Rabu, 16 Juli 2014

El Nino dan Kemarau Basah

                                     El Nino dan Kemarau Basah

Paulus Agus Winarso  ;   Pengajar di Akademi Meteorologi dan Geofisika
KOMPAS,  16 Juli 2014
                                                


Para pakar cuaca dan iklim dunia menginformasikan kehadiran gejala alam El Nino sejak Maret 2014. Pejabat iklim Indonesia juga menginformasikan peluang kehadiran El Nino 70 persen tanpa menyebutkan kawasan dampak El Nino.

Kenyataannya, dampak kegiatan El Nino berupa kekurangan curah hujan hanya tampak sedikit di kawasan Asia Selatan (India). Seperti yang dimuat dalam majalah Guardian News & Media, 2014, Asia Selatan memang telah memasuki periode monsun panas daratan Asia. Pada periode ini biasanya tekanan udara rendah dalam bentuk monsun depresi atau badai tropis, tetapi kenyataannya badai sangat kurang.

Kondisi berbeda

Kurun akhir April, Mei, dan Juni seharusnya musim terjadinya badai tropis yang berdampak banjir dan tanah longsor di daratan Asia Selatan, Timur, dan kawasan Samudra Pasifik barat, khususnya sekitar Filipina.

Namun, periode musim panas yang seharusnya menghasilkan kondisi tekanan rendah tidak terjadi. Padahal, kondisi inilah yang menarik massa udara laut sehingga memicu terjadinya pertemuan angin, membentuk daerah hujan lebat dengan konsekuensi bencana banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.

Kondisi alam yang kini berkembang di kawasan ini mengarah pada curah hujan yang cenderung di bawah rerata bulanan untuk kawasan Asia Selatan, Tenggara, dan Timur.

Negara di kawasan ini kini tengah mempersiapkan kondisi kurangnya curah hujan seperti India, Malaysia, dan negara lain seperti yang dilansir oleh Guardian News & Media 2014. Sekiranya kondisi ini tengah dan akan berlangsung, mungkin kegiatan El Nino 2014 akan menimpa kawasan belahan utara.

Kegiatan gejala alam El Nino berdampak pada sosial, ekonomi, dan lingkungan, mulai dari kejadian tahun 1982/1983 yang terulang 1987/1988, 1991-1994, dan 1997/1998 yang paling dahsyat dan tergiat dengan simpangan laut atau naiknya suhu muka laut kawasan ekuator Samudra Pasifik sebelah timur wilayah Indonesia, mencapai 3 derajat celsius. Bahkan, pada suhu laut di kedalaman 100-300 meter di bawah muka laut mencapai 6 derajat celsius atau lebih.

Hingga akhir Mei 2014, simpangan suhu muka laut sekitar 0,5 derajat celsius di permukaan dan di kedalaman 100-300 meter tertingginya 3 derajat celsius. Arti info ini adalah kecil peluang terjadinya tingkat kegiatan El Nino yang menyamai dan melebihi kondisi gejala alam El Nino terkuat dan terhebat pada 1997/1998.

Menurut prakiraan berbagai pusat iklim negara maju (Amerika, Australia, Jepang, Korea, Inggris) yang disebut ”Ensemble Forecast for Sea Surface Temperature over Pacific Ocean (Nino 3,4), El Nino 2014 menunjukkan kecenderungan kondisi normal hingga lemah. Hal ini ditunjukkan oleh naiknya suhu 0,5-1 derajat celsius di kawasan ekuator Samudra Pasifik Tengah. Demikian pula dengan sistem peredaran udara global Bumi, mengindikasikan El Nino tidak akan secara penuh terjadi.

Ulasan sementara yang mungkin dapat disajikan adalah gejala alam El Nino 2014, kalaupun ada, tidak akan berdampak seperti kejadian gejala alam El Nino mulai 1982/1983 hingga gejala alam El Nino 2007/2008. Pada gejala El Nino ”normal”, yang terjadi antara lain pada akhir musim hujan ada peningkatan curah hujan dan langsung memasuki awal musim kemarau yang maju 1 dasarian (10 hari) hingga sebulan.

Pola yang umum

Umumnya untuk Indonesia musim kemarau dimulai di Indonesia bagian tengah (seperti beberapa kawasan di Provinsi Kaltim, Sulsel, dan NTB) pada akhir bulan Maret yang selanjutnya kurang hujan hingga akhir tahun dengan awal musim hujan mundur 1 hingga beberapa dasarian.

Tahun 2014 ini kondisi musim kemarau masih wajar atau normal, bahkan curah hujan meningkat. Di beberapa lokasi seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, serta Jakarta dan sekitarnya (Jawa Barat) jelang medio Juni 2014 terjadi badai/puting beliung dengan curahan di atas 100 mm/hari. Tanggal 13 Juni 2014, misalnya, kantor BMKG Kemayoran mengukur curah hujan 126 mm/hari.

Sehari sebelumnya di kawasan Bintaro dan Jakarta Selatan serta kawasan Majalengka, Jawa Barat, terjadi puting beliung. Terjadinya badai atau masih giatnya curah hujan dengan curah hujan tinggi di beberapa lokasi di wilayah Indonesia menunjukkan bahwa arus udara turun sebagai konsekuensi kurangnya indikasi gejala alam El Nino.

Indikasi lainnya adalah rendahnya kebakaran lahan dan hutan kecuali pada awal tahun di kawasan Riau dan Sumatera Utara yang kering bulan Februari 2014. Namun, sejak Mei hingga Juli ini belum terdengar informasi bahaya kebakaran lahan.

Dengan demikian, secara menyeluruh kondisi musim kemarau yang normalnya memang kurang hujan—bahkan di Jakarta dan sekitarnya bisa disebut kemarau basah—bahkan pada pertengahan tahun 2014 terjadi curahan hujan di atas 100 milimeter dan hadir angin kencang/badai maupun badai guntur yang dalam tiga hari berurutan, bisa disimpulkan bahwa belum terjadi fenomena El Nino di Indonesia.

Hujan badai

Mengapa terjadi hujan dan badai? Dari penjelasan sebelumnya telah diprakirakan bahwa sistem angin musim atau monsun panas daratan Asia kurang giat akibat tekanan udara yang relatif tinggi. Akibatnya bibit badai tropis dan badai tropis belum terbentuk, termasuk di kawasan utara wilayah Indonesia. Ini karena kondisi tekanan udara belahan utara yang seharusnya rendah dan menarik aliran dari belahan bumi selatan ternyata masih normal.

Di sisi lain, kawasan barat dan selatan wilayah Indonesia, khususnya Samudra India, suhu laut masih hangat. Kondisi ini telah melahirkan beberapa kondisi tekanan yang selanjutnya menimbulkan daerah pertemuan angin yang selanjutnya menumbuhkan awan badai dan hujan lebat. Ini yang kini masih terus berlangsung sejak tahun 2010. Saat itu, tahun 2010 memiliki musim kemarau terpendek dalam sejarah musim kemarau dihitung sejak tahun 1961. Musim kemarau pendek terus terjadi tiap tahun, termasuk 2014.

Musim kemarau 2013 untuk kawasan Jawa bagian barat mulai berlangsung sekitar bulan Juli. Kondisi ini terkait dengan periode kurang giatnya sang sumber energi, yaitu radiasi matahari, sehingga terjadi keragaman cuaca dan iklim. Bukan hanya di wilayah Indonesia, melainkan juga di kawasan lain Bumi.

Benarkah muka Bumi kini memasuki periode pendinginan yang berasal dari kurang giatnya radiasi sang Surya? Para ahli cuaca, iklim, dan kelautan dunia, khususnya dari Badan Kelautan dan Atmosfer Amerika NOAA, telah memperkenalkan suatu indeks kondisi suhu muka laut kawasan Samudra Pasifik yang disebut sebagai indeks PDO (Pacific Decadal Oscillation/Osilasi Dekade Pasifik).

Apabila nilai PDO positif—terkait dengan naiknya suhu muka laut Samudra Pasifik 20 derajat Lintang Utara hingga wilayah Kutub—umumnya nilai ini selaras dengan periode hangat atau hadirnya gejala alam El Nino.

Sementara nilai indeks negatif mengindikasikan kondisi sebaliknya atau hadirnya gejala alam La Nina. Dalam indeks PDO telah ditemukan adanya siklus 20-30 tahunan. Misalnya pada siklus 1900-1922 yang belum diberi nama, dengan kondisi periode sedikit hangat karena tiap bulan hingga tahun dengan PDO positif meski ada cukup banyak nilai indeks PDO negatif.

Siklus 1923-1949 merupakan periode hangat dengan dominasi indeks PDO positif; 1950- 1980 periode dingin dengan dominasi PDO negatif, tetapi ada PDO positif periode 1961-1967; kemudian periode hangat dengan dominasi indeks PDO positif dan periode 1988-1990 indeks PDO negatif.

Periode terkini adalah 1998-2014 (belum lengkap 20 tahun) yang disebut dengan periode hilatus dengan dominasi PDO negatif, tetapi periode 2002-2004 dan 2007 indeks PDO negatif. Untuk bagian akhir ini, dengan dominasi PDO negatif atau periode dingin, sepertinya kondisi indeks PDO negatif akan berlanjut.

Dengan demikian, sekiranya gejala El Nino 2014 giat, tidak akan sama dengan kondisi alam lingkungan dari kondisi El Nino yang terjadi sejak 1982/1983 hingga yang terakhir 2007/2008. Sepertinya situasi musim kemarau bersamaan dengan kejadian El Nino 2014 yang cenderung basah kuyup bagi daerah dengan curah hujan tinggi dan musim kemarau kering sedang dan akan berlangsung.

Selama daratan Asia belum giat dengan curah hujan dan berdampak pada terjadinya banjir, banjir bandang, dan tanah longsor, dan kawasan sekitar utara wilayah Indonesia belum melahirkan badai tropis, berarti fenomena El Nino belum muncul.

Yang akan terjadi di Indonesia hari-hari ini adalah kondisi curah hujan, badai, badai guntur, meski di sebagian kawasan memasuki kondisi kemarau. Semoga catatan perkembangan udara (cuaca dan iklim) sekilas ini memperjelas situasi bersamaan dengan datangnya pemimpin baru di Indonesia tercinta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar