Menuju Demokrasi Agonistik
Lambang Trijono ; Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada
|
KOMPAS,
09 November 2015
Momen peringatan
Sumpah Pemuda Ke-87 tahun ini terasa kurang diisi semangat baru persatuan
Indonesia di tengah berbagai tantangan yang dihadapi bangsa. Mengenang
sejarah rintisan persatuan bangsa di masa lalu itu akan lebih terasa bermakna
kalau peristiwa itu kita tempatkan dalam konteks tantangan terkini yang
dihadapi bangsa dalam mewujudkan persatuan di masyarakat demokratis. Apa tantangan
utama yang dihadapi bangsa di era demokrasi sekarang untuk mewujudkan
persatuan itu?
Tantangan terkini
Bagaimana menghadirkan
persatuan di tengah berkembangnya perbedaan atau pluralitas di masyarakat
demokratis merupakan persoalan krusial yang dihadapi pembangunan bangsa
sekarang. Pluralitas berarti tiadanya lagi konsepsi tunggal tentang kebaikan
umum (common goods) karena
berkembang perbedaan pandangan tentang kebaikan umum di masyarakat.
Situasi itulah yang
kita hadapi sekarang. Persatuan menghadapi tantangan tersendiri di tengah
masyarakat demokratis yang memiliki beragam pandangan tentang kebaikan umum.
Di masyarakat
demokratis, persatuan tidak bisa dihadirkan dengan menghilangkan perbedaan,
melakukan penyeragaman, menghadirkan absolutisme, atau totalitas pandangan,
karena dengan itu akan disertai eksklusi yang menghambat terbentuknya
persatuan. Sebaliknya, membiarkan pluralitas apa adanya, yang dengan itu akan
berkembang eksklusivisme masing-masing, tanpa disertai penyatuan untuk
mencapai tujuan bersama juga bukan pilihan yang dibenarkan dalam pembangunan
bangsa menuju terbentuknya masyarakat demokratis.
Menghadapi dilema ini,
kita perlu menemukan resolusi yang tepat bagaimana menghadirkan persatuan di
tengah perbedaan, atau kebaikan umum di tengah pluralitas, atau sebuah
formasi sosial yang ideal sebagaimana digambarkan dalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.
Formasi sosial yang
ideal sebagaimana digambarkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu mendapat
tantangan tersendiri di masyarakat demokratis sekarang. Di satu sisi,
demokratisasi telah meningkatkan kesadaran akan hak-hak, otonomi dan
kebebasan individual, yang dengan itu menciptakan eksklusivisme individual
ketika tidak disertai aktualisasi politik dalam ranah publik. Di sisi lain,
pluralisme kultural yang ada telah memperkuat sentimen kedaerahan, keagamaan,
dan ketika hal itu dirayakan tanpa disertai semangat persatuan akan
menciptakan eksklusivisme komunitas masing-masing.
Kedua kecenderungan
itu membawa implikasi berkembangnya simtom kelangkaan kesadaran berbangsa,
atau ketiadaan terbentuknya kepentingan umum, atau kebaikan publik, yang
menghambat pembentukan negara-bangsa yang demokratis. Simtom kelangkaan
kesadaran berbangsa, atau ketiadaan terbentuknya kepentingan umum, atau
kebaikan publik itu bermacam-macam bentuknya, antara lain yang menonjol
sekarang ini adalah berkembangnya intoleransi, eksklusi, konflik sosial, dan
kelangkaan solidaritas di tengah masyarakat.
Konflik sosial yang
merebak di masyarakat Indonesia sekarang, meski telah memasuki demokrasi, dan
karena itu bisa disebut sebagai paradoks demokrasi, bisa dibaca sebagai
ketiadaan kelembagaan politik yang mampu menghadirkan persatuan di tengah
perbedaan, atau menghadirkan kebaikan umum di tengah pluralisme, atau
ketiadaan pelembagaan demokrasi dalam kehidupan sosial. Ketiadaan kelembagaan
demokratis ini bisa dibaca pula sebagai bentuk absennya negara demokratis
dalam menciptakan kebaikan publik.
Kerangka kerja demokratis
Menghadapi tantangan
ini, diperlukan kerangka kerja demokratis untuk mengatasi simtom kelangkaan
kebaikan umum, atau mengatasi eksklusivisme individual dan komunitas itu,
dengan menghadirkan kebaikan publik, atau kelembagaan politik demokratis
untuk menjalankan misinya mencapai persatuan di tengah pluralitas yang ada.
Kerangka kerja
demokratis ini, di satu sisi, tetap menghormati hak-hak, otonomi dan
kebebasan individual, dan di sisi lain, menghormati pluralitas kultural yang
ada. Namun, semua itu diaktualisasi untuk mencapai kepentingan umum atau
kebaikan publik. Kerangka kerja demokratis itu di sini aktif mengatasi
eksklusivisme individual dan komunitas dengan menghadirkan kepentingan
bersama, membentuk karakter bangsa, sebagai strategi pembentukan
negara-bangsa di masyarakat demokratis.
Berbeda dengan model
penyatuan konservatif yang memaksakan kehendak, dan juga berbeda dengan model
pembiaran pluralisme, kerangka kerja demokratis memandang rakyat sebagai
subyek warga negara, atau subyek publik, yang selalu aktif menciptakan
kepentingan umum, atau kebaikan publik.
Kerangka kerja
demokratis ini, di satu sisi, memperkuat hak-hak, otonomi, dan kebebasan
individual. Sementara di sisi lain juga mengaktivasi hak-hak, otonomi, dan
kebebasan itu di ranah publik atau penentuan kebijakan.
Melalui formula pembentukan masyarakat
demokratis seperti itu, kerangka kerja demokratis menciptakan persatuan di
tengah perbedaan dengan mengakui konflik untuk dikelola, atau konflik dalam
konsensus. Kebiasaan semacam ini perlu dimiliki di masyarakat demokratis
dalam bersikap menghadapi perbedaan, termasuk perbedaan pandangan politik.
Format demokrasi yang
paling cocok untuk itu adalah demokrasi agonistik. Dalam demokrasi ini, pihak
lain berbeda pendapat bukan dipandang sebagai musuh (enemy) yang harus disingkirkan, melainkan sebagai lawan (adversary), yaitu pihak lain yang
dilawan pendapatnya, akan tetapi hak-hak mereka untuk menyampaikan pendapat
tetap diakui sebagai sesuatu yang sah, atau legitimate dalam masyarakat demokratis. Apabila kita bisa
mempraktikkan demokrasi agonistik ini, maka kita bisa berharap keindonesian
dalam kebinekaan itu akan tetap terpelihara dan terus bisa diwujudkan, meski
kita dihadapkan pada tantangan pluralitas yang semakin mengemuka di
masyarakat demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar