Kebencian
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
07 November 2015
Kebencian itu kata sifat. Orang yang punya
sifat suka membenci orang lain, lalu menyemai sifat buruknya itu setiap saat,
kebenciannya makin subur. Apalagi kalau kebenciannya itu diujarkan setiap
saat, baik lewat kata-kata maupun tulisan, lengkaplah sifat buruk itu
disandang. Kebencian yang diujarkan harus dicegah agar masyarakat menjadi
santun. Polisi sudah berbaik hati melawan "ujaran kebencian", tugas
yang sesungguhnya lebih layak disandang pemuka agama dan pendidik budi
pekerti.
Bukankah ajaran agama tidak membolehkan orang
membenci? Setiap kali hendak berujar–istilah "ujar" jadi trending
topic sekarang–kita harus selalu mempertimbangkan baik-buruknya dan
memikirkan sebab-akibatnya. Dalam bahasa Sanskerta, berujar yang baik itu
disebut wacika dan sumbernya datang dari manacika (berpikir yang baik).
Pikiran itulah yang harus dibersihkan lebih dulu, dan itulah tugas agamawan.
Para pembenci itu sesungguhnya juga para
perindu, kata orang bijak. Misalnya, jika ada orang yang membenci Joko (ini
sekadar contoh dan bukan nama sebenarnya), pembenci itu akan selalu
memperhatikan Joko. Apa pun yang Joko kerjakan, apa pun yang ia katakan, ke
mana pun Joko pergi, selalu diikuti beritanya agar punya bahan untuk
melakukan "ujaran kebencian". Joko tak bisa datang ke Amerika untuk
berpidato, dikecam kenapa tak datang. Pas Joko pergi ke Amerika juga dikecam.
Rupiah melemah, itu salah Joko. Truk terguling juga salah Joko. Bandara
Ngurah Rai ditutup dan Wakil Presiden India "telantar" di Bali,
juga salahnya Joko. Pembenci itu selalu mengaitkan kesalahan pada Joko,
padahal dia tahu bandara itu ditutup karena Gunung Rinjani meletus. Artinya,
dia selalu rindu kepada Joko, seperti lirik lagu Benci tapi Rindu.
Benci itu sebuah penyakit, dan pembenci harus
diobati tanpa resep dokter–supaya tak ada suap untuk dokter. Bagaimana
mengobatinya? Dia harus diberi pemahaman bahwa seseorang punya kelemahan dan
kekuatan, punya kelebihan dan kekurangan, pernah berbuat salah dan benar. Tak
ada manusia yang sempurna karena kita sepakat yang sempurna itu hanya Tuhan.
Janganlah yang benar dari Joko kita sembunyikan, kelebihan dan kekuatannya
kita lupakan. Bawalah cermin ke mana-mana. Sebelum melakukan ritual
"ujaran kebencian", becerminlah dulu: apakah kita lebih baik?
Jika polisi turun tangan melawan "ujaran
kebencian", sesungguhnya itu pertanda bahwa bangsa ini sudah merosot
keberadabannya karena gerakan polisi itu lebih pada masalah moral. Kebencian
yang diujarkan itu sebenarnya sudah diatur dalam ranah hukum. Korban bisa
mengadu karena namanya dicemarkan. Dalam bahasa keren, disebut delik aduan.
Yang menjadi masalah, ada korban yang tak mau mengadu karena repot. Apalagi
kalau korban itu seorang ulama atau pendeta, misalnya, yang lebih baik
memaafkan sang pembenci atau mendoakan sang pembenci agar kembali ke
"ujaran kebenaran".
Celakanya, pembenci yang sakit akut
jari-jarinya terus gatal kalau tak memencet handphone untuk menyebar
kebencian di media sosial. Memang meresahkan juga. Keresahan ini yang
membahayakan dan dalam skala tertentu bisa menimbulkan ketegangan, apalagi
kalau topik kebencian itu menyangkut suku, agama, dan ras. Kalau demikian
halnya, surat edaran hate speech itu anggap saja menugasi polisi mengambil
alih peran pemuka agama untuk mendidik masyarakat agar santun, khususnya
masyarakat media sosial. Seperti kata Kepala Kepolisian Badrodin Haiti,
janganlah ditanggapi berlebihan sebagai pengekangan kebebasan berpendapat.
Sepakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar