Keluar
dari Hitam-Putih Pilkada
Mardyanto Wahyu Tryatmoko ;
Peneliti
pada Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
16 September 2014
KINI
masyarakat disuguhkan dengan perdebatan hitam-putih mekanisme pemilihan
kepala daerah apakah secara langsung atau melalui DPRD. Persoalannya, apakah
pilkada yang cocok untuk konteks Indonesia hanya sesederhana menentukan satu
di antara pilihan itu untuk provinsi, kabupaten, dan kota secara seragam?
Diskusi
publik seharusnya mulai diperluas dengan tidak hanya membahas dikotomi
politik elektoral semata. Esensi pembenahan mekanisme pilkada juga harus
mampu menuntaskan kasus nyata seperti perseteruan antara gubernur dan
bupati/wali kota, pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya, serta
kepala daerah yang cepat lompat pagar sebelum masa jabatannya usai.
Para
politisi di Senayan tidak perlu mempertegas pengubuan politik Pemilu Presiden
2014 dalam pembahasan pembenahan pengaturan pilkada. Jika tidak ingin
melakukan perbaikan parsial dan simtomatis, keputusan pengaturan pilkada
harus arif mempertimbangkan berlakunya sistem pemerintahan, desentralisasi,
dan otonomi daerah, serta dinamika sosial yang berkembang di tingkat bawah.
Kongruensi sistem presidensialisme?
Mekanisme
pilkada memang perlu berkaca pada jenis sistem pemerintahan yang dianut.
Namun, tidak berarti bahwa model pemerintahan presidensial yang dianut
Indonesia saat ini memprasyaratkan pemilihan kepala daerah secara langsung di
semua level pemerintahan.
Kasus
Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa perekrutan kepala daerah di
seluruh tingkat pemerintahan daerah tidak harus kongruen dengan penentuan
kepala negara di tingkat nasional. Bahkan, pilkada di level pemerintahan
tertentu diberlakukan secara asimetris.
Inggris
yang menerapkan sistem parlementer, misalnya, belakangan ini justru getol
menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung yang berbau presidensial.
The Greater London
Authority Act 1999 merupakan pijakan pertama bagi Inggris untuk memilih kepala
daerah secara langsung. Setelah itu, pemerintah nasional Inggris mengeluarkan
kebijakan menghargai keragaman dengan merumuskan empat pilihan model
pemerintahan lokal yang dimuat dalam UU Pemda Tahun 2000.
Keempat
model tersebut adalah mayor/cabinet, mayor/council-manager, cabinet, dan
sistem komite yang dimodifikasi (Hambleton dan Sweeting, 2004). Pemilihan
kepala daerah langsung melekat pada model mayor/cabinet dan model
mayor/council-manager.
Di
Amerika Serikat semua gubernur negara bagian dipilih secara langsung oleh
rakyat, tetapi di tingkat city dan municipality pemilihan kepala daerahnya
tidak seragam.
Sebagai
negara yang juga menganut sistem presidensial, tidak sedikit pemerintah daerah
yang menerapkan model weak-mayor,
council-manager, dan city-commission. Ketiga model ini esensinya
menerapkan sistem semi-parlementer.
Kepala
daerah di dalam model weak-mayor,
city-commission, dan sebagian di council-manager
tidak dipilih secara langsung, tetapi dipilih atau diangkat oleh council.
Jika dikalkulasi, pemda yang tidak menerapkan pilkada langsung lebih banyak
dengan perbandingan sekitar 60:40 (ICMA).
Pelajaran
yang dapat diambil dari kasus tersebut adalah pilkada di semua lapis
pemerintah daerah tidak harus kongruen dengan sistem pemerintahan yang dianut
di tingkat pusat.
Penentuan
sistem pilkada juga tidak harus didasarkan atas alasan kebaikan demokrasi
langsung atau efisiensi secara terpisah. Lebih penting dari itu bahwa konteks
sistem otonomi daerah, kapasitas, dan dinamika lokal perlu juga
dipertimbangkan.
Rasionalisasi tautan
otonomi daerah
Salah
satu sumber perseteruan antara gubernur dan bupati/wali kota yang sering
terjadi adalah pilkada secara langsung di dua tingkat pemerintahan sekaligus.
Bupati/wali kota merasa bahwa dirinya memiliki privilese politik yang sama
dengan gubernur karena sama-sama dipilih oleh rakyat.
Tak
sedikit bupati yang mengabaikan posisi gubernur, bahkan berambisi untuk
segera mengakhiri masa jabatan gubernur di wilayahnya.
Sebaliknya,
banyak gubernur mengeluarkan kebijakan diskriminatif terhadap kabupaten
ketika bupatinya berseberangan politik dengannya. Diskriminasi pembagian dana
otonomi khusus di Aceh dan Papua merupakan salah satu contohnya.
Perseteruan
antara gubernur dan bupati/wali kota semacam itu tak dapat diredam hanya
dengan sekadar meningkatkan kewenangan gubernur tanpa pembenahan perekrutan
kepala daerah. Hal ini sudah terbukti dengan hadirnya Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 19 Tahun 2010 dan PP Nomor 23 Tahun 2011 yang tak efektif sebagai
alat menyelesaikan konflik antara gubernur dan bupati/wali kota.
Jika
kabupaten/kota tetap diberi otonomi luas sebagai ujung tombak pelayanan
publik, pilkada langsung menjadi sangat relevan diberlakukan di tingkat ini.
Provinsi selayaknya didudukkan sebagai intermediary institution dalam rangka
memperkuat jalinan kesatuan antara pusat dan daerah.
Untuk
itu, pilkada secara langsung kurang efektif menghasilkan gubernur yang dapat
memainkan peran sebagai wakil pemerintah pusat, terutama dalam menjalankan
fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan.
Pilkada
langsung ataupun melalui DPRD tidak akan menjamin terciptanya pemerintahan
lokal yang governable jika perpecahan di dalam eksekutif terjadi lantaran
pencalonan satu paket.
Dikotomi
pilihan itu juga tidak akan menjamin penguatan akuntabilitas kepala daerah
jika mekanisme kutu loncat masih diperbolehkan. Oleh sebab itu, perdebatan
hitam-putih pilkada selayaknya tidak diperpanjang dengan mulai memikirkan
pembenahan sistemik untuk menghasilkan lembaga eksekutif lokal yang kuat dan
lebih akuntabel sekaligus menjamin harmonisasi hubungan antartingkat
pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar