Revolusi
Mental dan Budaya
Nanat Fatah Natsir ;
Guru
Besar Sosiologi Agama,
Mantan
Rektor UIN Sunan Gunung Jati Bandung
|
REPUBLIKA,
19 September 2014
Dalam teori sosiologi pembangunan untuk
menganalisis maju mundurnya suatu bangsa, salah satunya dikenal dengan Teori Modernisasi. Teori ini
berpendapat bahwa keterbelakangan suatu bangsa disebabkan oleh belum
menularnya karakter bangsa maju atau negara modern kepada bangsa terbelakang.
Misalnya, karakter memiliki etos kerja tinggi, rasional, disiplin, efisien,
hemat, dan jujur, sebagaimana layaknya karakter bangsa maju.
Menurut teori ini, suatu bangsa hidup
terbelakang, miskin, banyak pengangguran, kesehatan buruk, pendidikan rendah,
disebabkan oleh mentalitas bangsa itu yang terkungkung budaya malas, etos
kerja rendah, tidak disiplin, tidak jujur, tidak rasional, mental menerobos.
Menurut sosiolog Herman Soewardi, disebut lemah karsa sehingga bangsa tersebut
akan terus terbelakang walaupun dibantu dana dan fasilitas teknologi yang
banyak karena mereka secara mental dan budaya belum siap melakukan
pembangunan bangsanya sehingga kondisi bangsa meningkat menjadi bangsa maju.
Menurut teori modernisasi ini, resep untuk mengubah bangsa agar maju dari lemah karsa menjadi kuat karsa, maka harus dilakukan
perubahan mental dan budaya.
Dari orang perorang bangsa itu, maka pada
posisi inilah tampaknya Jokowi-JK (Presiden dan Wakil Presiden) terpilih
mengajukan konsep Revolusi Mental agar bisa mengubah mindset masyarakat
sehingga bangsa bisa maju sesuai cita-cita Proklamator Bangsa. Menurut teori
ini, kalau suatu bangsa ingin maju, maka karakter bangsa maju harus
disosialisasikan secara intensif ke individu-individu melalui pendidikan di
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sungguh pun demikian, Dawam Raharjo tidak
sependapat dengan teori modernisasi ini. Maju mundurnya suatu bangsa sangat
bergantung pada sistem ekonomi dan politik yang memberi kesempatan dan
peluang yang mudah dan adil sehingga semua orang memiliki kesempatan sama
untuk menjemput peluang meraih kemajuan.
Kelemahan
budaya
Tantangan berat yang kita hadapi ke depan
dalam memajukan peradaban bangsa adalah lemahnya moral dan budaya bangsa yang
mengakibatkan lemahnya karsa. Oleh Bung Karno dalam trisaktinya disebut
lemahnya kepribadian budaya bangsa. Hal ini bersumber dari dampak negatif
faktor budaya internal bangsa dan faktor eksternal yang disebabkan terjadinya
serangan budaya globalisasi yang tidak bisa dihindari.
Dampak negatif faktor internal budaya
bangsa bersumber dari sistem nilai yang turun-temurun dari satu generasi ke
generasi berikutnya yang mungkin tali-temali dengan adat istiadat, lingkungan
masyarakat, kesalahpahaman pemahaman agama dan budaya sehingga mengganggu
kemajuan bangsa. Sosiolog Herman Soewardi mengemukakan ada lima ciri
kelemahan budaya bangsa kita yang harus segera diubah kalau ingin maju.
Pertama, dalam bekerja kadang–kadang tidak
berorientasi ke masa depan sehingga dalam masyarakat kita dikenal istilah
bagaimana besok, bukan besok bagaimana. Akhirnya bekerja tanpa perencanaan
yang matang, asal jadi, tidak bepikir kualitas dan cara untuk mencapainya.
Oleh Muhtar Lubis disebut mental
menerabas, ingin cepat sukses dengan menghalalkan segala cara yang
ujung-ujungnya melahirkan budaya korupsi.
Kedua, growth
philosophy. Maksudnya dalam bekerja tidak ada keharusan apa yang kita
kerjakan itu harus menjadi besar, tetapi dilakukan secara rutinitas saja,
kegiatan usaha dilakukan hanya sekadar memperpanjang hidup. Ketiga, kurang
ulet atau cuek, dalam bekerja kadang-kadang cepat menyerah, kurang ulet,
terkenallah dengan pribahasa "Jatuh diimpit tangga, keluar dari mulut
harimau masuk mulut buaya."
Keempat, retretism, berpikir berpaling ke akhirat semata-mata dan
melupakan kehidupan dunia. Hal ini disebabkan kesalahpahaman terhadap
pemahaman agama yang benar. Akhirnya sebagian dari umat beragama bangsa kita
berpendapat, "Biar hidup miskin di dunia, sebab nanti di akhirat akan
masuk surga". Hal ini kata para ulama pemutarbalikan logika, tidak logis
apabila ingin masuk surga tanpa usaha di dunia.
Kelima, inertia. Maksudnya, kelemahan
budaya bangsa kadang-kadang lamban bekerja sehingga ketinggalan peluang untuk
maju. Kelemahan budaya bangsa harus diubah, mengubah mindset bangsa kita ke
arah budaya yang positif sehingga dapat memiliki kepribadian dan budaya
bangsa yang kuat, ulet, mandiri beretos kerja tinggi. Pintu masuknya melalui
pencerahan pendidikan di berbagai jenjang yang bersinergi dengan pendidikan
keluarga dan masyarakat.
Pencerahan
pendidikan
Upaya membangun peradaban bangsa Indonesia
yang maju, sejahtera, mandiri, dan kuat diperlukan sumber daya manusia (SDM)
yang berkualitas, unggul, dan berdaya saing. Hal ini dapat dilakukan dengan
membina SDM kita yang menurut Habibie memiliki jiwa entrepreneurship,
menguasai, dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bermoral, dan
beretika yang berbasis pada ajaran agama di negara yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945.
Habibie mengajukan teori HO2, yakni Hati
(iman dan takwa), Otak (ilmu pengetahuan), dan Otot (teknologi). Tentu kita
belum puas dengan kondisi pendidikan kita saat ini. Hasil survei lembaga
internasional menunjukkan kualitas pendidikan menduduki peringkat ke-64 dari
120 negara yang disurvei. Tingkat daya saing nomor 38, di bawah Malaysia,
Brunei, dan Thailand. Sedangkan, tingkat korupsi masih tinggi pada peringkat
118.
Lembaga pendidikan kita cenderung
melahirkan pengangguran intelektual, kurang mandiri, pencari pekerjaan, bukan
pioner pembuka lapangan kerja. Pintu masuk melakukan revolusi mental yang
paling strategis harus melalui pencerahan kualitas pendidikan. Finlandia,
negara yang menjadi idola model pendidikan dewasa ini, meraih ranking indeks
kebahagiaan tertinggi di dunia, daya saing SDM-nya pernah menduduki peringkat
pertama dunia.
Dalam pembangunan bangsanya, selain
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, juga keseimbangan hidup dan kepuasan batin
serta pemerataan pembangunan. Menurut pakar pendidikan Finlandia Pasi
Sahlberg, ini dilakukan dengan mengembangkan model belajar-mengajar yang
berorientasi siswa agar terbiasa ingin tahu atau belajar berpikir,
kemandirian siswa yang menekankan kemampuan kreativitas dan inovasi, serta
mengedepankan nilai-nilai dan etos yang menjunjung tinggi lingkungan hidup.
Karena itu, model proses belajar-mengajar
yang dikembangkan di Finlandia lebih sedikit bagi guru dan belajar lebih
banyak bagi guru dan siswa. Di Finlandia menjadi guru adalah profesi
prestisius. Banyak orang muda yang terinspirasi ingin menjadi guru. Fakultas
Keguruan telah menjadi pilihan nomor satu orang-orang muda Finlandia, di atas
kedokteran dan hukum.
Ujian nasional diserahkan ke sekolah
masing-masing, demikian pula dengan materi ujian nasional. Pemerintah pusat
cukup menentukan standar kualitas pendidikan saja. Itulah sebabnya rencana
kabinet Jokowi-Jk, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional diubah
menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi; Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang mengelola pendidikan dasar, menengah, dan
olahraga sangat strategis untuk terwujudnya revolusi mental guna memperkokoh
kepribadian dan budaya bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar