Menakar Untung-Rugi PMN dalam Infrastruktur
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economic and Finance
|
KOMPAS,
09 November 2015
Pemerintah telah
mengeluarkan enam paket kebijakan stimulus untuk mendorong investasi. Dimulai
dari komitmen melakukan harmonisasi regulasi, penyederhanaan birokrasi dan
perizinan, pemberian berbagai insentif, hingga kebijakan mengurai masalah
perburuhan. Kebijakan terbaru dalam paket stimulus VI, pemerintah kembali
berkomitmen memberikan berbagai insentif fiskal dan nonfiskal kepada delapan
kawasan ekonomi khusus.
Pemerintah menambah
lagi intensif pajak, antara lain berupa tax
holiday, tax allowance, serta pembebasan Pajak Penghasilan. Kedelapan
kawasan ekonomi khusus (KEK) yang mendapat fasilitas itu adalah Tanjung
Lesung (Banten), Sei Mangkei (Sumatera Utara), Palu (Sulawesi Tengah), Bitung
(Sulawesi Utara), Mandalika (NTB), Morotai (Maluku Utara), Tanjung Api Api
(Sumatera Selatan), dan Maloy Batuta (Kalimantan Timur).
Tawaran pemberian
insentif untuk delapan KEK itu sebenarnya bukan kebijakan baru. Delapan KEK
ditetapkan sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Nyatanya, insentif yang ditawarkan pemerintah tidak kunjung menarik investor
untuk membangun industri di wilayah tersebut. Pasalnya, untuk dapat membangun
industri, setidaknya perlu pasokan energi, infrastruktur logistik yang
efisien, kawasan industri, dan ketersediaan air bersih. Artinya, kendati
pemerintah menggratiskan seluruh kewajiban fiskal investor, jika infrastruktur
dasar tidak memadai, tetap sulit membangun industri di sana.
Di sisi lain,
kemampuan pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur sangat terbatas,
terutama melalui skema APBN. Keterbatasan itu bukan hanya dari sisi
pembiayaan, melainkan juga dari birokrasi serta pola anggaran yang berbelit
dan kompleks. Pemerintah sudah menggeser belanja subsidi bahan bakar minyak
sehingga belanja modal pada APBN-P 2015 bertambah menjadi Rp 290,3 triliun.
Kenyataannya, realisasi belanja modal per 3 Agustus 2015 baru mencapai 15
persen. Selain permasalahan klasik keterlambatan penyerapan anggaran, ada
banyak kelemahan dalam mekanisme APBN untuk pembangunan infrastruktur.
Misalnya, jika ingin menambah belanja infrastruktur, pemerintah juga harus
menambah porsi anggaran mandatori, seperti pendidikan, kesehatan, dan dana
transfer daerah. Penentuan alokasi APBN juga memerlukan proses birokrasi
panjang serta mekanisme dan administrasi anggaran yang ketat, tambun, lamban,
dan tidak fleksibel.
Menghadapi permasalahan
itu, pemerintah berinisiatif melakukan terobosan untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur dengan melibatkan badan usaha milik negara (BUMN)
melalui penyertaan modal negara (PMN). Beberapa BUMN yang direncanakan
mendapat PMN adalah PT Perusahaan Listrik Negara, PT Wijaya Karya, PT Sarana
Multi Infrastruktur, dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Harapannya,
dengan tambahan modal, BUMN akan mampu meningkatkan ketersediaan
infrastruktur dasar, seperti pasokan energi listrik (PLN) dan infrastruktur logistik
(jalan, kereta api, dan sebagainya). Namun, DPR menunda persetujuan rencana
PMN itu dan baru akan membahasnya dalam APBN Perubahan 2016, Februari nanti.
Sejatinya, pelibatan
BUMN mendukung percepatan pembangunan infrastruktur memang dapat mengatasi
kelemahan pembangunan infrastruktur melalui mekanisme APBN. Penugasan
langsung kepada BUMN tertentu dapat lebih fokus mempercepat infrastruktur
prioritas. Misalnya, untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan listrik, lebih
tepat jika langsung melalui PLN. Alokasi anggaran kementerian untuk
infrastruktur selama ini harus melalui pihak ketiga, di antaranya BUMN.
Artinya, dengan melibatkan BUMN secara langsung, kendala proses lelang proyek
yang berbelit dan beraroma transaksional dapat dihilangkan.
Namun, PMN tetap
diposisikan sebagai ”proyek” pemerintah yang dititipkan kepada BUMN. Artinya,
BUMN hanya menggarap proyek sehingga berpeluang muncul berbagai konflik
kepentingan. Padahal, esensi PMN adalah memperkuat posisi permodalan BUMN
sehingga performa keuangan BUMN semakin sehat. Dengan begitu, BUMN dapat
bekerja sama dengan berbagai pihak, baik penyedia pembiayaan maupun
berkolabarosi dengan korporasi meningkatkan peran sebagai agen pembangunan.
Dengan demikian,
pemerintah dan DPR tinggal menentukan target yang harus dipenuhi BUMN
terkait. Misalnya, dengan tambahan PMN Rp 10 triliun kepada PLN, ada target
tambahan pasokan listrik dan peningkatan rasio elektrifikasi. Pengawasan
kinerja PLN akan ditentukan berdasarkan kelayakan bisnis. Direksi BUMN akan
terpacu memperbaiki performa kinerja dan konsisten menjalankan rencana bisnis
yang telah disepakati dengan lembaga pembiayaan ataupun mitra kerja.
Sayangnya, kontroversi
dan penolakan persetujuan DPR soal PMN infrastruktur bukan berdasarkan
persoalan substansi tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar