Kamis, 17 Juli 2014

Epilog Pemilihan Presiden

                                        Epilog Pemilihan Presiden

Firman Venayaksa  ;   Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
KORAN TEMPO,  15 Juli 2014
                                                


Dalam pemilihan calon presiden kini, peperangan politik tidak hanya didominasi oleh kalangan elite partai. Semua orang memiliki hak untuk bersuara walaupun terkadang bising dan berisik. Kita menjadi sulit untuk mendeteksi apakah suara-suara itu penuh makna atau hanya sekadar gema.

Jika dulu para pengamat politik dan lembaga survei bisa dijadikan sebagai dasar seseorang untuk memilih calon presiden, sekarang sulit untuk mendapatkan netralitas obyektif itu. Begitu pun dengan peran media. Kenapa? Karena hanya ada dua pilihan. Jika Anda mengkritik capres tertentu, seobyektif apa pun, Anda akan diposisikan sebagai pendukung capres lainnya, dan begitu pun sebaliknya. Alih-alih membuka ruang obyektif, Anda akan selalu disudutkan karena membuka ruang negatif capres yang lain. Padahal, jika kita mengkritik, salah satu poin yang tak bisa dihindari adalah menilai dan mengevaluasi. Namun ada hal yang tak terbantahkan. Kita menjadi begitu peduli pada pilpres kali ini.

Begitulah jika kita berada pada dua pilihan. Hal itu pun terlihat dari lembaga survei yang sekarang ini ramai digunjingkan bahkan dijadikan sebagai parameter keberhasilan dua pasangan capres. Dua-duanya mengklaim berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) bahwa mereka memenangi pertarungan tersebut, sehingga di jejaring sosial banyak yang berceloteh bahwa kini Indonesia memiliki dua presiden yaitu presiden quick count. Candaan pun berlanjut, "Sebaiknya dibuat dua shift saja, ada presiden siang dan ada presiden malam, biar adil."

Di dalam tulisan ini, saya tak hendak menjustifikasi persoalan hasil lembaga survei tersebut. Kredibilitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan. Siapa yang bermain-main dengan data, akan dihukum dengan sendirinya. Saya ingin lebih berfokus pada ruang lain yang lebih menarik dan menjadi fenomena baru.

Dalam perhelatan pilpres yang lalu, mesin partai sangat mendominasi. Partai-partai yang meraih suara mayoritas lebih diunggulkan menjadi pemenang pilpres dan tidak membuka ruang kerelawanan seperti masyarakat nonpartai. Begitu pun dari sisi pendanaan. Masyarakat tidak diberi peluang untuk ikut menyumbang kepada calon presiden yang diminatinya. Konsep klasik ini membuat jarak yang cukup menganga di antara masyarakat dan para elite politik. Padahal perubahan mekanisme demokrasi memungkinkan terjadinya terobosan-terobosan baru. Rakyat rindu dilibatkan.

Sayangnya, konsep klasik ini masih dipakai oleh pasangan Prabowo-Hatta. Slogan "Presiden Pilihan Rakyat" mengindikasikan ada konstruksi hierarki yang dipertahankan, yaitu presiden-rakyat. Sedangkan di kubu nomor urut dua, dengan slogan "Jokowi-JK adalah kita", telah mendekonstruksi kemapanan klasikal yang dibangun elite politik. Dengan demikian, rakyat menjadi bagian yang integral dengan Jokowi-JK. Citraan lain dari kubu Prabowo-Hatta yang mengajak Indonesia menjadi Macan Asia lalu "dipaksa" bernostalgia ke masa Orde Baru dengan menjual stabilitas keamanan dan harga-harga murah hanyalah utopia belaka. Orde Baru bagi sebagian rakyat mungkin masa keemasan, tapi di sisi lain yang cenderung dilupakan adalah mereka telah membuka luka lama bangsa ini.

Dalam pilpres sekarang, diakui atau tidak, kubu Jokowi-JK telah membangun konstruksi demokrasi yang lebih modern. Jokowi-JK menekankan pada slogan "Indonesia Bisa" yang mengajak ke ruang visioner yang lebih konstruktif. Rakyat dibuka peluangnya untuk ikut terlibat menjadi relawan mereka. Bahkan dengan durasi yang tidak terlalu lama, pasangan ini membuka peluang bagi masyarakat untuk ikut menyumbang dalam pilpres ini. Sebanyak Rp 120 miliar lebih yang dihimpun dari sumbangan masyarakat bukanlah dana yang sedikit.

Pada tulisan ini, saya tidak menampik bahwa ada kerja-kerja partai yang ikut membangun kontestasi pilpres. Namun yang membedakan pilpres sekarang dengan pilpres sebelumnya terletak pada pendulum ini: relawan. Kerja-kerja kreatif yang dilakukan oleh para relawan dari pelbagai dimensi telah membuka mata para politikus di Indonesia bahwa kekuatan para relawan jauh lebih segar dan tak terbantahkan. Jika hanya mengandalkan suara yang dibangun partai yang mendukung Jokowi-JK, tidak akan cukup mengimbangi kubu Prabowo-Hatta yang didukung oleh mayoritas partai di republik ini. Jadi, elektabilitas capres bukanlah satu-satunya modal dalam pilpres kali ini. Keikhlasan para relawan untuk mendukung Jokowi-JK-lah yang membuat mereka bisa kuat. Wajar jika setelah pemilihan umum, yang pertama kali dilakukan Jokowi adalah mendatangi komunitas-komunitas relawan, karena ia mafhum betul bahwa ia memiliki "utang budi" kepada para relawannya.

Namun demikian, saya yakin bahwa kedua capres ini, baik dari kubu Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, menginginkan hal terbaik untuk bangsa ini: bangsa yang merindukan perubahan yang berarti, tidak hanya slogan dan pencitraan semata. Selepas pemilu ini, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama merealisasi janji-janji mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar