Kamis, 12 November 2015

Di Balik Pertemuan Xi-Ma

Di Balik Pertemuan Xi-Ma

Yeremia Lalisang  ;  Pengajar Departemen HI UI;
Tengah Menyelesaikan S-3 di Universitas Xiamen, Tiongkok
                                                     KOMPAS, 12 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 9 November lalu di Singapura dua pemimpin dari kedua sisi Selat Taiwan bertemu untuk pertama kali sejak Republik Rakyat Tiongkok berdiri pada 1949. Pesan apa yang hendak dikirim Tiongkok kepada publik domestik dan internasional melalui pertemuan itu?

Sepanjang 66 tahun ke belakang, sesungguhnya telah terjadi sejumlah pertemuan resmi antarpejabat tinggi kedua belah pihak. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antarselat tidak melulu diwarnai konflik dan ketegangan, tetapi juga kerja sama dan interaksi positif.

Baik Tiongkok maupun Taiwan amat menghindari pertemuan resmi; yang pernah terjadi dipandang sebagai sebuah pertemuan resmi di antara dua entitas berdaulat. Pertemuan-pertemuan sebelumnya sering kali dikerangkakan sebagai pertemuan antarpartai berkuasa di Tiongkok dan Taiwan. Pada 2005, sebagai contoh, Hu Jintao bertemu dengan Lien Chan. Saat itu Hu bukan dalam kapasitasnya sebagai Presiden Tiongkok, melainkan sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis.

Atas dasar ini, pertemuan resmi Xi Jinping (Tiongkok) dan Ma Ying Jeou (Taiwan) terbilang istimewa dan bersejarah. Keduanya bertemu dalam kapasitas sebagai pemimpin tertinggi di kedua sisi Selat Taiwan. Langkah pragmatis pun diambil demi membuat yang tak mungkin jadi mungkin. Baik Xi maupun Ma memilih menyapa satu sama lain dengan "tuan".

Pertemuan keduanya jelas menunjukkan suatu perbaikan dalam evolusi hubungan antarselat. Di masa awal Tiongkok dan Taiwan hanya diwakilkan organi- sasi nirpemerintah dalam menggelar pertemuan resmi. Kondisi dalam negeri dan tantangan internasional yang dihadapi Tiongkok dapat membantu kita memahami alasan yang mungkin mendorong Beijing menyetujui berlangsungnya pertemuan ini.

Kemakmuran

Berhasil mewujudkan kemakmuran sebagian besar rakyat jadi fondasi penting legitimasi politik rezim berkuasa di Tiongkok. Partai Komunis Tiongkok telah menetapkan target ekonomi yang ambisius. Pada 2021, ketika partai itu merayakan HUT ke-100, produk domestik bruto dan pendapatan per kapita Tiongkok haruslah dua kali capaian 2010.

Namun, fenomena keajaiban ekonomi Tiongkok yang menikmati pertumbuhan ekonomi dua digit selama dua dekade berturut sudah berlalu. Kini negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia itu mengalami pelambatan ekonomi berarti.

Selain itu, Beijing baru saja menghadapi gelombang protes massa pro demokrasi yang berkepanjangan di Hongkong. Meski protes massa telah mereda, masih belum jelas apakah Beijing telah berhasil mengendalikan situasi. Beijing pun terus-menerus menghadapi tantangan dari kelompok etnis minoritas yang ingin memisahkan diri.

Melalui pertemuan dengan Ma, Xi ingin menampilkan suatu gambaran Pemerintah Tiongkok sebagai auktor progresif dan proaktif dalam mengelola hubungan antarselat. Tantangan ekonomi dan politik dalam negeri itu menyarankan bahwa Beijing akan memastikan pertemuan itu hanya akan berdampak positif pada stabilitas politik dalam negeri. Manuver politik berisiko tinggi dihindari. Dengan kata lain, pertemuan tak akan menghasilkan hal baru terkait isu reunifikasi atau kemerdekaan Taiwan.

Di lingkungan eksternal Tiongkok pun aktif dan progresif. Negara itu kini muncul dengan menawarkan berbagai inisiatif yang dirancangnya sendiri. Melalui promosi inisiatif "Satu Sabuk Satu Jalan", yang mengandung proposal membangun "Jalur Sutra Maritim," dan pendirian Bank Pembangunan Infrastruktur Asia, Beijing hendak memproyeksikan kesiapannya mengambil peran lebih besar dalam dinamika hubungan antarnegara, baik di kawasan maupun pada tataran global.

Namun, usaha memproyeksikan citra diri yang positif terus- menerus dibayangi dengan keterlibatan Tiongkok dalam sengketa wilayah maritim di Laut Tiongkok Selatan. Baru-baru ini Tiongkok mengalami kekalahan hukum setelah pengadilan arbitrase internasional di Den Haag, Belanda, bersedia menerima aduan Filipina terkait sengketa wilayah itu. Tantangan lain muncul dari konsistensi Amerika Serikat untuk hadir di Laut Tiongkok Selatan. Awal minggu ini USS Lassen berlayar di wilayah itu, yang dimaknai Tiongkok sebagai aksi provokatif AS.

Dinamika lingkungan eksternal tetap akan menghadirkan tantangan signifikan bagi para pengambil kebijakan di Beijing. Hal ini menyarankan bahwa pertemuan Xi dan Ma adalah strategi Beijing mengelola isu Taiwan agar tidak berdampak negatif pada usahanya melaksanakan agenda kebijakan luar negerinya.

Melalui pertemuan itu, Beijing tampaknya hendak mengirim pesan kepada publik internasional, dan di kawasan pada khususnya, bahwa untuk isu sensitif, seperti masalah integritas nasional, Beijing bisa diajak berbicara dan tak selalu mengedepankan ancaman penggunaan kekerasan. Tiongkok menyambut penggunaan cara kooperatif dan konsultatif meski tak berarti sikapnya terhadap isu itu melunak.

Pengaruhi pemilu Taiwan?

Sulit untuk tak mengaitkan kesediaan Xi bertemu dengan Ma dengan fakta bahwa Taiwan akan menggelar pemilihan umum dalam kurang dari tiga bulan.

Ma tak akan lagi terpilih karena telah berkuasa selama dua periode. Survei menjelang pemilu menunjukkan bahwa kandidat partai oposisi, Partai Progresif Demokratik (PPD), yang selama ini bersikap tak pro Beijing, jauh lebih populer daripada kandidat Partai Nasionalis, yang dinilai lebih dekat kepada Tiongkok.

Sejarah mencatat bahwa Tiongkok pernah berusaha memengaruhi dinamika pemilu di Taiwan. Pada 1996 Tiongkok menguji coba misil di Selat Taiwan untuk mengintimidasi para pemilih agar tak memilih kandidat presiden dari PPD yang dinilai mendukung kemerdekaan Taiwan. Namun, hal ini justru berdampak buruk bagi kepentingan Beijing. Kandidat dari PPD, Lee Teng-hui, menang telak saat itu.

Peristiwa tatap muka Ma dan Xi kini tengah digunakan PPD menyerang Partai Nasionalis. PPD mengeluarkan pernyataan keras menolak pertemuan itu, bahkan Ma disebut tengah melakukan kowtow terhadap Beijing.

Konstelasi terakhir terkait kompetisi politik antara Partai Nasionalis dan PPD menjelang pemilu di Taiwan menyarankan bahwa Tiongkok jelas butuh lebih dari sekadar pertemuan formal demi mendongkrak popularitas Partai Nasionalis, yang kini terpuruk. Kita harus menanti tindakan lanjutan apa yang akan diambil kedua belah pihak setelah pertemuan berlangsung untuk dapat mengkaji signifikansi taktik politik ini bagi dinamika politik di Taiwan.

Akan tetapi, mungkin saja target pertemuan ini bukanlah jangka pendek. Pertemuan bisa jadi sekadar mekanisme dialog langsung antara Beijing dan Partai Nasionalis demi konsolidasi politik jangka panjang kedua pihak. Singkatnya, Beijing hendak memastikan bahwa sikap partai tersebut masih cenderung suportif terhadap kepentingan Tiongkok meski kemungkinan besar tak akan berkuasa empat tahun mendatang.

Hal lain yang sudah pasti adalah pertemuan itu akan berdampak positif bagi Ma secara pribadi. Mencatatkan diri dalam sejarah sebagai pemimpin Taiwan yang melakukan tatap muka langsung dengan pemimpin Tiongkok daratan adalah buah manis di ujung karier politiknya.

Kita menunggu hasil dan tindakan lanjutan dari pertemuan Xi dan Ma. Semoga berdampak positif bagi hubungan kedua belah pihak di segala lini serta dinamika ekonomi dan politik di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar