Selasa, 10 November 2015

Kampanye di Media Sosial

Kampanye di Media Sosial

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
                                           MEDIA INDONESIA, 07 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KAMPANYE untuk mendulang dukungan publik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui media sosial (medsos) cukup menjanjikan. Beragam layanan media sosial dengan berbagai aplikasi menggoda para calon kepala daerah dan tim kampanye untuk menuangkan visi-misi, program kerja, dan janji-janji mereka. Informasi kampanye melalui media sosial akan mudah dilahap pemilih.

Apalagi, kampanye di media sosial dianggap cukup efektif dalam menarik dukungan publik. Hal itu terbukti pada pemilihan Presiden 2009. Kampanye melalui media sosial cukup berkontribusi bagi kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk Presiden Jokowi pada 2014. Realitas itulah yang menggoda calon kepala daerah yang saat ini sedang melaksanakan kampanye. Sebab, selain berguna bagi sang pasangan calon, itu membawa manfaat bagi masyarakat. Para pemilih dapat melihat dan menilai apa yang akan dilakukan calon kepala daerah setelah terpilih.

Namun, laksana `pisau bermata dua', media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, atau ranah daring bisa menjadi batu sandungan setelah Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian ditandatangani 8 Oktober 2015. Ada yang menilai SE Kapolri dibutuhkan agar kebebasan mengemukakan pendapat di ruang publik tidak membawa dampak sosial, tidak membuat orang terhasut melakukan kerusuhan.

Namun, bagi yang tidak setuju, SE Kapolri dianggap berpotensi menghambat hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dijamin dalam Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945.Salah satu yang berpotensi terkena proses hukum ialah kampanye pemilihan kepala daerah di media sosial. Karena itu, para calon kepala daerah dan tim sukses perlu lebih berhati-hati dalam mengemas materi kampanye yang tidak bermuatan fitnah, mencemarkan nama baik seseorang, atau menyinggung kelompok masyarakat tertentu.

Calon kepala daerah dan tim kampanyenya harus menyinergikan SE Kapolri dengan ketentuan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Tidak boleh ada materi kampanye yang bermuatan kebencian dan permusuhan, baik di media sosial maupun di ruang publik, yang dapat dilihat secara langsung. Kita berharap agar Polri dalam memproses dugaan terjadinya ujaran kebencian melibatkan ahli bahasa dan budaya dalam menilai perkataan yang masuk kategori ujaran kebencian. Apalagi, ujaran kebencian yang bersifat mencemarkan nama baik, penistaan, fitnah, atau perbuatan tidak menyenangkan termasuk delik aduan.

Substansi surat edaran

Poin 2 huruf d SE Kapolri memberitahukan kepada setiap anggota Polri bahwa masalah ujaran kebencian harus ditangani dengan baik. Alasannya, dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara yang berbineka tunggal ika serta melindungi keberagaman kelompok dalam berbangsa.

Ada dua tindakan yang dilakukan anggota Polri dalam menangani ujaran kebencian. Pertama, tindakan preventif, antara lain meminta agar setiap anggota Polri mengetahui dan memahami ben tuk-bentuk ujaran kebencian yang timbul dalam masyarakat. Anggota Polri diminta untuk melakukan analisis terhadap situasi dan kondisi di lingkungan masing-masing terkait ujaran kebencian. Arah dari upaya preventif diharapkan agar personel Polri lebih responsif atau peka terhadap gejala yang timbul dan berpotensi menimbulkan tindak pidana ujaran kebencian.

Satuan yang diefektifkan ialah fungsi intelijen, binmas, dan polmas dengan memonitor dan deteksi dini kemungkinan timbulnya benih pertikaian, melakukan pendekatan pada pelaku ujaran kebencian, dan mempertemukan pelaku dan korban ujaran kebencian dengan mencarikan solusi perdamaian serta memberikan pemahaman atas dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian dalam masyarakat.

Kedua, jika upaya preventif gagal, selanjutnya ialah melakukan tindakan penegakan hukum (represif) dengan menerapkan pasal-pasal KUHPidana, UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), atau UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik. Sepintas, SE itu sebetulnya sesuatu yang biasa karena ingin memahamkan personel Polri agar lebih dini me ngantisipasi.

Larangan penyebaran kebencian melalui media sosial diatur dalam Pasal 27 sampai Pasal 29 UU-ITE.Pasal 28 Ayat 1 UU-ITE menegaskan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik“. Ayat 2: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.

Bahkan, Pasal 156 KUHPidana juga melarang setiap orang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Namun, substansi larangan dalam pasal itu jika dilakukan di muka umum, bukan melalui media sosial seperti dimaksud UU-ITE.Itulah yang membuat banyak orang gelisah, jangan sampai ada kriminalisasi. Padahal, kontennya hanya berupa kritikan membangun atau sebagai kontrol sosial.

Kebebasan berpendapat

Jejaring sosial di internet merupakan sarana publik yang sangat cepat menyebarkan konten informasi. Apalagi, hampir setiap orang punya telepon genggam sehingga informasi apa saja dengan mudah dan cepat bisa diakses. Beragam layanan media sosial dengan berbagai aplikasi dan fitur menarik perhatian publik, terlebih kalangan muda.

Setiap saat berseliweran berita bohong (hoax) yang tentu saja dapat menyesatkan pikiran orang. Berita bohong juga dapat menimbulkan fitnah dan menghasut orang lain untuk melakukan sesuatu. Jika kemudian tiba-tiba ada SE Kapolri yang terkesan mengancam, meskipun ada dasar hukumnya, tentu saja membuat publik kaget, bahkan gelisah. Karena itu, perlu sosialisasi ke tingkat akar rumput agar tidak menimbulkan penilaian negatif terhadap maksud SE.
Saat dikaji secara mendalam, SE Kapolri sepertinya menekankan bahwa ujaran kebencian sangat berbahaya dalam menimbulkan kerusuhan sosial. Mungkin Kapolri berkaca pada konfl ik di Tolikara Papua, Singkil Aceh, atau bentrok suporter sepak bola saat Piala Presiden di Senayan yang diduga atas hasutan melalui media sosial. Itulah yang dinilai banyak kalangan dapat mengancam kebebasan berpendapat di ruang publik. Apalagi di era teknologi informasi saat ini, begitu mudah mem-posting dan mengakses kebebasan berpendapat di media sosial.

Kita tidak ingin dua mata pedang yang menyertai SE Kapolri mengiris aparat Kepolisian dan publik pengguna media sosial serta mengiris para aktivis, wartawan, dan siapa pun yang aktif berpendapat di ruang publik. Jangan sampai kritikan membangun pada kekuasaan atau kelompok tertentu digiring ke ranah ujaran kebencian lantaran SE Kapolri telanjur diketahui publik, yang seharusnya tidak perlu ada karena ujaran kebencian sudah diatur dalam undang-undang, sehingga harus ekstrahati-hati diterjemahkan aparat Polri di kalangan bawah. Saat ada kondisi yang dianggap membungkam kebebasan berpendapat yang berpotensi kriminalisasi dan melanggar HAM, pada saat itu bisa saja menimbulkan kebencian baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar