Berdiri di Atas kaki Sendiri
Sawitri Supardi Sadarjoen ; Penulis Kolom “Konsultasi Psikologi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
08 November 2015
Suara yang terpenting
dalam interaksi kita dengan orang lain adalah suara hati kita sendiri. Kita
membutuhkan diri kita sendiri untuk mengamati, memproses informasi yang
datang.
Kita seyogianya
memanfaatkan suara kuat untuk memahami relasi yang telah terbina dengan cara
yang lebih tajam dan fokus terhadap kemungkinan perubahan di masa mendatang.
Hindari fantasi
tentang kemungkinan perubahan perilaku pasangan kita di kemudian hari.
Apabila kita tidak mampu melakukan hal tersebut di atas, akan sulit bagi kita
untuk meyakini jalinan relasi tersebut di masa mendatang. Namun, apabila kita
yakin dan percaya pada diri kita sendiri, yang menyatakan bahwa ada beberapa
aspek perilakunya yang tidak bisa kita toleransikan dan posisi kita di
hadapannya terasa kurang pas, apalagi, jika pada dasarnya keputusan yang kita
ambil tentang peluang menjadi pasangan tetap, kita lakukan dengan cara yang
kurang mantap.
Kondisi relasi di masa mendatang
Suatu ketika X bertemu
dengan pria yang menarik perhatiannya dalam satu kegiatan sosial, dan rupanya
pria itu pun tertarik pada X. Mereka akhirnya memutuskan untuk berpacaran.
Setelah masa pacaran berjalan, pada bulan-bulan awal, X benar-benar merasakan
perhatian dan sikap pacarnya sangat baik, melindungi dan dirasa sangat
mengasihi dirinya.
Namun, ternyata
beberapa saat kemudian X merasa sikap pacarnya (katakanlah, namanya Y)
menjadi sangat posesif. Y melarang X untuk mengikuti diskusi kelompok
studinya di sore hari. Y juga melarang X menonton film dengan teman-temannya.
Bahkan, Y juga melarang X yang sudah merencanakan pergi berkemah dengan
keluarga besarnya, karena Y akan mengambil cuti dan ingin menghabiskan masa
cutinya bersama X.
X berkata:
"Sebenarnya saya menghargai dan menghormati Y. Namun, akhir-akhir ini Y
semakin bersikap posesif. Saya tidak mau putus hubungan, tapi sekaligus saya
mencemaskan sikap dan perilaku Y yang semakin posesif adanya. Apa yang harus
saya lakukan?"
Untuk itu, X tidak
perlu marah terhadap Y, dan X juga tidak perlu "bête" dengan sikap
dan perilaku Y yang punya perspektif sangat berbeda dengan dirinya. X tidak
perlu menutup mata terhadap perilakunya sendiri, dan tidak pula mulai
menyerahkan hidupnya pada pacarnya. Dalam artian, tetaplah hadir pada acara
diskusi studi di sore hari, karena semakin X mematuhi larangan-larangan Y,
sikap posesif dari Y justru akan semakin kuat.
Jadi putuskan untuk
pergi berkemah dengan keluarga besarnya, tetap pergi menonton dan lain-lain.
Jadi X seyogianya berani mengatakan "tidak" terhadap
larangan-larangan Y, tetapi tetap mencari jalan lain agar mendapatkan situasi
yang membuat Y tetap merasa puas dalam kebersamaannya dengan X. X hendaknya
mampu memelihara alur komunikasi dengan Y secara terbuka dan mendengarkan
perasaan serta memperhatikan Y dengan baik.
Ketahuilah bahwa X
membutuhkan bertahan dalam kemandiriannya dan menyatakan bahwa kemandirian
sebagai hal terpenting dalam kehidupannya. Dalam hal ini tidak berarti X
harus bersikap kaku dan tidak kompromistis, karena setiap interrelasi
menuntut sikap "give and
take". Namun, tentu saja dengan konsekuensi sebagai berikut, yaitu
mungkin Y dapat dan mau menerima tuntutan kemandirian X atau justru sikap X
tersebut akan membuat Y meninggalkannya.
Hal yang perlu disimak
adalah bahwa tantangan suatu relasi yang intim adalah membedakan
"diri" dan "kami", tanpa harus menanggalkan karakter
individu masing-masing. Jadi, apabila kita dihadapkan pada satu pilihan, kita
membutuhkan kesempatan bicara secara terbuka. Untuk itu pertahankanlah
perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang kita
miliki dari awal kehidupan kita.
Tambahan lainnya
adalah kita harus banyak bicara, mengamati, berpikir dalam berbagai situasi
agar proses pengenalan dan proses dikenal antara diri dan calon pasangan kita
dapat berjalan dengan baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar