Kebangkitan Pahlawan
Moeldoko ; Jenderal (Purn) TNI; Mantan Panglima
Tentara Nasional Indonesia
|
KOMPAS,
10 November 2015
"Hentikan Gambang, Allah Maha Besar. Gambang, sudahlah,
ayahmu (Teuku Umar) telah syahid. Gambang, sebagai perempuan Aceh, pantang
meneteskan air mata untuk orang yang telah syahid di medan perang.
Bangkitlah! Agar arwah ayahmu tenang. Perjuangan kita masih panjang
Gambang.."
Begitulah ucapan Tjoet
Nyak Dhien terbata-bata dengan meneteskan air mata-diperankan sangat baik
oleh Christine Hakim tahun 1988-kepada putrinya, Tjoet Gambang, ketika Teuku
Umar wafat saat merebut Meulaboh.
Seakan mendahului
program bela negara yang sempat diwacanakan pemerintah beberapa waktu lalu,
kesadaran tentang bangkitnya berbangsa seolah kembali digairahkan oleh
kalangan sineas kita setelah lebih dari 22 tahun vakum. Masih melalui film
epik tentang kepahlawanan, selanjutnya hadir Ahmad Dahlan dalam Sang Pencerah (2010), Albertus
Soegijapranata dalam Soegija
(2012), Soekarno dalam film dengan judul nama yang sama (2013), Tjokroaminoto
dalam Guru Bangsa (April, 2015),
dan film tentang sosok Jenderal Soedirman yang rilis tepat pada peringatan
kemerdekaan 17 Agustus 2015.
Memang, memaknai
kedalaman hadirnya sosok pahlawan nasional sangat bergantung pada persepsi
seseorang. Namun, ada satu pandangan dan semangat sama yang dihadirkan para
sineas tersebut saat berbicara tentang pahlawan nasional kita: bahwa pahlawan
adalah mimbar sekaligus narasi bagi mereka yang memilih mengorbankan jiwa
untuk sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri, bahkan lebih
besar daripada negara dan tanah air mereka.
Sudah seharusnya kisah
tentang kepahlawanan mampu menjadi oase yang menampung kejernihan dalam
merefleksikan kisah wajah patriotisme dengan senjatanya untuk pencapaian
sebuah cita-cita berbangsa dan bernegara, yang sekaligus mendaur
berlapis-lapis ragam tentang nilai keberanian dan pengorbanan. Film-film yang
tak melibatkan kehadiran negara tersebut, kecuali barangkali Jenderal
Soedirman yang produksinya dibantu TNI AD, juga mampu hadir sebagai alat
penolak aneksasi bangsa lain. Mereka hadir sebagai upaya meremajakan kembali
pengertian tentang hati dan jiwa para pahlawan yang selama ini dipelihara
secara klise melalui kisah-kisah legenda, sejarah, dan mitos.
Setiap merayakan Hari
Pahlawan, tampaknya kita perlu memaknai dengan konteks kekiniannya. Mengapa
para pahlawan berjuang secara total dan berani mempertaruhkan jiwa raga?
Nilai apa di balik pengorbanan yang luhur dan mulia itu? Jika dihayati dengan
jernih, sejatinya mereka hanya ingin generasi penerus menikmati hak dasar
manusia serta terbebas dari kemiskinan dan kebodohan. Makna lebih jauh lagi:
sebuah visi besar, masa depan bangsa Indonesia sudah selayaknya berada dalam
sebuah bingkai negara yang sejahtera, adil, makmur, dan aman.
Musuh baru
Saat ini zaman sudah
bergerak maju dengan tingkat persaingan yang begitu kompleks. Perubahan yang
terjadi bak turbulensi, begitu cepat dan terkadang sangat mengejutkan. Untuk
menghadapi efek guncangannya, semangat kepahlawanan sangat penting dan
menentukan. Sebab, salah satu kunci menghadapi masa sekarang dan masa depan
adalah perjuangan secara total dan tidak setengah-setengah.
Memang situasinya
berbeda. Paradigma tentang perang pun telah berubah. Dulu para pejuang
menggunakan fisik dan kekuatan senjata dengan bertaruh jiwa raga. Perang
sekarang sudah berubah wujud dengan medan tempur berbeda: tidak nyata, tanpa
wilayah, serta bisa terjadi di mana saja dengan aktor negara (state)atau
bukan. Pemerannya bisa terkamuflase melalui berbagai bentuk.
Sekarang era perang
kebudayaan yang bentuknya kompleks dan mengerikan. Salah satu cirinya adalah
menyenangkan korban. Tampak aneh, tetapi begitulah kenyataannya. Para korban
narkoba merasa nikmat, padahal mereka korban. Demikian pula anak-anak kita
lebih senang memilih artis dan restoran bermerek asing dibandingkan produk
dalam negeri.
Di sisi lain,
kesadaran tentang hak asasi manusia juga semakin kuat. Perjuangan akan
kebenaran, kebaikan, cinta, dan kasih makin kencang, tetapi perilaku sadis
dan kejam terhadap sesama manusia tetap terjadi. Kita semua seolah
terperangkap dalam kondisi seperti ini dan kita kurang menyadari bahwa
kekuatan kita semakin dilemahkan.
Sebagai generasi
penerus para pahlawan, memberikan konteks kekinian atas nilai-nilai heroik
mereka menjadi penting. Dalam mewujudkan harapan itu, sekarang kita juga
dihadapkan pada kondisi persaingan yang sangat ketat. Keinginan tatanan
masyarakat yang sejahtera dan aman tentu bukan keinginan kita semata karena bangsa
lain pun juga terus berupaya untuk memenuhi kesejahteraan bangsanya.
Di masa depan, kita
akan masih berhadapan dengan berbagai tantangan. Menurut James Canton dalam The Extreme Future, ada lima penentu
masa depan: (1) perubahan (change),
(2) kecepatan (speed), (3) risiko (risk), (4) kompleksitas, dan (5)
sering mengejutkan (surprise).
Dalam menghadapi situasi ini, kita memang harus antisipatif dengan tak henti
melahirkan terobosan dengan beragam bentuk inovasi.
Mengejar kesempatan
Tahun ini, Global Innovation Index mencatat
peringkat negara kita di posisi ke-97 dari 147 negara, kalah jauh dari
Singapura yang berada di peringkat ke-7. Di tingkat regional lain, tetangga
kita Malaysia di peringkat ke-32, Vietnamke-52, dan Thailand ke-55. Yang paling
mengkhawatirkan laporan pada Innovation
Output Sub-Index: kita di peringkat ke-85 yang berimplikasi pada
rendahnya keluaran ilmu pengetahuan dan teknologi (di posisi ke-100) dan
keluaran kreatif (di posisi ke-78).
Hal yang sungguh
penting untuk mengatasi ketertinggalan ini adalah kehadiran negara untuk
segera membangun ekosistem inovasi yang sehat di negara kita. Salah satu
peran utama adalah meningkatkan pemberdayaan institusi yang masih di
peringkat ke-130 serta sumber daya manusia dan riset yang berada di peringkat
ke-87. Sudah tidak ada alasan lagi bagi para inovator bahwa kita sulit
mengurus paten dan tergoda mendaftarkan penemuan baru di luar negeri.
Dulu Singapura
berusaha menarik sebanyak mungkin uang dari Indonesia. Sekarang mereka sudah
berubah dengan berusaha menarik manusia-manusia unggul kita untuk menjadi
bagian dari pembangunan negara mereka. Mereka serasa tak pernah henti untuk
terus meningkatkan inovasi dengan berbagai cara dan kita seakan tak kuasa
untuk berbuat sesuatu. Dalam menyikapi ini, kita tentu harus terus berjuang
dengan meningkatkan kemampuan dan berperan aktif dalam persaingan global.
Masalah kita tentu
bukan hanya inovasi. Kita masih menyimpan dua persoalan utama: stabilitas dan
keterbukaan. Stabilitas menuntut toleransi dari berbagai sisi, sementara
keterbukaan adalah ruh dari demokrasi. Peristiwa di Papua dan Aceh baru-baru
ini sungguh menyadarkan bahwa kita harus belajar lagi tentang toleransi,
sementara demokrasi kita memang masih berusia belia. Sebagai mantan Panglima
TNI, saya pernah merasakan bagaimana rumitnya bermain di ruang sempit di
antara keduanya dengan harus tetap menjaga keseimbangan nilai-nilai kedua hal
tersebut.
Mengingat kondisi
tersebut, saya sepakat program bela negara masih kontekstual dilaksanakan untuk
memberikan penyadaran bahwa bangsa ini bisa menjadi besar jika kita memiliki
kedisiplinan serta visi yang kuat seperti yang dicontohkan oleh para pahlawan
kita. Disiplin yang kuat, visi yang jauh ke depan, serta semangat juang yang
tak pernah menyerah akan menghasilkan karya yang inovatif untuk memulai
hadirnya kemakmuran sebuah bangsa. Hal ini telah dibuktikan oleh 180 animator
anak bangsa, yang dengan segala totalitas menghadirkan film Battle of Surabaya, yang dirilis tiga
hari setelah film Jenderal Soedirman tayang di bioskop.
Film ini merupakan
film animasi 2D dengan tema sejarah bangsa yang gaungnya mampu memberi
sesuatu yang baru untuk film bergenre anime
di Indonesia. Seolah mewarisi semangat juang Bung Tomo dan kawan-kawan, waktu
tayang film Battle of Surabaya
berani bersaing merebut penonton dengan film animasi Inside Out produksi Pixar yang distribusinya ditangani Walt Disney Pictures.
Meski seolah berakhir
dengan kalahnya pertempuran dalam jumlah perolehan penonton-padahal bertempur
di area sendiri dengan segala macam propaganda yang melibatkan emosi
nasionalisme-paling tidak karya keroyokan anak-anak muda kita menyisakan
sebuah harapan yang menyertakan renungan baru.
Harapannya adalah kita
telah memiliki contoh generasi muda yang berani mengejar kesempatan untuk
menjadi pahlawan dengan berbuat sesuatu yang inovatif bagi kemakmuran bangsa
dan negara. Dan, sekaligus meninggalkan renungan: kenapa para patriot kita kini sering kalah dalam bersaing meski
segala tumpah darah telah diupayakan secara maksimal? Jawaban saya
sederhana. Kita kalah berperang bukan karena musuh kita yang kuat, tetapi
lebih karena kita yang lemah. Namun, kita harus selalu bangkit, seperti pesan
Tjoet Nyak Dhien kepada anaknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar