Artikel Buehler
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional Universitas
Indonesia (UI)
|
KORAN
SINDO, 10 November 2015
Seorang dosen ilmu
politik Asia Tenggara dari School of
Oriental and African Studies (SOAS), Universitas London, Michael Buehler,
membuat sebuah artikel yang telah menjadi sumber kontroversi diIndonesia.
Dalam artikelnya yang
diberi judul ”Waiting in the White
House Lobby” disebutkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat
berkunjung ke Amerika Serikat (AS) untuk melakukan pertemuan dengan Presiden
Barack Obama telah menggunakan jasa pelobi (lobbyist) dari firma lobi AS R & R yang berkedudukan di Las
Vegas.
Dalam kata-katanya
disebutkan, ”Now news has surfaced that
Jakarta paid a Las Vegas lobbying firm to get Widodo access to Washington
insiders, spending taxpayer money for work the Indonesian embassy could have
done .” Terjemahan bebas bahasa
Indonesianya: “Sekarang kabar muncul
bila Jakarta membayar firma lobi Las Vegas agar Widodo mendapat akses ke
orangorang dalam di Washington, pembiayaan dari uang wajib pajak yang
seharusnya pekerjaan ini bisa dilakukan kedutaan”.
Artikel yang sangat
intuitif mendiskreditkan Kementerian Luar Negeri itu seolah tidak mampu untuk
mengatur pertemuan antara kedua kepala pemerintahan, Indonesia dan AS,
didasarkan pada dokumen yang disampaikan oleh perwakilan firma lobi R & R
kepada Departemen Kehakiman.
Di AS, pemanfaatan
pelobi bukanlah hal yang haram selama kegiatan itu tidak masuk dalam kategori
suap.
Hanya saja ada
keharusan pelobi untuk transparan siapa yang menggunakan jasa pelobi dan
untuk kepentingan apa. Dalam konteks inilah dokumen yang dapat diakses oleh
publik disampaikan ke Departemen Kehakiman.
Mengenai dokumen yang
disampaikan firma lobi R & R terdapat dua hal.
Pertama adalah
formulir standar yang harus diisi oleh firma lobi. Kedua adalah sebuah
perjanjian dengan nama services agreement yang menjadi bukti otentik antara
pihak yang menyewa pelobi dengan pelobi.
Dalam services agreement, pihak yang menyewa
pelobi adalah Pareira International Pte, Ltd. Sementara itu firma lobi adalah
R&RPartners. Tidak ada satu kata pun dalam services agreement yang menyebut Pemerintah Indonesia, bahkan
Indonesia.
Memang dalam dokumen
pertama ada penyebutan Pemerintah Indonesia dan nama Joko Widodo. Namun di
situ sama sekali tidak ada pernyataan untuk melakukan pengaturan pertemuan
antara Presiden Joko Widodo dengan Presiden Barack Obama.
Kalaupun ada kegiatan
yang bersifat kenegaraan maka disebut pengaturan untuk bertemu dalam joint sessions. Joint sessions di AS
merupakan forum yang menggabungkan antara Senat dan Kongres.
Terhadap informasi
ini, sama sekali tidak disertakan dokumen pendukungnya berupa perjanjian
antara pihak Indonesia dengan Pareira International Pte, Ltd.
Ini berbeda dengan
hubungan antara Pareira International Pte, Ltd dengan firma lobi R&R yang
menyertakan services agreement.
Oleh karenanya tanpa
adanya perjanjian sebagai dokumen pendukung, adalah prematur bagi Buehler
untuk menyimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia telah menyewa Pareira
International Pte, Ltd.
Penyebutan pihak
Indonesia dalam formulir meski dicontreng sebagai pemerintah tidak dapat
dipastikan apakah benar Pemerintah Indonesia. Tanpa dokumen pendukung, tidak
dapat dipastikan.
Kepastian telah
diperoleh dengan pernyataan dari Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Duta
Besar AS untuk Indonesia Robert Blake bahwa pertemuan Presiden Jokowi dengan
Presiden Obama tidak menggunakan jasa pelobi.
Apa yang disampaikan
kedua pejabat tersebut merupakan kelaziman di dunia diplomatik. Pertemuan
antarkepala pemerintahan atau kepala negara diatur oleh Kementerian Luar
Negeri dan Kepala Perwakilan. Pemanfaatan jasa pelobi komersial tidak lazim.
Oleh karenanya artikel
yang ditulis Buehler yang menyertakan dalam tulisan tersebut formulir dan services agreement sangat tidak
akurat. Justru dokumen tersebut sepertinya hendak digunakan untuk menggiring
pembacanya percaya bahwa Pemerintah Indonesia melakukan pembayaran kepada
firma lobi R&R.
Secara keseluruhan pun
ada beberapa kejanggalan yang terdapat dalam tulisan Buehler. Seperti cerita
ketidak harmonisan antara Menko Polhukam Luhut Panjaitan dengan Menteri Luar
Negeri Retno Marsudi. Atau melakukan spekulasi mengenai keberadaan Pareira
yang disewa pemerintah. Bahkan, Buehler telah menggunakan ilmu
cocok-mencocokkan (ilmu gathuk ) dari sejumlah fakta yang bisa jadi gosip
politik yang belum tentu kebenarannya.
Ujung dari bahasan
dalam artikel Buehler adalah Presiden Jokowi tidak memegang kendali atas
jalannya pemerintahan. Padahal sebagai seorang ilmuwan, Buehler seharusnya
tahu ia tidak boleh merangkai pembahasan yang tidak didasarkan pada fakta dan
bukti yang kuat.
Setelah menjadi suatu
kehebohan, Buehler pun menyampaikan klarifikasi di radio BBC siaran bahasa
Indonesia. Di situ ia menyampaikan bahwa media di Indonesia telah salah
menafsirkan artikelnya.
Bahkan Buehler
mempertanyakan siapa yang membayar dari pihak Indonesia kalau bukan
pemerintah, seolah ia ingin mengalihkan isu penggunaan pelobi dalam kunjungan
Presiden Jokowi ke AS.
Kontroversi ini perlu
disudahi, apalagi dibawa ke ranah politik Indonesia.
Pemerintah telah cukup
memberikan klarifikasinya dan tidak perlu memberikan perhatian yang
berlebihan. Semua telah jelas.
Pemerintah pun tidak
perlu melakukan protes ataupun penuntutan terhadap Michael Buehler mengingat
Buehler membuat artikel tersebut dalam ranah kebebasan akademisnya.
Kredibilitas Buehler sebagai akademisi telah dipertaruhkan oleh dia sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar