Kampanye di Media Sosial
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa
45, Makassar
|
MEDIA
INDONESIA, 07 November 2015
KAMPANYE untuk mendulang dukungan publik dalam
pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui media sosial (medsos) cukup
menjanjikan. Beragam layanan media sosial dengan berbagai aplikasi menggoda
para calon kepala daerah dan tim kampanye untuk menuangkan visi-misi, program
kerja, dan janji-janji mereka. Informasi kampanye melalui media sosial akan
mudah dilahap pemilih.
Apalagi, kampanye di media sosial dianggap
cukup efektif dalam menarik dukungan publik. Hal itu terbukti pada pemilihan
Presiden 2009. Kampanye melalui media sosial cukup berkontribusi bagi
kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk Presiden Jokowi pada 2014.
Realitas itulah yang menggoda calon kepala daerah yang saat ini sedang
melaksanakan kampanye. Sebab, selain berguna bagi sang pasangan calon, itu
membawa manfaat bagi masyarakat. Para pemilih dapat melihat dan menilai apa
yang akan dilakukan calon kepala daerah setelah terpilih.
Namun, laksana `pisau bermata dua', media
sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, atau ranah daring bisa menjadi
batu sandungan setelah Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian ditandatangani 8 Oktober 2015. Ada yang menilai
SE Kapolri dibutuhkan agar kebebasan mengemukakan pendapat di ruang publik
tidak membawa dampak sosial, tidak membuat orang terhasut melakukan
kerusuhan.
Namun, bagi yang tidak setuju, SE Kapolri
dianggap berpotensi menghambat hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat yang dijamin dalam Pasal 28 E Ayat 3 UUD 1945.Salah
satu yang berpotensi terkena proses hukum ialah kampanye pemilihan kepala
daerah di media sosial. Karena itu, para calon kepala daerah dan tim sukses
perlu lebih berhati-hati dalam mengemas materi kampanye yang tidak bermuatan
fitnah, mencemarkan nama baik seseorang, atau menyinggung kelompok masyarakat
tertentu.
Calon kepala daerah dan tim kampanyenya harus
menyinergikan SE Kapolri dengan ketentuan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Tidak boleh ada materi kampanye yang
bermuatan kebencian dan permusuhan, baik di media sosial maupun di ruang
publik, yang dapat dilihat secara langsung. Kita berharap agar Polri dalam
memproses dugaan terjadinya ujaran kebencian melibatkan ahli bahasa dan
budaya dalam menilai perkataan yang masuk kategori ujaran kebencian. Apalagi,
ujaran kebencian yang bersifat mencemarkan nama baik, penistaan, fitnah, atau
perbuatan tidak menyenangkan termasuk delik aduan.
Substansi surat edaran
Poin 2 huruf d SE Kapolri memberitahukan
kepada setiap anggota Polri bahwa masalah ujaran kebencian harus ditangani
dengan baik. Alasannya, dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara yang
berbineka tunggal ika serta melindungi keberagaman kelompok dalam berbangsa.
Ada dua tindakan yang dilakukan anggota Polri
dalam menangani ujaran kebencian. Pertama, tindakan preventif, antara lain
meminta agar setiap anggota Polri mengetahui dan memahami ben tuk-bentuk
ujaran kebencian yang timbul dalam masyarakat. Anggota Polri diminta untuk
melakukan analisis terhadap situasi dan kondisi di lingkungan masing-masing
terkait ujaran kebencian. Arah dari upaya preventif diharapkan agar personel
Polri lebih responsif atau peka terhadap gejala yang timbul dan berpotensi
menimbulkan tindak pidana ujaran kebencian.
Satuan yang diefektifkan ialah fungsi
intelijen, binmas, dan polmas dengan memonitor dan deteksi dini kemungkinan
timbulnya benih pertikaian, melakukan pendekatan pada pelaku ujaran
kebencian, dan mempertemukan pelaku dan korban ujaran kebencian dengan
mencarikan solusi perdamaian serta memberikan pemahaman atas dampak yang akan
timbul dari ujaran kebencian dalam masyarakat.
Kedua, jika upaya preventif gagal, selanjutnya
ialah melakukan tindakan penegakan hukum (represif) dengan menerapkan
pasal-pasal KUHPidana, UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), atau UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnik. Sepintas, SE itu sebetulnya sesuatu yang biasa karena ingin
memahamkan personel Polri agar lebih dini me ngantisipasi.
Larangan penyebaran kebencian melalui media
sosial diatur dalam Pasal 27 sampai Pasal 29 UU-ITE.Pasal 28 Ayat 1 UU-ITE
menegaskan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik“. Ayat 2: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan.
Bahkan, Pasal 156 KUHPidana juga melarang
setiap orang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau
penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Namun,
substansi larangan dalam pasal itu jika dilakukan di muka umum, bukan melalui
media sosial seperti dimaksud UU-ITE.Itulah yang membuat banyak orang
gelisah, jangan sampai ada kriminalisasi. Padahal, kontennya hanya berupa
kritikan membangun atau sebagai kontrol sosial.
Kebebasan berpendapat
Jejaring sosial di internet merupakan sarana
publik yang sangat cepat menyebarkan konten informasi. Apalagi, hampir setiap
orang punya telepon genggam sehingga informasi apa saja dengan mudah dan
cepat bisa diakses. Beragam layanan media sosial dengan berbagai aplikasi dan
fitur menarik perhatian publik, terlebih kalangan muda.
Setiap saat berseliweran berita bohong (hoax) yang tentu saja dapat menyesatkan
pikiran orang. Berita bohong juga dapat menimbulkan fitnah dan menghasut
orang lain untuk melakukan sesuatu. Jika kemudian tiba-tiba ada SE Kapolri
yang terkesan mengancam, meskipun ada dasar hukumnya, tentu saja membuat
publik kaget, bahkan gelisah. Karena itu, perlu sosialisasi ke tingkat akar
rumput agar tidak menimbulkan penilaian negatif terhadap maksud SE.
Saat dikaji secara mendalam, SE Kapolri
sepertinya menekankan bahwa ujaran kebencian sangat berbahaya dalam
menimbulkan kerusuhan sosial. Mungkin Kapolri berkaca pada konfl ik di
Tolikara Papua, Singkil Aceh, atau bentrok suporter sepak bola saat Piala
Presiden di Senayan yang diduga atas hasutan melalui media sosial. Itulah
yang dinilai banyak kalangan dapat mengancam kebebasan berpendapat di ruang
publik. Apalagi di era teknologi informasi saat ini, begitu mudah mem-posting
dan mengakses kebebasan berpendapat di media sosial.
Kita tidak ingin dua mata pedang yang
menyertai SE Kapolri mengiris aparat Kepolisian dan publik pengguna media
sosial serta mengiris para aktivis, wartawan, dan siapa pun yang aktif
berpendapat di ruang publik. Jangan sampai kritikan membangun pada kekuasaan
atau kelompok tertentu digiring ke ranah ujaran kebencian lantaran SE Kapolri
telanjur diketahui publik, yang seharusnya tidak perlu ada karena ujaran
kebencian sudah diatur dalam undang-undang, sehingga harus ekstrahati-hati
diterjemahkan aparat Polri di kalangan bawah. Saat ada kondisi yang dianggap
membungkam kebebasan berpendapat yang berpotensi kriminalisasi dan melanggar
HAM, pada saat itu bisa saja menimbulkan kebencian baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar