Selasa, 10 November 2015

Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani

Impor Beras, Ketahanan Pangan, dan Kemiskinan Petani

Ali Khomsan  ;  Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi IPB
                                           MEDIA INDONESIA, 06 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

APABILA negara mengimpor beras, ada berbagai alasan yang dapat dikemukakan. Untuk situasi saat ini, kekeringan menjadi alasan paling sahih karena produksi yang mungkin turun sebagai dampak kekeringan berkepanjangan. Stok beras beberapa bulan ke depan juga menjadi pertimbangan, apakah persediaan beras di gudang-gudang Bulog bisa menjamin kebutuhan konsumsi penduduk 3-4 bulan yang akan datang.

Data produksi dan konsumsi beras harus dapat dipercaya agar kebijakan yang diambil pemerintah dapat dimaklumi masyarakat. Instansi yang berbeda bisa mengeluarkan data yang tidak sama sehingga acuan perencanaan produksi dan konsumsi di tingkat nasional menjadi kurang akurat.

Sebagian orang melihat impor dalam jangka pendek akan berdampak pada upaya pemerintah dalam mengendalikan harga beras. Dengan demikian, kestabilan harga beras dapat dipertahankan. Idealnya, impor beras hanya dilakukan pada kondisi-kondisi tertentu semisal saat kejadian gagal panen yang bersifat masif.

Indonesia pernah berswasembada beras pada 1984. Ini menunjukkan kemampuan petani Indonesia yang luar biasa dalam mencukupi kebutuhan pangan pokok rakyat. Namun, pada akhirnya negara kita bolak-balik impor beras yang menunjukkan ketidakmampuan mempertahankan produksi.

Ada yang berpendapat pengertian swasembada tidak boleh menjadi terlalu sempit, yakni menghasilkan produk pertanian dari produksi dalam negeri. Kita juga berswasembada dengan membeli beras dari luar negeri asal mampu membayar. Banyak negara yang miskin sumber daya alam, seperti Singapura atau Jepang, tidak ribut apakah pangan mereka dari produk sendiri atau impor.

Hanya, yang perlu diingat ialah kenyataan bahwa penduduk Indonesia yang 250 juta orang hampir semuanya pemakan nasi. Jadi kalau kita selalu menggantungkan diri pada impor beras, apabila terjadi fluktuasi di pasar beras internasional, bisa memunculkan masalah serius bagi seluruh rakyat Indonesia.

Masalah pengadaan pangan pokok perlu selalu dikaitkan dengan aspek ketahanan pangan. Untuk itu, yang harus dicermati tidak hanya masalah produksi, tetapi juga harga gabah, kemudahan kredit, kebijakan impor, penyelundupan, dll. Badan Ketahanan Pangan mempunyai tugas berat untuk mengamankan ketahanan pangan. Memburuknya ketahanan pangan dapat memunculkan ketidakstabilan politik nasional.

Konsep ketahanan pangan mengacu kepada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang aktif dan sehat. Tercapainya ketahanan pangan nasional tidak berarti tiadanya 
dalam ketahanan pangan rumah tangga. Distribusi pangan yang tidak merata di tingkat regional atau rumah tangga dapat memunculkan masalah ketidaktahanan pangan pada level bawah.

Masyarakat yang mengalami rawan pangan bukan hanya golongan miskin, melainkan juga mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Batas kemiskinan di Indonesia mungkin ditetapkan dengan cut-off point terlalu rendah sehingga rumah tangga miskin sebenarnya sudah masuk kategori sangat-sangat miskin dan mereka yang berada sedikit di atas garis kemiskinan sebenarnya sudah sangat miskin.

Ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi, yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai produksi, distribusi, konsumsi, hingga status gizi. Secara ringkas, ketahanan pangan sebenarnya hanya menyangkut tiga hal penting, yaitu ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan.

Aspek ketersediaan pangan bergantung pada sumber daya alam, fisik, dan manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung dan disertai dengan SDM yang baik akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinu. 

Sementara itu, akses pangan hanya dapat terjadi apabila rumah tangga mempunyai penghasilan yang cukup. Konsumsi pangan akan sangat menentukan apakah seluruh anggota rumah tangga nantinya bisa mencapai derajat kesehatan yang optimal. Tugas pemerintah ialah merealisasikan ketahanan pangan nasional, ketahanan pangan regional, dan ketahanan pangan rumah tangga.

Kemiskinan yang dialami petani Indonesia dapat merupakan kemiskinan alamiah ataupun kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah ialah kemiskinan yang disebabkan kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia yang rendah sehingga peluang produksi menjadi kecil. Bila toh mereka berproduksi, hal itu dilakukan dengan efisiensi yang rendah sehingga hasilnya tidak optimal. Dalam lingkup pertanian, sumber daya yang memengaruhi munculnya kemiskinan ialah kualitas lahan dan iklim. Di Indonesia, lahan subur mungkin hanya dijumpai di Jawa. Itu pun kini bersaing dengan konversi lahan untuk industri dan perumahan. 

Sumber daya alam yang terbatas membuat petani harus menerima kenyataan, yakni penguasaan lahan yang sempit sehingga produksi menjadi tidak efi sien.
Kemiskinan struktural ialah kemiskinan yang secara langsung atau tidak disebabkan tatanan kelembagaan. Dalam hal ini, tatanan kelembagaan dapat diartikan sebagai tatanan organisasi ataupun aturan permainan yang diterapkan.

Penurunan pangsa relatif sektor pertanian pada produk domestik bruto (PDB) mungkin pernah atau akan terus terjadi. Pada akhir 1960an, pangsa relatif sektor pertanian mencapai kira-kira 43% dari PDB. Namun, pangsa tersebut pernah turun menjadi sekitar 17%. Dalam hal penyerapan tenaga kerja nasional, pada 1960-an ada sekitar 60% angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian, sedangkan pada 1988 penyerapan angkatan kerja 56%. Sekarang, mungkin sudah terjadi lagi pergeseran tenaga kerja ini.

Yang menyertai terjadinya transformasi struktural di sektor pertanian ialah konversi lahan dari penggunaan pertanian ke nonpertanian. Harga lahan yang relatif tinggi sering kali ‘merayu’ petani untuk menjual sawahnya. Setelah itu, mereka terpaksa memasuki profesi baru yang pada umumnya belum mereka kenal. Karena alih profesi tersebut tidak direncanakan secara saksama, banyak di antara mereka yang taraf kehidupannya kemudian turun.

Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Seandainya kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku telah membunuhnya.” Riwayat ini saja sudah bisa menunjukkan bahwa kemiskinan merupakan hal yang sulit untuk digambarkan sehingga juga sulit untuk diatasi. Fenomena lain yang dapat ditarik ialah kemiskinan merupakan sesuatu yang dibenci siapa saja (Pakpahan, 1996).

Upaya penanggulangan kemiskinan secara holistis akan menjadi tugas berat pemerintah. Karena itu, berbagai entry point harus digunakan untuk lebih menyejahterakan masyarakat, tidak terkecuali masyarakat petani. Jumlah petani Indonesia yang sangat luar biasa banyaknya, dengan penguasaan lahan yang sempit, memerlukan kebijakan pertanian yang tepat, yakni kebijakan yang berorientasi untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Kebijakan pertanian yang disinsentif akan membuat petani jera untuk memproduksi beras dan akhirnya Indonesia akan benarbenar menjadi negara importir beras terbesar di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar