Spirit Hari Pahlawan
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
|
KORAN
SINDO, 10 November 2015
Beberapa waktu lalu
saya terlibat diskusi serius dengan sejarawan NU Ki Ng Agus Sunyoto. Diskusi
hangat yang kami selenggarakan secara informal itu berawal dari pernyataan Mas Agus
(sapaan karib Agus Sunyoto) soal masifnya usaha untuk menutup-nutupi fakta sejarah
tentang meletusnya perang di Surabaya pada 26- 29 Oktober 1945.
Ia dengan sangat
meyakinkan mengatakan pada saya bahwa banyak fakta dan dokumen yang mendukung
ihwal meletusnya pertempuran selama kurang lebih empat hari itu. Ia melakukan
riset sejarah yang cukup intensif dengan melibatkan data faktual sekaligus
dokumentasi ihwal renik-renik berlangsungnya peperangan itu.
Dia menjelaskan bahwa sesungguhnya
proklamasi kemerdekaan RI itu baru berarti di mata dunia pascameletusnya
peperangan Surabaya itu. Perlawanan rakyat itulah yang kemudian hari dipandang oleh PBB
dan dunia internasional bahwa sesungguhnya ”Indonesia” itu ada. Yang menarik
dari apa yang diungkapkan Mas Agus adalah sebuah fakta bahwa meletusnya
peperangan 26-29 Oktober di Surabaya itu adalah fakta yang tidak berdiri
sendiri.
Ia bertaut dan
berkelindan dengan sebuah sebab. Meminjam adagium lawas, di mana ada asap
tentu di sanalah terdapat api. Sebab paling rasional dari meletusnya
semangat perlawanan terhadap penjajahan itu adalah fatwa dari Rais Akbar PBNU
kala itu yakni KH Hasyim Asyari yang kemudian hari
dikenal dengan Resolusi Jihad. Resolusi Jihad adalah asupan energi yang menjadi bahan bakar
utama semangat perlawanan yang dikobarkan arekarek Suroboyo.
Tentu saja fatwa itu
dibumbui dengan kondisi psikologis masyarakat Surabaya dan sebagian tapal kuda
di sepanjang Pulau Jawa yang ekstrovert, terbuka, dan egaliter. Budaya
pesisir adalah budaya keterbukaan, demikian kata Nur Syam (2007). Dengan
keterbukaan itu, sangat mungkin kerap terjadi gesekan antara satu dan yang
lainnya. Keadaan yang demikian membuat budaya tawuran sudah menjadi kebiasaan
sehari-hari.
Bisa kita bayangkan,
betapa manusia-manusia yang terbiasa dengan budaya terbuka tersebut, yang
biasa berkelahi, memiliki beban psikologis dengan memendam rasa kecewa akibat
diperlakukan sebagai rakyat nomor dua, diperlakukan tidak adil dan dijajah,
tiba-tiba mendapat angin segar bernama fatwa yang merupakan legitimasi agama.
Adonan antara
kebudayaan terbuka dengan ”stempel” agama berupa fatwa membela Tanah Air atau
Resolusi Jihad itulah yang membuat pertempuran Surabaya meletus dengan begitu
dahsyatnya.
Seruan Resolusi Jihad ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
menggerakkan umat Islam.
Pesantren-pesantren
dan kantor-kantor NU di tingkat cabang dan ranting dengan cepat menjadi
markas laskar Hizbullah yang menghimpun pemuda-pemuda santri yang ingin
berjuang penuh semangat meski harus berhadapan dengan kenyataan keterbatasan
persenjataan.
Penting untuk dicatat
bahwa seruan Resolusi Jihad adalah bahan baku utama atas meletusnya peristiwa
10 November yang terkenal kemudian sebagai Hari Pahlawan itu. Soetomo (Bung
Tomo) yang merupakan pemimpin laskar BPRI faktanya memiliki hubungan dekat
dengan kalangan umat Islam, termasuk dengan Wahid Hasyim.
Soetomo juga kerap
bertandang ke Tebuireng untuk sowan dan meminta restu ke KH Hasyim Asyari.
Seruan dan pekikan ”Allahu Akbar” di awal dan akhir orasinya adalah bukti
nyata bahwa ia sangat karib dengan kalangan ulama dan santri.
Konseptor Cinta Tanah Air
Dalam diktum
pertimbangan Resolusi Jihad disebutkan ”Bahwa
untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia menurut agama Islam, termasuk
sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam”. Diktum pertimbangan
ini adalah bukti nyata bahwa betapa ulama-ulama NU kala itu sudah sangat
menjiwai konsep hubbul wathon minal
Iman, cinta Tanah Air adalah bagian dari keimanan.
Konsep cinta Tanah Air
ini bukan hal yang sepele. Di tangan ulama-ulama NU, yang terbiasa dan karib
dengan tradisi Balaghah, mulai dari
konsep sampai penggunaan istilah dilakukan dengan teliti dan seksama. Istilah
Tanah Air dipilih, meminjam analisis Said Aqil Siroj (2007), sebab karakter
manusia Indonesia adalah karakter tanah dan air.
Tanah dan air adalah
dua unsur yang jika disatukan ia akan menjelma kekuatan dan kepaduan yang
sekaligus mengandung unsur keindahan. Contoh mudahnya adalah kerajinan
gerabah. Adonan tanah dan air menjadi sedemikian indah. Di sanalah watak
serta karakter manusia Indonesia.
Manusia yang secara
naluriah diciptakan untuk cenderung bersatu-padu. Berbeda dengan misalnya
konsep yang ditawarkan Arab Saudi. Watak penduduknya sebagaimana watak pasir.
Hal ini tidak jauh dari karakter geografis daerahnya yang didominasi oleh
sebagian besar padang pasir.
Karakter pasir adalah
semakin ia digenggam atau disatukan semakin pula ia bercerai-berai dan
berantakan. Semakin kita merekatkan genggaman telapak tangan yang berisi
pasir, semakin pula ia akan bercerai berai tak keruan. Faktanya hari ini bisa
kita lihat sejarah ”Barat Daya” (Timur Tengah dalam pandangan orang-orang
Barat), termasuk Arab Saudi adalah sejarah perceraian dan pertikaian.
Ketepatan memilih
konsep dan istilah itu menjadi bagian sangat diperhatikan oleh ulama-ulama NU
kala itu. Termasuk tatkala menggelorakan semangat perlawanan terhadap
penjajah.
Redefinisi Makna
Lepas dari akar
sejarah Hari Pahlawan yang dipantik oleh Resolusi Jihad tersebut, saya
teringat pada sosok YB Mangunwijaya (1997). Romo Mangun pernah mengatakan
bahwa makna pahlawan harus kita perbarui sepanjang waktu.
Pahlawan bukan saja
mereka yang baku hantam berjuang melawan penjajah. Namun, lebih dari itu,
pahlawan adalah siapa saja yang hari ini masih memiliki kecintaan pada negeri
ini serta berkomitmen untuk mengisi pembangunan dengan perbuatan yang
bermanfaat bagi bangsa dan negara, tanpa memedulikan sekecil apa pun
perbuatan itu.
Alakullihal, menjadi pahlawan bukan selalu soal peperangan. Menjadi
pahlawan adalah kemauan untuk berbuat dan untuk selalu melakukan usaha-usaha
perubahan untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Selamat Hari Pahlawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar