Kamis, 17 Juli 2014

Kompetisi Pemilihan Presiden 2014

                           Kompetisi Pemilihan Presiden 2014

Arya Budi  ;   Peneliti Poltracking Institute 
KORAN TEMPO,  16 Juli 2014
                                                


Pemungutan suara pemilu presiden telah usai, tapi masih menyisakan dua isu besar: perbedaan hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga dan deklarasi pemenang pemilihan presiden oleh masing-masing kandidat. Dua isu besar ini menciptakan pertanyaan tunggal bagi publik: siapa sebenarnya pemenang pemilihan presiden?

Terlepas dari polemik perihal siapa yang benar dengan hasil hitung cepat, kontestasi pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK pada pemilu presiden 2014 ini berlangsung dengan sangat dinamis. Hasil hitung cepat yang dirilis oleh Poltracking menunjukkan pasangan Jokowi-JK (53,70 persen) unggul terhadap Prabowo-Hatta (46,30 persen) dengan total data masuk 99,75 persen dari 2.000 TPS sampel terpilih di seluruh Indonesia.

Tidak bisa dimungkiri, hasil hitung cepat ini menunjukkan stagnasi, bahkan penurunan, suara Jokowi dari survei Poltracking Maret 2014 dengan 54,9 persen. Sebaliknya, angka hitung cepat menunjukkan kenaikan signifikan suara Prabowo jika melihat survei elektabilitas Poltracking pada Juni 2014 dengan 27,9 persen. Riwayat survei di beberapa lembaga lain menunjukkan Prabowo-Hatta lebih unggul.

Telah menjadi rahasia umum bahwa setidaknya ada sembilan provinsi yang mempunyai jumlah pemilih besar di mana tiga provinsi di antaranya menyumbang masing-masing lebih dari 15 persen suara dari total pemilih nasional.

Singkat cerita, peta kompetisi pada 9 provinsi ini menentukan perolehan suara nasional karena total sumbangannya mencapai lebih dari 70 persen suara. Hitung cepat Poltracking menunjukkan bahwa Jokowi-JK unggul di 7 provinsi gemuk, seperti di Sumatera Selatan (50,64 persen), Sumatera Utara (58,48 persen), Lampung (52,40 persen), DKI Jakarta (54,03 persen), Jawa Timur (58,23 persen), dan Sulawesi Selatan (70,45 persen).

Sementara itu, Prabowo-Hatta unggul di dua provinsi gemuk, seperti Jawa Barat (59,19 persen) dan Banten (58,23 persen).

Sekalipun sempat menjadi polemik antara Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum, hasil perolehan suara versi hitung cepat ini tentu juga harus mempertimbangkan kemenangan kandidat di minimal 50 persen provinsi dari total 34 provinsi yang ada. Terkait dengan hal ini, hasil hitung cepat Poltracking menunjukkan pasangan Jokowi-JK unggul di 22 provinsi, sedangkan Prabowo-Hatta unggul di 10 provinsi lainnya dengan interval selisih suara yang bervariasi.

Singkat cerita, berdasarkan hasil hitung cepat, pasangan Jokowi-JK berpotensi menjadi presiden selanjutnya menggantikan SBY-Boediono.

Secara teoretis, hasil hitung cepat pemilu presiden ini sekali lagi menunjukkan cakupan dual split-ticket voting yang jamak terjadi hampir di seluruh pemilih Indonesia. Bahwa pilihan publik tidak linier dengan pilihan partai (baik secara horizontal maupun vertikal). Pun demikian dengan pilihan publik dengan preferensi tokoh yang diidolakan.

Pertama, suara partai yang berkoalisi dengan pasangan kandidat-59,12 persen untuk Prabowo-Hatta dan 40,88 persen untuk Jokowi-JK-tidak menunjukkan perolehan suara kandidat yang linier. Hal itu memberikan konfirmasi hasil survei yang menunjukkan Party ID-tingkat kedekatan/asosisasi diri pemilih terhadap partai-yang rendah di Indonesia, berkisar 17-25 persen.

Kedua, logika bahwa Party ID yang rendah menyebabkan pemilih terombang-ambing mengikuti pendulum pilihan para figur/tokoh idola atau patron partai ternyata tidak sepenuhnya benar. Preferensi pilihan SBY yang direpresentasikan oleh Partai Demokrat tak sepenuhnya berdampak, sekalipun SBY memperoleh 60,80 persen satu kali putaran pilpres dengan tiga kandidat.

Dualisme politik elite pada masing-masing partai juga menjadi penyebab, seperti Golkar. Suara Jokowi-JK versi hitung cepat  yang mencapai 70,45 persen di Sulawesi Selatan, yang dikenal sebagai basis Golkar, tentu adalah "Golkar-Jusuf Kalla". Tentu, sekali lagi, hasil hitung-cepat yang menjadi dasar analisis ini bisa bergesar ke atas 1 persen dan ke bawah 1 persen karena margin error 1 persen dengan 95 persen tingkat kepercayaan.

Alhasil, pemilu presiden 2014 adalah babak baru politik Indonesia, di mana semua kekuatan politik terkanalisasi hanya pada dua kutub. Artinya, cara mengukur demokratisasi tidak sekadar terletak pada proses dan hasil pemilu, tapi juga seusai pemilu, di mana salah satu kandidat ditetapkan sebagai pemenang. Respons publik, elite, dan kandidat terhadap hasil penetapan pemenang oleh KPU beberapa hari ke depan adalah ukuran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar