Agenda Perkotaan Pinggiran
Wilmar Salim ; Ketua Program Studi Magister dan Doktor
Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi
Bandung
|
KOMPAS,
09 November 2015
Dalam pertemuan Asia
Pacific Urban Forum ke-6, pertengahan Oktober lalu, Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyatakan bahwa pembangunan
perkotaan akan difokuskan pada kawasan penyangga atau pinggir kota sebagai
sentra ekonomi baru untuk mencegah membengkaknya urbanisasi di kota besar.
Walaupun agenda itu
sepertinya masuk akal, ada hal lain yang mesti diprioritaskan terlebih dulu
dalam agenda pembangunan perkotaan di Indonesia.
Persoalan perkotaan
Pertama, pembangunan
di dalam kota belum menunjukkan ciri-ciri perkotaan seperti kota maju di
dunia. Banyak kawasan perumahan dibangun secara horizontal. Masih banyak
lahan menganggur di tengah kota, yang seharusnya bernilai tinggi, tetapi tak
bisa dibangun tanpa konsolidasi lahan terlebih dulu.
Pembangunan di tengah
kota butuh intervensi pemerintah dalam bentuk konsolidasi lahan: di atas
lahan itu bisa dibangun rumah susun untuk mengakomodasi kebutuhan tempat
tinggal masyarakat perkotaan, selain juga lahan untuk ruang publik.
Kedua, banyak
pembangunan di dalam kota yang tak tepat sasaran, terlalu banyak bangunan
komersial dibandingkan residensial. Jakarta, misalnya, punya 170 pusat
belanja, terbanyak di dunia (Coca, 2013). Namun, ditengarai, ketika satu
pusat belanja baru dibangun, konsumen akan berpindah dari pusat belanja lama
untuk belanja di tempat baru, menjadikan pusat belanja lama sepi konsumen.
Kita bisa amati gedung pusat belanja lama yang kondisinya memprihatinkan.
Begitu pula mulai
terjadi pembangunan hotel. Pembangunan kota harus menjaga keseimbangan antara
kebutuhan ruang komersial dan nonkomersial, baik itu residensial maupun
sosial. Pemerintah perlu mencegah pembangunan komersial yang berlebihan,
apalagi jika dibangun di atas ruang terbuka hijau.
Selain itu,
pembangunan komersial tak selalu diikuti dengan pembangunan lahan parkir yang
cukup sehingga pengunjung pusat belanja, hotel, ataupun restoran mengambil
ruas jalan, trotoar, atau taman kota sebagai tempat parkir. Ini kemudian
membuat kemacetan di ruas-ruas jalan di dekatnya.
Hal ini terkait dengan
persoalan ketiga. Tanpa disadari, pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi
meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan tersebut tak
diantisipasi dengan pembangunan transportasi massal yang layak sehingga
masyarakat lebih memilih sepeda motor atau mobil. Pembangunan kota harus
dilengkapi dengan pembangunan angkutan massal yang nyaman dan terjangkau oleh
semua kelompok lapisan masyarakat.
Keempat, banyak
pembangunan dalam kota terjadi di kawasan sensitif lingkungan ataupun rawan
bencana karena keterbatasan lahan. Pembangunan terjadi di pinggir sungai,
daerah resapan air, tepi pantai, kemiringan lereng tinggi, dan sebagainya.
Pembangunan juga terjadi pada kawasan dengan struktur geologi sensitif: air
tanah di lapisan akuifer disedot berlebihan, berakibat pada penurunan muka tanah.
Pada kota-kota pesisir
pantai utara Pulau Jawa, seperti Jakarta dan Semarang, ini menjadi penyebab
banjir rob selama ini. Pemerintah harus dapat mengendalikan pembangunan di
kawasan sensitif itu. Ini untuk mencegah terjadinya bencana di masa depan, selain
juga menjaga keberlanjutan kehidupan kota.
Jika pemerintah tak
mampu mengendalikan pembangunan di dalam kota yang di dekat mata, hal sama
akan terjadi dalam pembangunan kawasan penyangga atau pinggir kota. Jika
maksud pemerintah untuk mengendalikannya dengan merencanakan pembangunan
kawasan penyangga atau pinggiran yang lebih baik, hal tersebut perlu
diapresiasi. Namun, keruwetan soal di dalam kota-kota saat ini harus tetap
dipecahkan.
Membangun pinggiran
Salah satu dari
Nawacita memang membangun dari pinggiran, tetapi bukan berarti kita tak perlu
membangun di tengah kota atau kemudian menjadikan kawasan pinggir
metropolitan fokus pembangunan.
Membangun dari
pinggiran dapat diartikan pula membangun bagi kaum pinggiran perkotaan. Pola
pembangunan di masa lalu yang terfokus di wilayah metropolitan Jakarta
menjadikan kota ini tujuan kaum migran, yang kemudian menghidupkan sektor
informal, hidup di tengah kekumuhan, tanpa layanan dasar memadai.
Kita tak bisa menutup
mata bahwa upaya untuk mencapai tujuan 100-0-100, Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat membutuhkan pemadatan daerah terbangun tengah kota
sehingga tercapai skala penyediaan infrastruktur air bersih dan sanitasi yang
efisien. Untuk itu, dibutuhkan konsolidasi lahan di tengah kota untuk menata
kawasan kumuhnya. Gagasan semacam kampung deret perlu direalisasikan untuk
mentransformasi kawasan kumuh menjadi hunian apik dan murah bagi kaum
pinggiran.
Membangun dari
pinggiran dapat juga diartikan membangun kota kecil dan sedang di daerah-daerah.
Di masa lalu, fokus pembangunan perkotaan hanyalah pada kota metropolitan dan
kota besar.
Sejak otonomi daerah
diberlakukan, pembangunan di daerah mulai terjadi, pembangunan kota kecil dan
sedang pun terjadi. Jika pada 1990 hanya ada 39 kota kecil dan sedang, tahun
2010 jumlahnya menjadi 72 kota dan lebih dari separuh terletak di luar Pulau
Jawa. Tren ini masih akan berlanjut ke masa depan.
Jika kawasan pinggiran
kota besar dan metropolitan akan menjadi fokus dalam pembangunan perkotaan ke
depan, itu dapat dibangun dengan skema perluasan perkotaan terencana.
Arah perkembangan kota
besar dan metropolitan harus direncanakan dan dilaksanakan dengan penyiapan
infrastruktur ke kawasan yang akan menampung perluasan perkotaan tersebut.
Kita tidak bisa membiarkan perluasan perkotaan terjadi secara organik yang
dikendalikan oleh spekulan lahan dan pengembang swasta selamanya.
Dengan demikian,
selain menjawab semua persoalan perkotaan di atas, ada tiga agenda perkotaan
pinggiran ke depan. Agenda itu mencakup penataan kawasan kumuh dan pemadatan
daerah terbangun dengan konsolidasi lahan, pengembangan kota kecil dan sedang
di luar Pulau Jawa, serta perluasan kota besar dan metropolitan terencana
dengan pembangunan infrastruktur.
Kebijakan dan Strategi
Pembangunan Perkotaan Nasional yang dibuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional perlu mengakomodasi agenda tersebut. Selanjutnya perlu
mengoordinasikan implementasinya dengan kementerian lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar