Menata
Bersama Keamanan Kawasan
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
11 November 2015
Kalau ada yang harus
disalahkan atas perubahan geopolitik di kawasan Asia, khususnya Asia
Tenggara, banyak negara akan menyalahkan Tiongkok sebagai penyebab terjadinya
perubahan-perubahan itu. Langkah unilateral Republik Rakyat Tiongkok
membangun ”pulau palsu” di Laut Tiongkok Selatan mendorong banyak negara
dalam dan luar kawasan mencari modus kerja sama baru yang berbeda dengan sebelumnya.
Upaya membentuk
langkah saling percaya di antara negara-negara Asia yang berlarut-larut,
khususnya terkait dengan klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan (LTS),
menyebabkan banyak negara luar kawasan ikut membentuk perubahan geopolitik
menuju skenario baru kepentingan politik mengarah sekaligus pada ”perang
dingin” dan ”perang panas” secara bersamaan.
Adalah Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) yang mendorong terciptanya diplomasi kapal perang (gunboat
diplomacy) abad ke-21 ketika kapal angkatan laut AS USS Lassen melaksanakan
operasi kebebasan bernavigasi (FONOP) di sekitar perairan ”pulau palsu”
Beting Subi di gugusan Kepulauan Spratly. Diplomasi kapal perang AS ini ingin
membuktikan tidak ada pelanggaran hukum internasional dalam pelayaran USS Lassen
karena pulau buatan manusia tidak memiliki legitimasi dalam hukum
internasional.
Adalah RRT yang
menyebabkan terjadinya perpecahan di lingkungan ASEAN ketika pada 2012 dalam
pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN tidak berhasil mengeluarkan komunike
bersama. Sebab, Kamboja menentang dan menjadi ”pion” RRT menghadapi masalah
klaim tumpang tindih kedaulatan di LTS. Fenomena ini berlanjut ketika
pertemuan tingkat menteri pertahanan dan mitra dialognya (ADMM-Plus) yang
ketiga di Kuala Lumpur pekan lalu juga tidak berhasil mengeluarkan deklarasi
bersama.
Adalah RRT yang
mendorong dibukanya kembali pangkalan-pangkalan militer Filipina bagi militer
AS di kawasan Asia Tenggara, seperti era Perang Dingin, untuk keperluan
logistik dan pasokan lainnya. Sebelum kunjungan Presiden AS Barack Obama
menghadiri pertemuan APEC di Manila pekan depan, Mahkamah Agung Filipina akan
mengeluarkan keputusan perjanjian perluasan kerja sama pertahanan AS-Filipina
(EDCA) tahun 2014, tidak bertentangan dengan konstitusi Filipina.
Semua perilaku RRT ini
tidak menjadi faktor kondusif terciptanya perdamaian dan stabilitas di
kawasan LTS yang selama ini memberikan sumbangsih bagi dinamika pembangunan
Asia selama beberapa dekade terakhir. Kalau RRT masih percaya ASEAN untuk
menjaga stabilitas dan perdamaian di LTS, seperti yang disampaikan Presiden
Xi Jinping dalam kuliah perdananya di Universitas Nasional Singapura (NUS)
akhir pekan lalu, pilihannya adalah mendorong terbentuknya tata berperilaku
di LTS (code of conduct) yang berjalan
sangat lambat dan terbengkalai karena sikap RRT yang keras kepala.
Bersama dengan ASEAN,
RRT harus memahami ”hak sejarah” di abad ke-21 yang sangat kompetitif dan
terbelenggu pada kerja sama ekonomi dan perdagangan satu sama lain, tidak
bisa hanya sekadar bersandar pada prioritas tinggi karena alasan strategis,
material sumber daya, dan identitas kebangkitan untuk menjadi negara besar.
Penyelesaian lebih
awal persoalan klaim tumpang tindih LTS tanpa provokasi tindakan unilateral
pembangunan ”pulau palsu” akan menguntungkan RRT ketimbang membiarkan
persoalan ini berkembang menjadi tidak terkendali. ”Hak sejarah” RRT yang
begitu panjang dan berdampak mendalam di Asia Tenggara tidak ditentukan oleh
klaim keras kepala atas beting-beting kosong yang muncul ketika air laut
surut.
Ini yang perlu
dipahami RRT ketika Presiden Xi Jinping di NUS berbicara perlunya kobaran api
kerja sama (hezuo de xin huo) yang
telah diwariskan dari generasi ke generasi. Hanya dengan pemahaman ini,
isu-isu keamanan di kawasan bisa ditata dan dikelola untuk kepentingan
bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar