Selasa, 10 November 2015

Menuju Demokrasi Agonistik

Menuju Demokrasi Agonistik

Lambang Trijono  ;  Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada
                                                     KOMPAS, 09 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Momen peringatan Sumpah Pemuda Ke-87 tahun ini terasa kurang diisi semangat baru persatuan Indonesia di tengah berbagai tantangan yang dihadapi bangsa. Mengenang sejarah rintisan persatuan bangsa di masa lalu itu akan lebih terasa bermakna kalau peristiwa itu kita tempatkan dalam konteks tantangan terkini yang dihadapi bangsa dalam mewujudkan persatuan di masyarakat demokratis. Apa tantangan utama yang dihadapi bangsa di era demokrasi sekarang untuk mewujudkan persatuan itu?

Tantangan terkini

Bagaimana menghadirkan persatuan di tengah berkembangnya perbedaan atau pluralitas di masyarakat demokratis merupakan persoalan krusial yang dihadapi pembangunan bangsa sekarang. Pluralitas berarti tiadanya lagi konsepsi tunggal tentang kebaikan umum (common goods) karena berkembang perbedaan pandangan tentang kebaikan umum di masyarakat.

Situasi itulah yang kita hadapi sekarang. Persatuan menghadapi tantangan tersendiri di tengah masyarakat demokratis yang memiliki beragam pandangan tentang kebaikan umum.

Di masyarakat demokratis, persatuan tidak bisa dihadirkan dengan menghilangkan perbedaan, melakukan penyeragaman, menghadirkan absolutisme, atau totalitas pandangan, karena dengan itu akan disertai eksklusi yang menghambat terbentuknya persatuan. Sebaliknya, membiarkan pluralitas apa adanya, yang dengan itu akan berkembang eksklusivisme masing-masing, tanpa disertai penyatuan untuk mencapai tujuan bersama juga bukan pilihan yang dibenarkan dalam pembangunan bangsa menuju terbentuknya masyarakat demokratis.

Menghadapi dilema ini, kita perlu menemukan resolusi yang tepat bagaimana menghadirkan persatuan di tengah perbedaan, atau kebaikan umum di tengah pluralitas, atau sebuah formasi sosial yang ideal sebagaimana digambarkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Formasi sosial yang ideal sebagaimana digambarkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu mendapat tantangan tersendiri di masyarakat demokratis sekarang. Di satu sisi, demokratisasi telah meningkatkan kesadaran akan hak-hak, otonomi dan kebebasan individual, yang dengan itu menciptakan eksklusivisme individual ketika tidak disertai aktualisasi politik dalam ranah publik. Di sisi lain, pluralisme kultural yang ada telah memperkuat sentimen kedaerahan, keagamaan, dan ketika hal itu dirayakan tanpa disertai semangat persatuan akan menciptakan eksklusivisme komunitas masing-masing.

Kedua kecenderungan itu membawa implikasi berkembangnya simtom kelangkaan kesadaran berbangsa, atau ketiadaan terbentuknya kepentingan umum, atau kebaikan publik, yang menghambat pembentukan negara-bangsa yang demokratis. Simtom kelangkaan kesadaran berbangsa, atau ketiadaan terbentuknya kepentingan umum, atau kebaikan publik itu bermacam-macam bentuknya, antara lain yang menonjol sekarang ini adalah berkembangnya intoleransi, eksklusi, konflik sosial, dan kelangkaan solidaritas di tengah masyarakat.

Konflik sosial yang merebak di masyarakat Indonesia sekarang, meski telah memasuki demokrasi, dan karena itu bisa disebut sebagai paradoks demokrasi, bisa dibaca sebagai ketiadaan kelembagaan politik yang mampu menghadirkan persatuan di tengah perbedaan, atau menghadirkan kebaikan umum di tengah pluralisme, atau ketiadaan pelembagaan demokrasi dalam kehidupan sosial. Ketiadaan kelembagaan demokratis ini bisa dibaca pula sebagai bentuk absennya negara demokratis dalam menciptakan kebaikan publik.

Kerangka kerja demokratis

Menghadapi tantangan ini, diperlukan kerangka kerja demokratis untuk mengatasi simtom kelangkaan kebaikan umum, atau mengatasi eksklusivisme individual dan komunitas itu, dengan menghadirkan kebaikan publik, atau kelembagaan politik demokratis untuk menjalankan misinya mencapai persatuan di tengah pluralitas yang ada.

Kerangka kerja demokratis ini, di satu sisi, tetap menghormati hak-hak, otonomi dan kebebasan individual, dan di sisi lain, menghormati pluralitas kultural yang ada. Namun, semua itu diaktualisasi untuk mencapai kepentingan umum atau kebaikan publik. Kerangka kerja demokratis itu di sini aktif mengatasi eksklusivisme individual dan komunitas dengan menghadirkan kepentingan bersama, membentuk karakter bangsa, sebagai strategi pembentukan negara-bangsa di masyarakat demokratis.

Berbeda dengan model penyatuan konservatif yang memaksakan kehendak, dan juga berbeda dengan model pembiaran pluralisme, kerangka kerja demokratis memandang rakyat sebagai subyek warga negara, atau subyek publik, yang selalu aktif menciptakan kepentingan umum, atau kebaikan publik.

Kerangka kerja demokratis ini, di satu sisi, memperkuat hak-hak, otonomi, dan kebebasan individual. Sementara di sisi lain juga mengaktivasi hak-hak, otonomi, dan kebebasan itu di ranah publik atau penentuan kebijakan.

 Melalui formula pembentukan masyarakat demokratis seperti itu, kerangka kerja demokratis menciptakan persatuan di tengah perbedaan dengan mengakui konflik untuk dikelola, atau konflik dalam konsensus. Kebiasaan semacam ini perlu dimiliki di masyarakat demokratis dalam bersikap menghadapi perbedaan, termasuk perbedaan pandangan politik.

Format demokrasi yang paling cocok untuk itu adalah demokrasi agonistik. Dalam demokrasi ini, pihak lain berbeda pendapat bukan dipandang sebagai musuh (enemy) yang harus disingkirkan, melainkan sebagai lawan (adversary), yaitu pihak lain yang dilawan pendapatnya, akan tetapi hak-hak mereka untuk menyampaikan pendapat tetap diakui sebagai sesuatu yang sah, atau legitimate dalam masyarakat demokratis. Apabila kita bisa mempraktikkan demokrasi agonistik ini, maka kita bisa berharap keindonesian dalam kebinekaan itu akan tetap terpelihara dan terus bisa diwujudkan, meski kita dihadapkan pada tantangan pluralitas yang semakin mengemuka di masyarakat demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar