Selasa, 10 November 2015

Menakar Untung-Rugi PMN dalam Infrastruktur

Menakar Untung-Rugi PMN dalam Infrastruktur

Enny Sri Hartati  ;  Direktur Institute for Development of Economic and Finance
                                                     KOMPAS, 09 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pemerintah telah mengeluarkan enam paket kebijakan stimulus untuk mendorong investasi. Dimulai dari komitmen melakukan harmonisasi regulasi, penyederhanaan birokrasi dan perizinan, pemberian berbagai insentif, hingga kebijakan mengurai masalah perburuhan. Kebijakan terbaru dalam paket stimulus VI, pemerintah kembali berkomitmen memberikan berbagai insentif fiskal dan nonfiskal kepada delapan kawasan ekonomi khusus.

Pemerintah menambah lagi intensif pajak, antara lain berupa tax holiday, tax allowance, serta pembebasan Pajak Penghasilan. Kedelapan kawasan ekonomi khusus (KEK) yang mendapat fasilitas itu adalah Tanjung Lesung (Banten), Sei Mangkei (Sumatera Utara), Palu (Sulawesi Tengah), Bitung (Sulawesi Utara), Mandalika (NTB), Morotai (Maluku Utara), Tanjung Api Api (Sumatera Selatan), dan Maloy Batuta (Kalimantan Timur).

Tawaran pemberian insentif untuk delapan KEK itu sebenarnya bukan kebijakan baru. Delapan KEK ditetapkan sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Nyatanya, insentif yang ditawarkan pemerintah tidak kunjung menarik investor untuk membangun industri di wilayah tersebut. Pasalnya, untuk dapat membangun industri, setidaknya perlu pasokan energi, infrastruktur logistik yang efisien, kawasan industri, dan ketersediaan air bersih. Artinya, kendati pemerintah menggratiskan seluruh kewajiban fiskal investor, jika infrastruktur dasar tidak memadai, tetap sulit membangun industri di sana.

Di sisi lain, kemampuan pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur sangat terbatas, terutama melalui skema APBN. Keterbatasan itu bukan hanya dari sisi pembiayaan, melainkan juga dari birokrasi serta pola anggaran yang berbelit dan kompleks. Pemerintah sudah menggeser belanja subsidi bahan bakar minyak sehingga belanja modal pada APBN-P 2015 bertambah menjadi Rp 290,3 triliun. Kenyataannya, realisasi belanja modal per 3 Agustus 2015 baru mencapai 15 persen. Selain permasalahan klasik keterlambatan penyerapan anggaran, ada banyak kelemahan dalam mekanisme APBN untuk pembangunan infrastruktur. Misalnya, jika ingin menambah belanja infrastruktur, pemerintah juga harus menambah porsi anggaran mandatori, seperti pendidikan, kesehatan, dan dana transfer daerah. Penentuan alokasi APBN juga memerlukan proses birokrasi panjang serta mekanisme dan administrasi anggaran yang ketat, tambun, lamban, dan tidak fleksibel.

Menghadapi permasalahan itu, pemerintah berinisiatif melakukan terobosan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dengan melibatkan badan usaha milik negara (BUMN) melalui penyertaan modal negara (PMN). Beberapa BUMN yang direncanakan mendapat PMN adalah PT Perusahaan Listrik Negara, PT Wijaya Karya, PT Sarana Multi Infrastruktur, dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia. Harapannya, dengan tambahan modal, BUMN akan mampu meningkatkan ketersediaan infrastruktur dasar, seperti pasokan energi listrik (PLN) dan infrastruktur logistik (jalan, kereta api, dan sebagainya). Namun, DPR menunda persetujuan rencana PMN itu dan baru akan membahasnya dalam APBN Perubahan 2016, Februari nanti.

Sejatinya, pelibatan BUMN mendukung percepatan pembangunan infrastruktur memang dapat mengatasi kelemahan pembangunan infrastruktur melalui mekanisme APBN. Penugasan langsung kepada BUMN tertentu dapat lebih fokus mempercepat infrastruktur prioritas. Misalnya, untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan listrik, lebih tepat jika langsung melalui PLN. Alokasi anggaran kementerian untuk infrastruktur selama ini harus melalui pihak ketiga, di antaranya BUMN. Artinya, dengan melibatkan BUMN secara langsung, kendala proses lelang proyek yang berbelit dan beraroma transaksional dapat dihilangkan.

Namun, PMN tetap diposisikan sebagai ”proyek” pemerintah yang dititipkan kepada BUMN. Artinya, BUMN hanya menggarap proyek sehingga berpeluang muncul berbagai konflik kepentingan. Padahal, esensi PMN adalah memperkuat posisi permodalan BUMN sehingga performa keuangan BUMN semakin sehat. Dengan begitu, BUMN dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, baik penyedia pembiayaan maupun berkolabarosi dengan korporasi meningkatkan peran sebagai agen pembangunan.

Dengan demikian, pemerintah dan DPR tinggal menentukan target yang harus dipenuhi BUMN terkait. Misalnya, dengan tambahan PMN Rp 10 triliun kepada PLN, ada target tambahan pasokan listrik dan peningkatan rasio elektrifikasi. Pengawasan kinerja PLN akan ditentukan berdasarkan kelayakan bisnis. Direksi BUMN akan terpacu memperbaiki performa kinerja dan konsisten menjalankan rencana bisnis yang telah disepakati dengan lembaga pembiayaan ataupun mitra kerja.

Sayangnya, kontroversi dan penolakan persetujuan DPR soal PMN infrastruktur bukan berdasarkan persoalan substansi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar