Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani
Ali Khomsan ; Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 06 November 2015
APABILA negara mengimpor beras, ada berbagai
alasan yang dapat dikemukakan. Untuk situasi saat ini, kekeringan menjadi
alasan paling sahih karena produksi yang mungkin turun sebagai dampak
kekeringan berkepanjangan. Stok beras beberapa bulan ke depan juga menjadi
pertimbangan, apakah persediaan beras di gudang-gudang Bulog bisa menjamin
kebutuhan konsumsi penduduk 3-4 bulan yang akan datang.
Data produksi dan konsumsi beras harus dapat
dipercaya agar kebijakan yang diambil pemerintah dapat dimaklumi masyarakat.
Instansi yang berbeda bisa mengeluarkan data yang tidak sama sehingga acuan
perencanaan produksi dan konsumsi di tingkat nasional menjadi kurang akurat.
Sebagian orang melihat impor dalam jangka
pendek akan berdampak pada upaya pemerintah dalam mengendalikan harga beras.
Dengan demikian, kestabilan harga beras dapat dipertahankan. Idealnya, impor
beras hanya dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu semisal saat kejadian
gagal panen yang bersifat masif.
Indonesia pernah berswasembada beras pada
1984. Ini menunjukkan kemampuan petani Indonesia yang luar biasa dalam
mencukupi kebutuhan pangan pokok rakyat. Namun, pada akhirnya negara kita
bolak-balik impor beras yang menunjukkan ketidakmampuan mempertahankan
produksi.
Ada yang berpendapat pengertian swasembada
tidak boleh menjadi terlalu sempit, yakni menghasilkan produk pertanian dari
produksi dalam negeri. Kita juga berswasembada dengan membeli beras dari luar
negeri asal mampu membayar. Banyak negara yang miskin sumber daya alam,
seperti Singapura atau Jepang, tidak ribut apakah pangan mereka dari produk
sendiri atau impor.
Hanya, yang perlu diingat ialah kenyataan
bahwa penduduk Indonesia yang 250 juta orang hampir semuanya pemakan nasi.
Jadi kalau kita selalu menggantungkan diri pada impor beras, apabila terjadi
fluktuasi di pasar beras internasional, bisa memunculkan masalah serius bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Masalah pengadaan pangan pokok perlu selalu
dikaitkan dengan aspek ketahanan pangan. Untuk itu, yang harus dicermati
tidak hanya masalah produksi, tetapi juga harga gabah, kemudahan kredit,
kebijakan impor, penyelundupan, dll. Badan Ketahanan Pangan mempunyai tugas
berat untuk mengamankan ketahanan pangan. Memburuknya ketahanan pangan dapat
memunculkan ketidakstabilan politik nasional.
Konsep ketahanan pangan mengacu kepada
pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan
kehidupan yang aktif dan sehat. Tercapainya ketahanan pangan nasional tidak
berarti tiadanya
dalam ketahanan pangan rumah tangga. Distribusi
pangan yang tidak merata di tingkat regional atau rumah tangga dapat
memunculkan masalah ketidaktahanan pangan pada level bawah.
Masyarakat yang mengalami rawan pangan bukan
hanya golongan miskin, melainkan juga mereka yang berada sedikit di atas
garis kemiskinan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Batas kemiskinan di Indonesia
mungkin ditetapkan dengan cut-off point
terlalu rendah sehingga rumah tangga miskin sebenarnya sudah masuk kategori
sangat-sangat miskin dan mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan
sebenarnya sudah sangat miskin.
Ketahanan pangan merupakan konsep yang
multidimensi, yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai
produksi, distribusi, konsumsi, hingga status gizi. Secara ringkas, ketahanan
pangan sebenarnya hanya menyangkut tiga hal penting, yaitu ketersediaan,
akses, dan konsumsi pangan.
Aspek ketersediaan pangan bergantung pada
sumber daya alam, fisik, dan manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim
yang mendukung dan disertai dengan SDM yang baik akan menjamin ketersediaan
pangan yang kontinu.
Sementara itu, akses pangan hanya dapat terjadi apabila
rumah tangga mempunyai penghasilan yang cukup. Konsumsi pangan akan sangat
menentukan apakah seluruh anggota rumah tangga nantinya bisa mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Tugas pemerintah ialah merealisasikan ketahanan
pangan nasional, ketahanan pangan regional, dan ketahanan pangan rumah
tangga.
Kemiskinan yang dialami petani Indonesia dapat
merupakan kemiskinan alamiah ataupun kemiskinan struktural. Kemiskinan
alamiah ialah kemiskinan yang disebabkan kualitas sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang rendah sehingga peluang produksi menjadi kecil. Bila toh
mereka berproduksi, hal itu dilakukan dengan efisiensi yang rendah sehingga
hasilnya tidak optimal. Dalam lingkup pertanian, sumber daya yang memengaruhi
munculnya kemiskinan ialah kualitas lahan dan iklim. Di Indonesia, lahan
subur mungkin hanya dijumpai di Jawa. Itu pun kini bersaing dengan konversi
lahan untuk industri dan perumahan.
Sumber daya alam yang terbatas membuat
petani harus menerima kenyataan, yakni penguasaan lahan yang sempit sehingga
produksi menjadi tidak efi sien.
Kemiskinan struktural ialah kemiskinan yang
secara langsung atau tidak disebabkan tatanan kelembagaan. Dalam hal ini,
tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi ataupun aturan
permainan yang diterapkan.
Penurunan pangsa relatif sektor pertanian pada
produk domestik bruto (PDB) mungkin pernah atau akan terus terjadi. Pada
akhir 1960an, pangsa relatif sektor pertanian mencapai kira-kira 43% dari
PDB. Namun, pangsa tersebut pernah turun menjadi sekitar 17%. Dalam hal
penyerapan tenaga kerja nasional, pada 1960-an ada sekitar 60% angkatan kerja
yang bekerja di sektor pertanian, sedangkan pada 1988 penyerapan angkatan
kerja 56%. Sekarang, mungkin sudah terjadi lagi pergeseran tenaga kerja ini.
Yang menyertai terjadinya transformasi
struktural di sektor pertanian ialah konversi lahan dari penggunaan pertanian
ke nonpertanian. Harga lahan yang relatif tinggi sering kali ‘merayu’ petani
untuk menjual sawahnya. Setelah itu, mereka terpaksa memasuki profesi baru
yang pada umumnya belum mereka kenal. Karena alih profesi tersebut tidak
direncanakan secara saksama, banyak di antara mereka yang taraf kehidupannya
kemudian turun.
Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks.
Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud seorang
manusia, niscaya aku telah membunuhnya.” Riwayat ini saja sudah bisa
menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan hal yang sulit untuk digambarkan
sehingga juga sulit untuk diatasi. Fenomena lain yang dapat ditarik ialah
kemiskinan merupakan sesuatu yang dibenci siapa saja (Pakpahan, 1996).
Upaya penanggulangan kemiskinan secara
holistis akan menjadi tugas berat pemerintah. Karena itu, berbagai entry point harus digunakan untuk
lebih menyejahterakan masyarakat, tidak terkecuali masyarakat petani. Jumlah
petani Indonesia yang sangat luar biasa banyaknya, dengan penguasaan lahan
yang sempit, memerlukan kebijakan pertanian yang tepat, yakni kebijakan yang
berorientasi untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Kebijakan pertanian yang
disinsentif akan membuat petani jera untuk memproduksi beras dan akhirnya
Indonesia akan benarbenar menjadi negara importir beras terbesar di dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar