L'État
Goenawan Mohamad ; Esais;
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
TEMPO.CO,
09 November 2015
A, B, C. Map-map berisi kertas dengan daftar
puluhan nama itu terletak di tengah meja kantor sebuah rumah tahanan di
Jakarta, dengan klasifikasi yang akan menentukan nasib orang-orang yang
disekap. A: dihabisi. B: dibuang ke Nusakambangan. C: dikurung di kota
terdekat. Atau tak jelas nanti bagaimana.
"Tak jelas" adalah manifestasi
kedaulatan dalam bentuknya yang paling ekstrem: kekuasaan bertindak dengan
asumsi tak akan dituntut memberi alasan. Juga ketika menentukan hidup mati
ribuan orang. Juga ketika salah.
Dengan kata lain, kedaulatan menampakkan diri
dengan sebuah keputusan untuk mengecualikan diri dari hidup bersama yang
dibentuk hukum dan bahasa. Ketika hidup ditinggalkan hukum dan percakapan,
orang pun bisa dengan semena-mena digolongkan ke dalam oknum yang tak diakui:
A, B, C, D....
Seakan-akan Giorgio Agamben sedang mengukuhkan
thesisnya di Indonesia di hari-hari itu: kekuasaan tampil berdaulat ketika
memproduksi manusia sebagai vita nuda,
kehidupan bugil yang bisa dijadikan "korban" tanpa bisa digugat. Ia
bukan "korban" sebagai putra Ibrahim yang disucikan, tapi
semata-mata sebagai tumbal buat menegakkan sebuah Orde, seperti kerbau yang
kepalanya ditanam sebelum sebuah gedung dibangun.
Tapi kekuasaan yang tak hendak berada dalam
hukum dan percakapan makin tampak sebagai kekuasaan yang tegang dan penuh
kecurigaan. Indonesia, hari-hari itu, adalah sebuah republik yang tak
menentu.
Di
ibu kota, tak jelas siapa yang mengendalikan aparat dan memberi arah. Bung Karno masih disebut Presiden dan Pemimpin Besar Revolusi;
sistem politiknya "Demokrasi Terpimpin". Tapi bisakah ia
mengontrol Angkatan Darat? Masih dipatuhikah ia oleh organisasi-organisasi
politik yang selama ini jadi penyangga kekuasaannya?
Juga
di ibu kota, Soeharto, yang belum seorang
jenderal penuh, duduk sebagai panglima keamanan dan ketertiban; ia
mengendalikan kekuatan militer, yang di masa itu juga mengendalikan pos-pos
pemerintahan sipil. Sanggupkah ia terang-terangan melawan Bung Karno andai kepala
negara yang sangat berwibawa itu berkeras memerintahkan pembantaian
dihentikan?
Mungkin di hari-hari itu, di wilayah Indonesia
tak ada Negara seperti dipikirkan para pakar hukum konstitusi. Yang mungkin
ada hanya bayang-bayangnya: seperti hantu. Hantu yang menakutkan, tapi tak
konsisten. Yang mungkin konsisten dan punya efek hanya ruang penyiksaan di
pelbagai tempat, dengan map A, B, C atau tidak. Pembunuhan besar-besaran terjadi
di Kediri, sebagaimana cerita seorang saksi mata, dilakukan para pemuda NU,
PNI, dan lain-lain—bukan oleh alat Negara. Pembunuhan sejenis terjadi di Jawa
Tengah dan Bali, dengan bantuan RPKAD, resimen khusus Angkatan Darat, alat
Negara.
Sebaliknya di Jawa Barat tak tercatat pembantaian orang PKI dalam
skala besar—dan kalaupun terjadi, itu dilakukan jauh sebelum 1965 oleh
pasukan Darul Islam di dusun-dusun. Pernah disebut, panglima militer di sini,
Mayjen Ibrahim Adjie, mencegah pembantaian di wilayahnya; ia mengambil sikap
yang berbeda dengan Soeharto. Ada pula yang menulis bahwa di Jawa Barat
beberapa perwira teritorial (ya, alat Negara) pro-PKI; mereka tak membiarkan
pembunuhan seperti di tempat lain terjadi.
Hari-hari yang bengis dan tak menentu itu
menunjukkan betapa sulitnya menunjuk "Negara", menuntutnya agar
minta maaf. "Negara" bukan satu struktur yang tak berubah sejak
1965. Jika "Negara" ibarat sebuah ruang, ia ruang yang diisi dan
dibentuk sejarah—dan sejarah dibangun bukan saja oleh saat-saat seia-sekata,
tapi juga saat-saat konflik. Jika "Negara" ibarat sebuah tata yang
mirip bangunan, ia didirikan setelah menanam kepala yang lepas dari leher
yang dipenggal, secara harfiah atau kiasan.
Dengan kata lain, Negara adalah kisah
kekerasan dan waktu. Marx menunjukkan "Negara" selalu bersifat
represif terhadap kelas yang lain, dan hanya kelak, ketika perbedaan kelas
hilang, "Negara" akan lapuk dan layu. Para pemikir sesudahnya juga
menunjukkan terpautnya "Negara" dengan sejarah. Bagi Badiou,
misalnya, "Negara" selalu genting. L'État, menurut Badiou,
sebenarnya efek "menghitung-jadi-satu", compte-pour-un, atas sebuah situasi—dan yang disebut
"situasi" itu pun efek dari penyatuan yang ditampilkan dari
multiplisitas yang mirip anarki. L'État tak stabil karena dalam tubuhnya
selalu ada unsur yang tak diperhitungkan yang suatu saat bisa meletus sebagai
pembangkangan.
Singkat kata, "Negara" adalah tata
yang terbentuk secara acak dari saat ke saat, sebuah proses yang belum juga
berakhir—dan selamanya mengandung instabilitas dan kekerasan. Hukum, yang
menjaganya dari khaos, setali tiga uang.
Dalam perspektif ini, menghakiminya adalah
sebuah ikhtiar yang rumit, mungkin heboh; tapi saya tak yakin keadilan akan
tercapai setelah itu—baik ketika "Negara" dinyatakan bersalah
maupun tidak.
Lagi pula, siapa yang patut mewakili
"Negara" untuk dituntut atas kekejaman dan kejahatan setengah abad
yang lalu—setidaknya karena telah membiarkannya? Dan jika "Negara"
berdiri selalu dengan menciptakan orang-orang yang harus disisihkan, yang
hidup dalam vita nuda, adilkah jika
ia hanya digugat karena pembantaian di satu waktu, bukan di waktu lain?
Tentu, kita mesti mengungkap kekejaman 1965
(atau sebelumnya, atau sesudahnya). Kita perlu mengutuk keras-keras,
menghukum para algojo, mengurung para penggerak mereka. Tapi ada satu kalimat
tua yang arif: "...di tempat
pengadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di
situ pun terdapat ketidakadilan." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar