Pengarang
dan Honorarium
Korrie Layun Rampan ; Sastrawan; Tinggal di Sendawar, Kutai
Barat, Kaltim
|
KOMPAS,
11 November 2015
Pada zaman Orde Baru
pernah terjadi boom ekonomi bagi pengarang, penulis, dan sastrawan Indonesia
dalam Proyek Inpres. Waktu itu, pengarang diberi kebebasan menulis dan
menerbitkannya. Maraklah penerbit di semua provinsi dan lahir para pengarang
muda.
Kondisi itu memberi
efek berganda bagi para pengarang dan penerbit. Para pengarang produktif—dan
bermutu—yang karyanya dipesan dapat membeli kebutuhan hidup sehari-hari,
rumah, mobil, dan sebagainya karena pemerintah memesan karya mereka dalam
jumlah puluhan ribu eksemplar sehingga setiap tahun para pengarang mendapat
penghasilan ekstra.
Setelah bergulirnya
otonomi daerah, sejumlah kebijakan diserahkan ke daerah. Banyak daerah
menganggap persoalan perbukuan kurang penting. Yang penting adalah
pembangunan infrastruktur, seperti jalan, gedung, dan jembatan. Buku nanti
dulu, yang penting anak-anak usia sekolah bisa melek aksara.
Berpindahnya kebijakan
pusat seiring otonomi daerah membuat daerah harus memulai sesuatu yang baru,
termasuk kebijakan mengenai perbukuan. Saya pernah mendapat surat penolakan
bantuan pusat mengenai masalah perbukuan dari salah satu departemen bahwa
kebijakan perbukuan itu ada di daerah sebab Proyek Inpres yang sentralistik
sudah ditiadakan.
Masuk masa sukar
Pengarang produktif
yang hanya menggantungkan hidup dari penulisan buku dan artikel di media
mengalami masa sukar dengan berhentinya Proyek Inpres. Tak ada lagi harapan
mendapat honorarium memadai yang tak terduga. Bahkan, ada penerbit besar
menyurati saya, tidak akan menerbitkan naskah apabila estimasi penjualan
tidak sampai sepuluh ribu eksemplar setahun.
Menulis untuk media
massa hasilnya kurang menentu karena banyak pengarang menyerbu media massa,
di samping honornya kecil. Bahkan, ada koran dan majalah yang tidak memberi
honor, terutama di daerah.
Pengalaman penulis,
meski ini pengalaman personal, dapat kiranya jadi renungan bersama. Selama
dua tahun mendapat honor dua juta rupiah dari dua buku di penerbit di
Yogyakarta dan dari penerbit di Jawa Barat, selama dua tahun, belum mendapat
sepeser pun honor dari empat buku. Bahkan, saya berutang sepuluh juta rupiah
untuk biaya teman-teman menulis buku mulok untuk penerbit itu.
Hal yang lebih parah
adalah Penerbit Negara Balai Pustaka yang sejak tahun 2001 sampai 2015 ini
tidak membayar royalti buku-buku saya yang jumlahnya 13 judul. Kalau saja
setiap bulan ada lima ratus ribu dari setiap judul bukusaya di Balai Pustaka
itu, dapat dihitung berapa besar pendapatan yang saya terima setiap bulan
sampai hari ini.
Memang ada puluhan
penerbit yang tetap membayar royalti sesuai SPP kepada saya; bahkan dahulu
Balai Pustaka pun demikian. Sebelum saya pindah ke Kalimantan Timur, 2001,
setiap bulan royalti buku-buku saya selalu ajek dibayar oleh Bagian Keuangan
Balai Pustaka.
Entah mengapa, setelah
saya tidak di Jakarta, honor itu macet. Beberapa kali saya menyurati Balai
Pustaka, tetapi tidak pernah direspons. Bahkan, surat saya yang dikirim via
Ibu Riny dan Pak Oyon Sofyan di PDS HB Jassin pun tidak dijawab.
Kalau dibandingkan
dengan para pengarang di luar negeri (Eropa dan Amerika), seharusnya saya
hidup mewah. Saya telah menulis 357 buku. Pernah menjadi anggota DPRD meski
ke luar sebelum selesai masa jabatan dan memimpin media massa di pusat dan
daerah.
Setelah berhenti dari
segala pekerjaan itu, sayasepenuhnya hidup dari menulis. Akan tetapi, karena
honor buku-buku saya mengalami banyak kendala, saya hidup sangat sederhana.
Terakhir ini saya terbantu karena sejak 2013 sampai kini Pemerintah Daerah
Kutai Barat menyubsidi saya untuk menulis buku-buku berwarna lokal yang
memuat kearifan lokal. Sampai tahun ini (2015), telah selesai enam judul, di
antaranya Kamus 5 Bahasa (yang tebal) dan tahun 2016 siap beberapa judul
lagi. Akan tetapi, bagaimana para sastrawan di daerah lain? Apakah pemprov
dan pemkab menyubsidi mereka?
Persoalan nasional
Ini persoalan nasional
para pengarang dan sastrawan Indonesia. Saya yang menulis ratusan buku
mengalami kendala seperti itu, bagaimana nasib yang baru menulis dua-tiga
buku? Saya tidak tahu kondisi ekonomi Gerson Poyk, Nh Dini, dan Hamsad
Rangkuti, tiga nama yang sepenuhnya hidup dari mengarang.
Saya berharap kepada
penerbit, tolong bantu para pengarang dengan laporan penjualan buku setiap
enam bulan sesuai SPP dan janganlah menelantarkan pengarang sampai lima belas
tahun seperti yang saya alami. Bagaimana bisa membangun bangsa kalau
pembayaran royalti saja diulur bertahun-tahun.
Dari mana pengarang
membeli buku-buku referensi kalau pengarang diperbodoh atas hasil karyanya?
Bukankah perbuatan semacam itu dosa dalam demokrasi ekonomi Pancasila? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar