Nasmod untuk Rintisan dan Terobosan
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 09 November 2015
BEGINILAH ceritanya:
mengapa teknologi penemuan ahli-ahli kita sendiri kalah dengan teknologi dari
luar negeri. Teknologi temuan ahli kita kurang memiliki kesempatan untuk
diterapkan. Akibatnya, peluang untuk dilihat kekurangannya pun kecil.
Padahal, tanpa tahu
kekurangannya, bagaimana bisa disempurnakan? Padahal, tidak ada teknologi
yang begitu diciptakan bisa langsung sempurna. Mengapa sulit dapat kesempatan
untuk diterapkan?
Saya juga baru tahu
lima tahun lalu. Saat itu saya menjadi Dirut PLN. Tahu saya pun setelah saya
kebentur-bentur di sana-sini. Sebetulnya kalau saya masa bodoh sih tidak akan
ada risiko. Tapi, saya tidak bisa begitu.
Misalnya, saya tahu
kita pasti mampu membuat trafo 500 kVA. Pasti! Memang sulitnya luar biasa.
Tapi pasti mampu. Lalu mengapa kita selalu saja harus impor? Padahal
harganya, saat itu, Rp 120 miliar per satu buah. Semua itu berawal dari
sistem tender. Apakah itu permainan tender? Bisa ya, bisa tidak.
Yang membuat harganya
sampai Rp 120 miliar per buah tentulah ada unsur permainannya, meski mungkin
tidak bisa ditemukan unsur pidananya. Maka sistem tender lama kami ubah:
harganya pun anjlok tinggal Rp 37 miliar per buah. Tentu banyak yang marah.
Tapi kami cuek saja. Itu tidak sulit.
Yang sulit adalah
ini: dalam ketentuan suatu tender, kadang ada syarat yang sama sekali tidak
memungkinkan sebuah penemuan baru bisa ikut tender. Misalnya bila dalam
tender itu ada syarat begini: barang tersebut sudah harus terbukti pernah
dipakai secara komersial selama tiga tahun dan terbukti andal. Bahkan, bisa
saja ada tambahan syarat begini: harus pernah dipakai di negara tropis selama
tiga tahun.
Mengapa ada syarat
seperti itu? Kadang memang harus. Kalau tidak, bisa-bisa panitia tendernya
akan terkena perkara: dianggap kongkalikong dengan produsen baru. Apalagi
kalau barang itu nanti kurang bagus di sana-sini. Atau terbukti kurang andal.
Atau kalah efisien. Matilah panitianya.
Tapi, dengan ketentuan
seperti itu, matilah para penemu teknologi baru. Padahal, penemuan baru pasti
memiliki kekurangan. Justru dari situlah penyempurnaan dilakukan.
Jangankan penemuan
baru. Penemuan lama pun begitu. Hanya, kalau kekurangan itu terjadi pada
teknologi yang sudah banyak dipakai, panitia tender tidak akan disalahkan.
Tapi, kalau itu terjadi di teknologi baru, panitia akan babak belur. Yang
dibilang ceroboh. Yang dibilang ada permainan. Yang dibilang kok
berani-beraninya. Dan seterusnya.
Tapi, dalam hal trafo
500 kVA tersebut, waktu itu, kami agak nekat. Apalagi toh ini bukan soal
penemuan baru. Ini hanya aplikasi baru. Pasti bisa. Tidak boleh lagi impor.
Harus bikin di dalam negeri. Dan
ternyata bisa. Sampai sekarang. Tidak perlu impor lagi.
Demikian juga
teknologi CNG (compressed natural gas).
Waktu itu diketahui ada sumber gas di daerah yang sedang krisis listrik:
Jambi. Tapi, sumber gasnya kecil sekali. Tidak ekonomis untuk dialirkan
melalui pipa ke pembangkit listrik yang jauh. Diekspor pun tidak mungkin.
Akhirnya lebih sepuluh tahun gas itu tidak dimanfaatkan.
Ada ide cemerlang waktu
itu: gas tersebut dipadatkan untuk ditampung dalam sebuah tangki CNG. Tapi,
belum ada teknologi CNG seperti itu di Indonesia. Yang ada baru CNG dalam
tabung-tabung. Akhirnya kami nekat mengadakannya. Hanya karena kami ingin
agar gas tersebut tidak mubazir. Daripada PLN pakai genset yang BBM-nya
begitu mahal. Akhirnya gas itu bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik
40 mw. Sangat membantu mengatasi krisis listrik.
Trafo 500 kVA dan CNG
hanyalah contoh rintisan sekaligus terobosan. Dan beberapa lagi. Semua bisa
terlaksana. Memang ada risikonya. Tapi, beranikah kini sebuah perusahaan BUMN
merealisasikan teknologi baru nickel smelter seperti yang ditemukan Dr Ir
Sungging Pintowantoro dari ITS itu? Padahal, teknologi baru itu sudah melalui
penelitian dan uji coba yang dibiayai negara. Padahal, kalau teknologi baru
itu diterapkan, kita tidak perlu impor coking coal lagi.
Beranikah panitia
tendernya? Beranikah menanggung risikonya?
Tentu ada jalan lain
yang tidak harus ada risiko itu. Saya bisa mengusulkan rumusan konkretnya.
Rumusan itulah yang harus menjadi peraturan. Yakni peraturan yang dijiwai
nasionalisme modern.
Memang mengatasi
persoalan-persoalan riil seperti itulah yang kini memerlukan perjuangan
nasional. Juga perlu kecerdikan. Terobosan. Risiko. Inilah perjuangan
nasionalisme modern (nasmod) yang saya maksud dalam New Hope bulan lalu.
Lihat: Modern agar Tidak Anti-Apa pun
Yang seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan slogan. Juga
tidak bisa dengan cara dan model perjuangan nasionalisme sempit. Kita harus
punya nasmod yang modern itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar