Jumat, 18 Juli 2014

Pilpres dan Tanggung Jawab Pers

                             Pilpres dan Tanggung Jawab Pers

Abdullah Alamudi  ;   Pengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo; 
Anggota Dewan Pers (2007-2010)
KOMPAS,  18 Juli 2014



INDONESIA cemas menunggu putusan akhir pemenang pemilu presiden di tengah isu kemungkinan terjadinya kerusuhan oleh pihak yang kalah meski ada jaminan keamanan dari Kepala Polri dan Panglima TNI. Inilah pilpres paling mencabik-cabik bangsa sepanjang sejarah RI.

Di tengah cemas akan perpecahan, masyarakat mempertanyakan tanggung jawab sosial pers, khususnya media TV yang pemiliknya pendukung salah satu calon presiden-calon wakil presiden yang bersaing.

Pada masyarakat pers dan penyiaran sendiri timbul pertanyaan serius terhadap jurnalis yang mereka anggap telah mengompromikan integritas dan profesionalisme mereka karena tekanan pemilik modal. Pada saat sama, keluhan masyarakat serta teguran dan peringatan tertulis Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada stasiun TV yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) diabaikan stasiun itu.

Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan diumumkan pada 22 Juli, tetapi masyarakat sudah dibanjiri berbagai isu tentang kerusuhan yang mungkin terjadi. Kekhawatiran terutama dirasakan warga keturunan Tionghoa akibat trauma penjarahan, penganiayaan, dan pemerkosaan pada peristiwa 1998. Menurut Ketua Kadin Sofjan Wanandi, banyak pengusaha keturunan Tionghoa meninggalkan Indonesia menjelang Pilpres 9 Juli.

Dilanggar

Selama ini, KPI dan masyarakat menyoroti TV One, milik Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie serta RCTI dan MNC Group, keduanya milik Hary Tanoesoedibjo, kelompok media terbesar di negeri ini. Aburizal dan Hary pendukung utama Prabowo-Hatta. Metro TV milik Suryo Paloh, pemimpin Partai Nasdem, pendukung utama Jokowi-JK.

Berbagai pemberitaan TV One, MNC Group, dan Metro TV selama kampanye pilpres telah melanggar prinsip universal jurnalistik tentang akurasi, keseimbangan, imparsial, tak menghakimi, tak menghina/mencemarkan nama baik seseorang, dan tak membohongi masyarakat. Pasal 7 (Ayat 2) UU Pers yang menegaskan bahwa wartawan memiliki dan taat pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pasal 42 UU Penyiaran bahwa media elektronik taat pada KEJ, UU (Penyiaran), dan peraturan lain (P3SPS/KPI), mereka abaikan saja.

Stasiun TV itu memilih narasumber yang akan menyampaikan pendapat positif bagi calon masing-masing dan/atau mendiskreditkan lawannya.  Tidak jarang ucapan narasumber itu mengarah pada kampanye hitam. Menurut anggota tim sukses Jokowi-JK, Anies Baswedan, besaran serangan kampanye hitam terhadap Jokowi-JK sembilan kali lebih besar dibandingkan dengan serangan gelap terhadap Prabowo-Hatta.

Upaya Ketua Dewan Pers Bagir Manan lewat pertemuan 4 Juli (lima hari sebelum pilpres) yang diakhiri dengan penandatangan komitmen bersama pers Indonesia menjelang Pemilu Presiden 2014 oleh puluhan pemimpin redaksi serta produser radio dan TV untuk mengingatkan masyarakat pers tentang tanggung jawab sosial mereka tidak digubris stasiun TV itu.

Komitmen itu antara lain berbunyi, Kami pers Indonesia akan selalu mengedepankan prinsip akurasi, verifikasi, dan kehati-hatian, terutama pada hal-hal yang berpotensi menimbulkan perpecahan atau konflik di masyarakat serta menghindari penyebarluasan fitnah dan kebencian.

Beberapa wartawan TV One dan MNC Group, yang  tak mau mengompromikan integritas dan profesionalitas mereka lebih jauh karena campur tangan pemilik modal ke dalam ruang redaksi, mengundurkan diri atau dipecat. Kebebasan redaksi di stasiun itu hilang. Media TV jadi dikelola orang yang bersedia mengompromikan integritas dan profesionalisme mereka, dan mereka yang jadi pemimpin redaksi tanpa pengalaman jurnalistik.

Di samping itu, ada sejumlah wartawan yang dengan sadar jadi anggota tim sukses salah satu pasangan kandidat tanpa secara jujur mengungkapkannya kepada publik. Akibatnya, masyarakat tak memperoleh informasi yang akurat, berimbang, dan imparsial, tetapi propaganda mengenai capres-cawapres yang didukung stasiun TV bersangkutan. Di sini para wartawan bersangkutan sadar mengabaikan tanggung jawab sosial mereka demi kepentingan ekonomi/jabatan.

Pemberitaan stasiun TV itu telah ikut menambah keresahan masyarakat, mendorong militansi pendukung masing-masing, dan mempertajam curiga di antara kelompok masyarakat. Pers telah jadi bagian dari problem. Pilpres dan pers menggiring masyarakat ke arah hampir terbelah dua. Terpecahlah parpol, purnawirawan militer dan polisi, seniman, serta artis. Para ulama bertolak belakang. Bahkan, lembaga survei terpecah.  Akibatnya tak terbayangkan jika kedua calon dan pers tak segera menenangkan pengikut yang kalah sebelum pengumuman resmi pemenang pemilihan ini pada 22 Juli.

Pecah belah

Tokoh parpol terpecah. Tujuh partai (Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat) berpihak kepada Prabowo-Hatta menghadapi lima partai (PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI) berpihak ke Jokowi-JK. Sebagian besar pengurus Demokrat mendukung Prabowo-Hatta, sementara Gubernur Sulawesi Utara Sinjo Sarundayang dan anggota Komisi III DPR Ruhut Sitompul  menyeberang ke Jokowi-JK. Begitu juga Hayono Isman, anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, mantan peserta konvensi capres Partai Demokrat.

PPP pecah setelah mantan ketua umumnya, Suryadharma Ali, berorasi bersama Prabowo dalam suatu kampanye Gerindra. Kini, Suryadharma tersangka KPK soal korupsi dana haji ketika dia Menteri Agama. Golkar, pemenang kedua terbesar dengan 91 kursi di DPR,  pecah.  Setelah ketua umumnya, Aburizal Bakrie, gagal mencalonkan diri sebagai presiden seperti keputusan munasnya, ditolak PDI-P jadi cawapres bagi Jokowi,  akhirnya berlabuh di koalisi Gerindra dengan janji diberi jabatan menteri utama apabila Prabowo menang.  Aburizal memecat tiga kader terkemuka Golkar, Agung Gumiwang Kartasasmita, Nusron Wahid, dan Poempida Hidayatulloh ketika menyeberang ke Jokowi-JK.  Aburizal kini menghadapi kemungkinan dilengserkan partainya.

Sejumlah kiai Nahdlatul Ulama serta pesantren di Jawa Barat dan Jawa Timur pecah antara pendukung Prabowo-Hatta  dan Jokowi-JK. GP Ansor—organisasi pemuda di bawah NU— dan  Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Jawa Timur pecah ketika Banser memberi gelar anggota kehormatan kepada Prabowo tanpa persetujuan Ketua Pemimpin Pusat GP Ansor, lembaga yang menaunginya. Gerakan Pemuda Ansor mendukung Jokowi-JK.

Sejumlah jenderal purnawirawan mengambil posisi berseberangan. Menurut TribuneNews.com (29/5), di kubu Jokowi-JK, selain Wiranto, ada mantan Kepala BIN AM Hendropriyono dan mantan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar Luhut Panjaitan.  Singkatnya, sekitar 170 purnawirawan jenderal TNI dan Polri mendukung Jokowi-JK.

Masih menurut TribuneNews.com, di kubu Parbowo-Hatta, selain mantan Kepala Staf Umum TNI Letjen TNI (Purn) Johannes Suryo Prabowo, ada 200-an purnawirawan TNI/Polri yang mendukung Prabowo-Hatta. Termasuk  mantan Panglima TNI Laksamana (Purn) Widodo AS dan mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI (Purn) George Toisutta.

Puluhan artis senior dan muda terbelah. Ahmad Dhani, artis yang berpihak ke Prabowo-Hatta, menjiplak lagu Queen, ”We Will Rock You”, dengan lagu Indonesia Bangkit untuk Prabowo-Hatta, dan dicerca masyarakat pendukung hak cipta. Sebaliknya, kelompok Slank, dengan lirik lagu yang sering kritis terhadap ketidakadilan, menciptakan ”Salam Dua Jari” untuk Jokowi-JK serta melakukan  konser bersama seratusan artis tua dan muda di Jawa Tengah dan di Gelora Bung Karno dengan jumlah pengunjung tak terbilang.

Lembaga survei yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat mendapat informasi hitung cepat  dalam setiap pemilu/pilkada terpecah. Tujuh lembaga (Lingkaran Survei Indonesia/LSI, Populi Center, Saiful Mujani Research and Consulting/SMRC, Indikator Politik, Cyrus-CSIS, Litbang Kompas, plus RRI) memenangkan Jokowi-JK dengan selisih sekitar 4-5 persen atas Prabowo-Hatta.

Empat lainnya (Indonesia Research Center/IRC, Lembaga Survei Nasional/LSN, Jaringan Suara Indonesia/JSI, serta Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis/Puskaptis)   memenangkan Prabowo-Hatta dengan angka yang sangat mencolok.  IRC dibiayai dan berkantor di gedung MNC Group.

Ketujuh lembaga itu,  yang rekam jejaknya sudah diakui masyarakat,  mempertanyakan keakuratan dan metodologi yang digunakan keempat lembaga itu.

Pilpres ini  telah mencabik-cabik bangsa ini dan pers ikut bertanggung jawab. Kekhawatiran masyarakat belum akan hilang sampai KPU mengumumkan keputusan finalnya pada 22 Juli tanpa diikuti kerusuhan.  Bangsa ini akan tenggelam dalam kehancuran jika golongan yang kalah tak bisa berbesar hati menerima kekalahan. Tanggung jawab pers pula untuk jujur menjelaskan persoalan kepada mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar