Selasa, 10 November 2015

Menimbang Pahlawan Nasional

Menimbang Pahlawan Nasional

Asvi Warman Adam  ;  Sejarawan LIPI
                                                     KOMPAS, 10 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak tahun 1959 sampai dengan 2014 telah diangkat 163 orang pahlawan nasional. Berarti, rata-rata tiga orang setiap tahun memperoleh gelar sangat terhormat tersebut  walaupun ada tahun-tahun yang absen atau sebaliknya panen sampai 14 orang dari unsur "nasakom" (tahun 1964).  

Mungkin jumlah pahlawan nasional di Indonesia sekarang ini terbanyak di dunia walaupun tidak ada salahnya ditambah. Apabila ada seorang pahlawan yang diteladani oleh 1 juta penduduk, maka kita bisa mengangkat 250 orang.

Mungkin saja ada yang berpendapat perlu diadakan moratorium pengangkatan pahlawan nasional saat ini sampai 163 pahlawan yang ada disosialisasikan secara memadai di masyarakat, terutama melalui pelajaran sejarah. Salah satu contoh, apakah Anda mengenal Pong Tiku, pahlawan nasional dari Toraja?

Kalau daftar pahlawan nasional itu dianggap sebagai album bangsa, tentu ada representasi berbagai suku, agama, golongan, dan daerah di sana. Namun, membaca biografi perjuangan para pahlawan nasional tersebut bisa timbul pertanyaan, apakah sesungguhnya mereka pahlawan "tingkat nasional atau "tingkat daerah"? Kalau begitu, apakah perlu diangkat "pahlawan daerah" selain dari "pahlawan nasional"?

Seyogianya kebijakan atau politik pahlawan nasional ini dirumuskan oleh Dewan Gelar dan Tanda yang terdiri atas tujuh orang tersebut. Seyogianya dewan ini dipimpin seorang sejarawan dan hanya bertugas maksimal dua periode (2 x 5 tahun). Demikian pula tim penyeleksi pada Kementerian Sosial, yakni Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat yang berjumlah 13 orang itu jangan terus didominasi oleh Pusat Sejarah TNI atau pensiunannya.  

Sarat kepentingan

Pengusulan pahlawan nasional ini sarat dan bertumpang tindih kepentingan daerah, suku, agama, dan golongan, bahkan keluarga. Masing-masing ingin ada (atau menambah) wakilnya dalam album pahlawan nasional. Pada akhir Orde Baru, daerah-daerah bersemangat mengusulkan pahlawan mereka, sampai ada yang menyediakan anggaran untuk itu pada daerah tingkat I dan II. Pada era Reformasi, yang mencolok adalah usulan dari kalangan agama Islam, terutama menyangkut tokoh besar yang kebetulan tersangkut kasus PRRI/Permesta.

Militer berprinsip, pemberontak tak boleh jadi pahlawan nasional. Namun, usaha intensif yang digalang elite Islam, seperti Bachtiar Chamsyah (ketika itu Menteri Sosial) dan AM Fatwa membuahkah hasil dengan diangkatnya M Natsir dan Sjafrudin Prawiranegara jadi pahlawan nasional. Tentu sebagai konsekuensinya dalam pengajaran sejarah nasional selanjutnya masalah pemberontakan itu tak bisa lagi dilihat sebagai hitam-putih.

Persoalan lain yang dilematis adalah pencalonan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Ada pihak yang pro dan kontra. Yang mendukung memberi alasan kesuksesan pembangunan selama 30 tahun. Kelompok penentang menyodorkan pelanggaran HAM berat yang terjadi semasa Orde Baru, yang jadi tanggung jawab Soeharto. Demikian pula dengan Abdurrahman Wahid, jika ia diangkat sekarang tentu timbul pertanyaan kenapa Gus Dur lebih dulu daripada Soeharto. Pengalaman yang lalu, Soekarno menjadi pahlawan proklamator baru 16 tahun setelah wafat. Dari sini dapat disimpulkan, lebih tepat presiden tidak/belum mengangkat pahlawan nasional para tokoh yang masih menjadi kontroversi.

Kalau begitu, siapa yang didahulukan menjadi pahlawan nasional? Menurut hemat saya, pertama, bergantung pada pesan yang ingin disampaikan pemerintah. Kalau pemerintah mau menegaskan memperhatikan jender, tentu perempuan (Rohana Kudus, SK Trimurti, dan lain-lain) yang diangkat jadi pahlawan nasional karena saat ini baru 12 orang dari 163 yang sudah diangkat. Jika ingin menekankan pentingnya nilai anti korupsi, angkatlah pahlawan nasional yang cocok untuk ikon tersebut, seperti Jenderal (Pol) Hoegeng Iman Santoso.

Sepak bola nasional Indonesia sesungguhnya adalah sepak bola perjuangan tanpa pamrih, nobatkanlah pendirinya, Soeratin, sebagai pahlawan. Jika mau keterwakilan semua etnis, sudah ada Tionghoa yang jadi pahlawan, seperti John Lie, kenapa AR Baswedan yang keturunan Arab tidak kunjung diangkat? 

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah tonggak sejarah Indonesia yang teramat penting bersama dengan proklamasi. Panitia penyelenggaranya sudah diganjar pahlawan, seperti M Yamin (sekretaris), Johanes Leimena (pembantu umum), WR Soepratman (pencipta lagu "Indonesia Raya"). Namun, ironisnya, Soegondo Djojopoespito sebagai Ketua Panitia Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda itu belum diangkat sampai sekarang. Semoga proses pengangkatan pahlawan nasional ini lebih tertata dengan baik di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar