Rabu, 11 November 2015

Butuh Definisi Pasti ”Situasi Darurat”

Butuh Definisi Pasti ”Situasi Darurat”

Reza Indragiri Amriel  ;  Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
                                                    JAWA POS, 07 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Keberadaan para bekas narapidana kejahatan seksual terhadap anak? Fenomena residivisme sangat kuat diasosiasikan dengan kejahatan-kejahatan properti semisal maling dan rampok. Tapi, keinsafan publik dan penegak hukum mengenai tingginya potensi residivisme di kalangan predator seksual tampaknya belum tumbuh.

Pergerakan para predator itu seharusnya dipantau dan masyarakat perlu diingatkan ihwal keberadaan para predator yang akan dan telah menyelesaikan masa hukuman mereka. Itu implikasi yang sepatutnya terbentuk pasca penetapan kejahatan seksual terhadap anak sebagai ”kejahatan luar biasa (betapapun penggunaan istilah tersebut menerabas kaidah hukum internasional.

Pengategorian kejahatan luar biasa bertitik tolak dari Indonesia yang disebut-sebut berada dalam situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak. Begitu pernyataan yang dikumandangkan sekian banyak petinggi negara, termasuk dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Apa sebenarnya tolok ukur kedaruratan yang dipakai KPAI? Selama ini publik selalu berkeyakinan bahwa angka-angka kejahatan seksual yang terekam oleh kepolisian dan organisasi-organisasi perlindungan anak hanyalah puncak sebuah gunung es.

Kejadian yang sesungguhnya jauh lebih banyak. Berangkat dari situ, sebutan ”darurat kejahatan seksual” kian tidak bermakna serius. Sebutan ”darurat” hanya merefleksikan lebih banyaknya kasus yang terekspos ke masyarakat. Namun, sekali lagi, itu pun tetap jauh lebih sedikit ketimbang peristiwa yang sebenarnya.

Andai penetapan situasi darurat mengacu pada jumlah kejahatan seksual terhadap anak yang naik dari tahun ke tahun, peningkatan itu sesungguhnya menandakan kabar baik. Pasalnya, kenaikan angka kejahatan seksual terhadap anak merupakan akibat keberanian masyarakat dalam melaporkan kejadian kejahatan yang mereka alami.

Tambahan lagi, media semakin gencar mewartakan peristiwa-peristiwa pemangsaan yang diderita anak-anak. Polisi pun kian ligat menindaklanjuti laporan dan informasi tentang kejadian tersebut. Respons tinggi dari tiga pihak itu (masyarakat, media, dan polisi) diharapkan akan membentuk resiliensi guna menekan berulangnya kasus-kasus kejahatan seksual.

Ataukah perilaku predator yang semakin lama semakin sadis yang menjadi parameter KPAI dalam menetapkan situasi darurat? Jika demikian asumsinya, bisa dipastikan situasi darurat tidak akan pernah berakhir.

Sebagai makhluk pembelajar, pelaku kejahatan niscaya terus mengembangkan metode kejahatan mereka. Ungkapan lama mendukung itu, yakni penegakan hukum selalu satu dua langkah di belakang kejahatan.

Kodrat manusia sebagai insan yang selalu belajar berlaku pula bagi predator seksual. Di kalangan mereka pun terdapat predator bertipe Yaitu predator yang memakai cara-cara keji untuk menjinakkan korban mereka. Tidak jarang di antara predator yang berperilaku ala nekrofilia, yakni kesenangan melakukan kontak seksual dengan korban (termasuk anak-anak) yang telah kehilangan nyawa. Karena modus para predator terus-menerus berada di depan langkah penegakan hukum, entah kapan situasi yang disebut darurat itu akan berakhir.

Berdasar kompleksitas di atas, penting bagi KPAI menyusun definisi yang pasti tentang kategori darurat kejahatan seksual terhadap anak. Tanpa itu, dikhawatirkan malah menjangkitkan ketakutan, bahkan kepanikan, yang tidak berefek produktif bagi pemberantasan kejahatan itu sendiri.

Pasalnya, masyarakat justru bisa menafsirkan kategori darurat tersebut sebagai pernyataan resmi akan lumpuhnya proses penegakan hukum terhadap predator. Apabila itu yang menjadi isi kepala banyak orang, tindakan-tindakan main hakim sendiri akan dijadikan sebagai ”solusi”. Akibatnya, belum hilang masalah predator seksual, muncul lagi problem pelik baru berupa aksi vigilantisme.
Lantangnya pernyataan bahwa ”Indonesia darurat kejahatan seksual terhadap anak” maupun ”kejahatan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa” dapat menimbulkan dampak buruk bagi kerja pemerintah di bidang lain.

Mengumumkan Indonesia sebagai negara dalam situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak laksana menyatakan ke dunia bahwa negara ini adalah negara yang tidak aman sekaligus tidak mampu melindungi anak-anaknya sendiri. Dan karena pada saat yang sama juga diimbuhi dengan penyebutan kejahatan tersebut sebagai kejahatan luar biasa, dunia bisa melakukan intervensi hukum sewaktu-waktu Indonesia dinilai tidak mampu mengatasi masalahnya itu sendiri.

Di samping hukum, dunia internasional juga boleh jadi akan meresponsnya dengan merilis agar warga mereka tidak berkunjung ke Indonesia. Itu niscaya berpengaruh kontraproduktif bagi sektor bisnis investasi dan pariwisata.

Apalagi ketika Indonesia belum lagi turun peringkat dalam indeks korupsi, juga belum bersih benar ingatan internasional dari aksi-aksi teror di tanah air, kini haruskah kita menambah beban di pundak sendiri dengan menyebut republik ini sebagai wilayah yang anak-anak tak terjamin keselamatannya? Negara gagal, jangan-jangan status itu justru kita sendiri yang menciptakan momentumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar