaksimalkan segenap potensi serta kemampuan kita untuk
bekerja dan berkarya dengan sebaik-baiknya demi memajukan pelbagai matra
kehidupan berbangsa serta bernegara.
Salah satu bidang yang sangat membutuhkan
patriotisme dan kepahlawanan adalah olahraga. Membicarakan kepahlawanan
olahraga menjadi relevan bukan semata karena belum ada sosok pahlawan
nasional yang berlatar belakang seorang atlet. Tapi juga karena kepahlawanan
olahraga memungkinkan imajinasi kepahlawanan dan patriotisme menemukan
pengejawantahannya yang konkret.
Olahraga, apalagi dalam pertandingan
kompetitif berskala internasional, merupakan bentuk modern dari perjuangan
fisik dan bersenjata di masa perjuangan dulu. Karakter olahraga kompetitif
yang membagi permainan ke dalam dua kubu, A vs B, kita vs mereka, kami vs
kalian, kawan vs lawan, memungkinkan imajinasi tentang perjuangan fisik
menjadi tampak nyata.
Dalam skala kompetisi antarnegara, patriotisme
menampakkan wujudnya yang jelas karena yang bertanding adalah dua negara yang
berbeda. Tensi bisa sangat tinggi jika yang bertanding mewakili dua negara
yang punya riwayat perseteruan atau antara dua negara yang sedang bersaing
secara geopolitik. Misalnya Amerika vs Rusia, Israel vs Palestina, atau
bahkan misalnya Indonesia vs Malaysia.
Mewakili negara dalam sebuah pertandingan
berskala internasional memang punya bobot berbeda jika dibandingkan dengan
mewakili klub. Kebanggaan bangsa dipertaruhkan. Nama baik bangsa juga diuji.
Harapan seluruh rakyat tersematkan di pundak
para atlet. Bahkan, dalam level pertandingan yang penting, dukungan rakyat
pun bisa terkumpul dengan sangat masif sehingga energi nasionalisme seperti
menyelimuti seluruh negeri.
Kemenangan dalam pertandingan atau kompetisi
seperti itu bisa sangat membanggakan. Apalagi jika kemenangan disempurnakan
dengan dikereknya Sang Saka Merah Putih dan diiringi kumandang lagu Indonesia
Raya.
Kebanggaan sebagai sebuah bangsa naik seketika. Nama bangsa pun dengan
sendirinya terharumkan oleh prestasi-prestasi berskala internasional.
Banyak di antara kita yang masih ingat betapa
bangga dan terharunya kita semua saat Susi Susanti meraih emas di Olimpiade
1992 di Barcelona. Emas pertama dalam sejarah keikutsertaan Indonesia di
Olimpiade itu disambut dengan gegap gempita. Berkat Susi, untuk kali pertama
dalam sejarah, Indonesia bisa berdiri sejajar dengan negara lain yang pernah
meraih emas di Olimpiade.
Saat Susi Susanti terisak penuh haru kala
bendera Merah Putih dikerek dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, jutaan
rakyat Indonesia juga merasakan keharuan serta kebanggaan yang sama. Siapa
pun yang menyaksikan adegan ketika Susi Susanti terisak penuh haru di
Barcelona niscaya ada dalam frekuensi emosi yang sama dengan seorang Susi.
Susi Susanti, juga atlet-atlet lain yang
pernah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, adalah para
pahlawan kontemporer bangsa ini. Mereka memang tak mengangkat senjata untuk
memerangi penjajah. Namun, keberhasilan mereka dengan sendirinya membuat nama
Indonesia terangkat di mata dunia.
Merekalah yang akhirnya menjadi ”diplomat paro
waktu” yang mempromosikan Indonesia. Para atlet yang menjadi juara dunia
tentu berjasa memperkenalkan nama Indonesia ke dunia. Mereka, pada dasarnya,
dengan kemampuan di bidangnya sendiri telah menjadi seorang diplomat.
Jika kita sudah akrab dengan istilah
”diplomasi budaya”, semestinya olahraga pun bisa memainkan peran serupa. Para
juara dengan sendirinya menjadi ujung tombak diplomasi Indonesia di dunia
internasional.
Olahraga akhirnya memungkinkan wacana
kepahlawanan menemukan relevansinya di zaman sekarang. Siapa pun bisa menjadi
pahlawan bagi Indonesia walaupun tak hidup pada zaman penjajahan. Siapa pun
bisa menjadi pahlawan jika bisa mempersembahkan prestasi yang membanggakan
dan mengharumkan nama Indonesia.
Melalui olahraga itulah, akhirnya kepahlawanan
juga bisa terus dipraktikkan dalam bidang-bidang lain. Seorang peneliti yang
berhasil dengan sebuah penemuan yang penting bagi umat manusia jelas menjadi
prestasi yang membanggakan bagi bangsanya. Mantan Presiden Habibie, misalnya,
yang mengharumkan nama Indonesia dalam bidang riset dan industri
kedirgantaraan. Jika suatu saat ada anak bangsa yang berhasil meraih Nobel
Ekonomi atau Nobel Sastra, untuk contoh lain, tentu dia juga menjadi pahlawan
bagi kita semua.
Kepahlawanan tidak lagi menjadi monopoli masa
lalu dan tokohtokoh bangsa yang sudah meninggal. Melalui olahraga dan yang
lainnya, kepahlawanan tetap mungkin lahir terus-menerus. Kepahlawanan
akhirnya terus dan selalu akan relevan sampai kapan pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar