Epilog
Pemilihan Presiden
Firman Venayaksa ;
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten
|
KORAN
TEMPO, 15 Juli 2014
Dalam
pemilihan calon presiden kini, peperangan politik tidak hanya didominasi oleh
kalangan elite partai. Semua orang memiliki hak untuk bersuara walaupun
terkadang bising dan berisik. Kita menjadi sulit untuk mendeteksi apakah
suara-suara itu penuh makna atau hanya sekadar gema.
Jika
dulu para pengamat politik dan lembaga survei bisa dijadikan sebagai dasar
seseorang untuk memilih calon presiden, sekarang sulit untuk mendapatkan
netralitas obyektif itu. Begitu pun dengan peran media. Kenapa? Karena hanya
ada dua pilihan. Jika Anda mengkritik capres tertentu, seobyektif apa pun,
Anda akan diposisikan sebagai pendukung capres lainnya, dan begitu pun
sebaliknya. Alih-alih membuka ruang obyektif, Anda akan selalu disudutkan
karena membuka ruang negatif capres yang lain. Padahal, jika kita mengkritik,
salah satu poin yang tak bisa dihindari adalah menilai dan mengevaluasi.
Namun ada hal yang tak terbantahkan. Kita menjadi begitu peduli pada pilpres
kali ini.
Begitulah
jika kita berada pada dua pilihan. Hal itu pun terlihat dari lembaga survei
yang sekarang ini ramai digunjingkan bahkan dijadikan sebagai parameter
keberhasilan dua pasangan capres. Dua-duanya mengklaim berdasarkan hasil
hitung cepat (quick count) bahwa
mereka memenangi pertarungan tersebut, sehingga di jejaring sosial banyak
yang berceloteh bahwa kini Indonesia memiliki dua presiden yaitu presiden quick count. Candaan pun berlanjut, "Sebaiknya dibuat dua shift saja, ada
presiden siang dan ada presiden malam, biar adil."
Di
dalam tulisan ini, saya tak hendak menjustifikasi persoalan hasil lembaga survei
tersebut. Kredibilitas dan profesionalitas mereka dipertaruhkan. Siapa yang
bermain-main dengan data, akan dihukum dengan sendirinya. Saya ingin lebih
berfokus pada ruang lain yang lebih menarik dan menjadi fenomena baru.
Dalam
perhelatan pilpres yang lalu, mesin partai sangat mendominasi. Partai-partai
yang meraih suara mayoritas lebih diunggulkan menjadi pemenang pilpres dan
tidak membuka ruang kerelawanan seperti masyarakat nonpartai. Begitu pun dari
sisi pendanaan. Masyarakat tidak diberi peluang untuk ikut menyumbang kepada
calon presiden yang diminatinya. Konsep klasik ini membuat jarak yang cukup
menganga di antara masyarakat dan para elite politik. Padahal perubahan
mekanisme demokrasi memungkinkan terjadinya terobosan-terobosan baru. Rakyat rindu
dilibatkan.
Sayangnya,
konsep klasik ini masih dipakai oleh pasangan Prabowo-Hatta. Slogan "Presiden Pilihan Rakyat"
mengindikasikan ada konstruksi hierarki yang dipertahankan, yaitu
presiden-rakyat. Sedangkan di kubu nomor urut dua, dengan slogan "Jokowi-JK
adalah kita", telah mendekonstruksi kemapanan klasikal yang dibangun
elite politik. Dengan demikian, rakyat menjadi bagian yang integral dengan
Jokowi-JK. Citraan lain dari kubu Prabowo-Hatta yang mengajak Indonesia
menjadi Macan Asia lalu "dipaksa" bernostalgia ke masa Orde Baru
dengan menjual stabilitas keamanan dan harga-harga murah hanyalah utopia
belaka. Orde Baru bagi sebagian rakyat mungkin masa keemasan, tapi di sisi
lain yang cenderung dilupakan adalah mereka telah membuka luka lama bangsa ini.
Dalam
pilpres sekarang, diakui atau tidak, kubu Jokowi-JK telah membangun
konstruksi demokrasi yang lebih modern. Jokowi-JK menekankan pada slogan
"Indonesia Bisa" yang mengajak ke ruang visioner yang lebih
konstruktif. Rakyat dibuka peluangnya untuk ikut terlibat menjadi relawan
mereka. Bahkan dengan durasi yang tidak terlalu lama, pasangan ini membuka
peluang bagi masyarakat untuk ikut menyumbang dalam pilpres ini. Sebanyak Rp
120 miliar lebih yang dihimpun dari sumbangan masyarakat bukanlah dana yang
sedikit.
Pada
tulisan ini, saya tidak menampik bahwa ada kerja-kerja partai yang ikut
membangun kontestasi pilpres. Namun yang membedakan pilpres sekarang dengan
pilpres sebelumnya terletak pada pendulum ini: relawan. Kerja-kerja kreatif
yang dilakukan oleh para relawan dari pelbagai dimensi telah membuka mata
para politikus di Indonesia bahwa kekuatan para relawan jauh lebih segar dan
tak terbantahkan. Jika hanya mengandalkan suara yang dibangun partai yang
mendukung Jokowi-JK, tidak akan cukup mengimbangi kubu Prabowo-Hatta yang
didukung oleh mayoritas partai di republik ini. Jadi, elektabilitas capres
bukanlah satu-satunya modal dalam pilpres kali ini. Keikhlasan para relawan
untuk mendukung Jokowi-JK-lah yang membuat mereka bisa kuat. Wajar jika setelah
pemilihan umum, yang pertama kali dilakukan Jokowi adalah mendatangi
komunitas-komunitas relawan, karena ia mafhum betul bahwa ia memiliki
"utang budi" kepada para relawannya.
Namun
demikian, saya yakin bahwa kedua capres ini, baik dari kubu Jokowi-JK maupun
Prabowo-Hatta, menginginkan hal terbaik untuk bangsa ini: bangsa yang
merindukan perubahan yang berarti, tidak hanya slogan dan pencitraan semata.
Selepas pemilu ini, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama
merealisasi janji-janji mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar