Butuh Definisi Pasti ”Situasi Darurat”
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University
of Melbourne
|
JAWA
POS, 07 November 2015
Keberadaan para bekas narapidana kejahatan
seksual terhadap anak? Fenomena residivisme sangat kuat diasosiasikan dengan
kejahatan-kejahatan properti semisal maling dan rampok. Tapi, keinsafan
publik dan penegak hukum mengenai tingginya potensi residivisme di kalangan
predator seksual tampaknya belum tumbuh.
Pergerakan para predator itu seharusnya dipantau
dan masyarakat perlu diingatkan ihwal keberadaan para predator yang akan dan
telah menyelesaikan masa hukuman mereka. Itu implikasi yang sepatutnya
terbentuk pasca penetapan kejahatan seksual terhadap anak sebagai ”kejahatan
luar biasa (betapapun penggunaan istilah tersebut menerabas kaidah hukum
internasional.
Pengategorian kejahatan luar biasa bertitik
tolak dari Indonesia yang disebut-sebut berada dalam situasi darurat
kejahatan seksual terhadap anak. Begitu pernyataan yang dikumandangkan sekian
banyak petinggi negara, termasuk dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI).
Apa sebenarnya tolok ukur kedaruratan yang
dipakai KPAI? Selama ini publik selalu berkeyakinan bahwa angka-angka
kejahatan seksual yang terekam oleh kepolisian dan organisasi-organisasi
perlindungan anak hanyalah puncak sebuah gunung es.
Kejadian yang sesungguhnya jauh lebih banyak.
Berangkat dari situ, sebutan ”darurat kejahatan seksual” kian tidak bermakna
serius. Sebutan ”darurat” hanya merefleksikan lebih banyaknya kasus yang
terekspos ke masyarakat. Namun, sekali lagi, itu pun tetap jauh lebih sedikit
ketimbang peristiwa yang sebenarnya.
Andai penetapan situasi darurat mengacu pada
jumlah kejahatan seksual terhadap anak yang naik dari tahun ke tahun,
peningkatan itu sesungguhnya menandakan kabar baik. Pasalnya, kenaikan angka
kejahatan seksual terhadap anak merupakan akibat keberanian masyarakat dalam
melaporkan kejadian kejahatan yang mereka alami.
Tambahan lagi, media semakin gencar mewartakan
peristiwa-peristiwa pemangsaan yang diderita anak-anak. Polisi pun kian ligat
menindaklanjuti laporan dan informasi tentang kejadian tersebut. Respons
tinggi dari tiga pihak itu (masyarakat, media, dan polisi) diharapkan akan
membentuk resiliensi guna menekan berulangnya kasus-kasus kejahatan seksual.
Ataukah perilaku predator yang semakin lama
semakin sadis yang menjadi parameter KPAI dalam menetapkan situasi darurat?
Jika demikian asumsinya, bisa dipastikan situasi darurat tidak akan pernah
berakhir.
Sebagai makhluk pembelajar, pelaku kejahatan
niscaya terus mengembangkan metode kejahatan mereka. Ungkapan lama mendukung
itu, yakni penegakan hukum selalu satu dua langkah di belakang kejahatan.
Kodrat manusia sebagai insan yang selalu
belajar berlaku pula bagi predator seksual. Di kalangan mereka pun terdapat
predator bertipe Yaitu predator yang memakai cara-cara keji untuk menjinakkan
korban mereka. Tidak jarang di antara predator yang berperilaku ala
nekrofilia, yakni kesenangan melakukan kontak seksual dengan korban (termasuk
anak-anak) yang telah kehilangan nyawa. Karena modus para predator
terus-menerus berada di depan langkah penegakan hukum, entah kapan situasi
yang disebut darurat itu akan berakhir.
Berdasar kompleksitas di atas, penting bagi
KPAI menyusun definisi yang pasti tentang kategori darurat kejahatan seksual
terhadap anak. Tanpa itu, dikhawatirkan malah menjangkitkan ketakutan, bahkan
kepanikan, yang tidak berefek produktif bagi pemberantasan kejahatan itu
sendiri.
Pasalnya, masyarakat justru bisa menafsirkan
kategori darurat tersebut sebagai pernyataan resmi akan lumpuhnya proses
penegakan hukum terhadap predator. Apabila itu yang menjadi isi kepala banyak
orang, tindakan-tindakan main hakim sendiri akan dijadikan sebagai ”solusi”.
Akibatnya, belum hilang masalah predator seksual, muncul lagi problem pelik
baru berupa aksi vigilantisme.
Lantangnya pernyataan bahwa ”Indonesia darurat
kejahatan seksual terhadap anak” maupun ”kejahatan terhadap anak adalah
kejahatan luar biasa” dapat menimbulkan dampak buruk bagi kerja pemerintah di
bidang lain.
Mengumumkan Indonesia sebagai negara dalam
situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak laksana menyatakan ke dunia
bahwa negara ini adalah negara yang tidak aman sekaligus tidak mampu
melindungi anak-anaknya sendiri. Dan karena pada saat yang sama juga diimbuhi
dengan penyebutan kejahatan tersebut sebagai kejahatan luar biasa, dunia bisa
melakukan intervensi hukum sewaktu-waktu Indonesia dinilai tidak mampu
mengatasi masalahnya itu sendiri.
Di samping hukum, dunia internasional juga
boleh jadi akan meresponsnya dengan merilis agar warga mereka tidak
berkunjung ke Indonesia. Itu niscaya berpengaruh kontraproduktif bagi sektor
bisnis investasi dan pariwisata.
Apalagi ketika Indonesia belum lagi turun
peringkat dalam indeks korupsi, juga belum bersih benar ingatan internasional
dari aksi-aksi teror di tanah air, kini haruskah kita menambah beban di
pundak sendiri dengan menyebut republik ini sebagai wilayah yang anak-anak
tak terjamin keselamatannya? Negara gagal, jangan-jangan status itu justru
kita sendiri yang menciptakan momentumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar