Selasa, 10 November 2015

Kebencian

Kebencian

Putu Setia   ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                   TEMPO.CO, 07 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kebencian itu kata sifat. Orang yang punya sifat suka membenci orang lain, lalu menyemai sifat buruknya itu setiap saat, kebenciannya makin subur. Apalagi kalau kebenciannya itu diujarkan setiap saat, baik lewat kata-kata maupun tulisan, lengkaplah sifat buruk itu disandang. Kebencian yang diujarkan harus dicegah agar masyarakat menjadi santun. Polisi sudah berbaik hati melawan "ujaran kebencian", tugas yang sesungguhnya lebih layak disandang pemuka agama dan pendidik budi pekerti.

Bukankah ajaran agama tidak membolehkan orang membenci? Setiap kali hendak berujar–istilah "ujar" jadi trending topic sekarang–kita harus selalu mempertimbangkan baik-buruknya dan memikirkan sebab-akibatnya. Dalam bahasa Sanskerta, berujar yang baik itu disebut wacika dan sumbernya datang dari manacika (berpikir yang baik). Pikiran itulah yang harus dibersihkan lebih dulu, dan itulah tugas agamawan.

Para pembenci itu sesungguhnya juga para perindu, kata orang bijak. Misalnya, jika ada orang yang membenci Joko (ini sekadar contoh dan bukan nama sebenarnya), pembenci itu akan selalu memperhatikan Joko. Apa pun yang Joko kerjakan, apa pun yang ia katakan, ke mana pun Joko pergi, selalu diikuti beritanya agar punya bahan untuk melakukan "ujaran kebencian". Joko tak bisa datang ke Amerika untuk berpidato, dikecam kenapa tak datang. Pas Joko pergi ke Amerika juga dikecam. Rupiah melemah, itu salah Joko. Truk terguling juga salah Joko. Bandara Ngurah Rai ditutup dan Wakil Presiden India "telantar" di Bali, juga salahnya Joko. Pembenci itu selalu mengaitkan kesalahan pada Joko, padahal dia tahu bandara itu ditutup karena Gunung Rinjani meletus. Artinya, dia selalu rindu kepada Joko, seperti lirik lagu Benci tapi Rindu.

Benci itu sebuah penyakit, dan pembenci harus diobati tanpa resep dokter–supaya tak ada suap untuk dokter. Bagaimana mengobatinya? Dia harus diberi pemahaman bahwa seseorang punya kelemahan dan kekuatan, punya kelebihan dan kekurangan, pernah berbuat salah dan benar. Tak ada manusia yang sempurna karena kita sepakat yang sempurna itu hanya Tuhan. Janganlah yang benar dari Joko kita sembunyikan, kelebihan dan kekuatannya kita lupakan. Bawalah cermin ke mana-mana. Sebelum melakukan ritual "ujaran kebencian", becerminlah dulu: apakah kita lebih baik?

Jika polisi turun tangan melawan "ujaran kebencian", sesungguhnya itu pertanda bahwa bangsa ini sudah merosot keberadabannya karena gerakan polisi itu lebih pada masalah moral. Kebencian yang diujarkan itu sebenarnya sudah diatur dalam ranah hukum. Korban bisa mengadu karena namanya dicemarkan. Dalam bahasa keren, disebut delik aduan. Yang menjadi masalah, ada korban yang tak mau mengadu karena repot. Apalagi kalau korban itu seorang ulama atau pendeta, misalnya, yang lebih baik memaafkan sang pembenci atau mendoakan sang pembenci agar kembali ke "ujaran kebenaran".

Celakanya, pembenci yang sakit akut jari-jarinya terus gatal kalau tak memencet handphone untuk menyebar kebencian di media sosial. Memang meresahkan juga. Keresahan ini yang membahayakan dan dalam skala tertentu bisa menimbulkan ketegangan, apalagi kalau topik kebencian itu menyangkut suku, agama, dan ras. Kalau demikian halnya, surat edaran hate speech itu anggap saja menugasi polisi mengambil alih peran pemuka agama untuk mendidik masyarakat agar santun, khususnya masyarakat media sosial. Seperti kata Kepala Kepolisian Badrodin Haiti, janganlah ditanggapi berlebihan sebagai pengekangan kebebasan berpendapat. Sepakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar