Senin, 14 Juli 2014

Ancaman Kutukan Belenggu Koalisi

                          Ancaman Kutukan Belenggu Koalisi

Asmadji As Muchtar  ;   Dosen pascasarjana UII Yogyakarta,
Wakil Rektor III Unsiq Wonosobo, Jawa Tengah
SINAR HARAPAN, 11 Juli 2014
                                                


Setelah memilih calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), kini rakyat dihadapkan kepada ancaman kutukan belenggu koalisi. Jika pemenang pemilihan presiden (pilpres) nanti betul-betul terbelenggu koalisi yang mendukungnya, sangat mungkin pemerintahan yang dibentuknya mirip dengan pemerintahan sebelumnya, serbalambat dan banyak kementerian yang berkinerja sangat buruk.

Ancaman belenggu koalisi tersebut tampaknya sangat jelas membayangi capres-cawapres nomor 1. Ini karena di berbagai kesempatan telah melontarkan rencana memberikan kursi menteri ke sejumlah ketua partai politik (parpol) dan pihak-pihak tertentu yang mendukungnya.

Sementara itu, capres-cawapres nomor 2 dari jauh-jauh hari sudah tegas menolak belenggu koalisi. Dalam hal ini, partai-partai yang mendukungnya konon tidak membebani syarat harus memperoleh jatah kursi menteri kalau berhasil menang pilpres.

Namun, penegasan capres-cawapres nomor 2 yang menolak belenggu koalisi bisa saja tetap tidak akan membebaskannya dari ancaman belenggu koalisi. Sebagai contoh, partai-partai yang mendukungnya berubah sikap dan mengancam menarik dukungannya di parlemen sehingga stabilitas politik bisa goncang, kecuali mereka diberi jatah kursi menteri.

Layak dicermati, dalam ranah politik, perubahan sikap partai memang bisa saja terjadi. Pepatah bilang, pagi tahu sore tempe. Sebelum pilpres bisa saja partai-partai bersedia berkoalisi tanpa syarat, tapi setelah pilpres, bisa jadi syarat baru muncul untuk mempertahankan koalisi.

Bisa juga koalisi tanpa syarat sebelum pilpres hanya strategi untuk meraup dukungan rakyat yang berharap pemerintahan berikutnya betul-betul bebas dari belenggu koalisi. Hal demikian bukan mustahil dalam ranah politik. Seperti premis klasik: tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Padahal, kepentingan bisa berubah-ubah setiap saat.

Kutukan Multipartai

Ancaman belenggu koalisi akan selalu membayangi setiap pemerintahan yang dihasilkan pilpres selama sistem multipartai berlaku. Karena itu, siapa pun yang menang pilpres akan kesulitan membentuk pemerintahan yang efektif dan solid karena keberagaman anggota kabinet pasti sulit ditertibkan.

Dalam hal ini, sistem multipartai bisa menjelma menjadi kutukan bagi pemenang pilpres yang didukung kekuatan koalisi yang terdiri atas sejumlah partai. Ini seperti yang terjadi sejak era Reformasi, pemerintahan yang selalu tidak efektif dan kurang solid menjadi fakta dan realitas yang sulit diubah karena komposisi kabinet tetap saja berasal dari multipartai.

Jika kita ingin menepis ancaman belenggu koalisi, hanya ada satu jalan, yakni mengubah sistem multipartai menjadi sistem dua partai saja. Sayang sekali, hal ini dianggap mustahil oleh banyak pihak di negeri ini.

Harus diakui, banyak pihak menganggap mustahil mengubah sistem multipartai karena memang diuntungkan olehnya. Lebih konkretnya, semua elite politik pasti mendukung penuh multipartai karena sistem itulah yang membuat mereka bebas mendirikan partai baru kalau partai lama dianggap sudah tidak sesuai dengan kepentingan politiknya.

Dengan kata lain, kutukan multipartai adalah risiko politik yang harus diterima bangsa ini selama jajaran elite politik mendukung penuh sistem multipartai. Di titik ini, kepentingan politik mereka menjadi jelas tidak untuk bangsa dan negara,

tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Konkretnya, jika mereka ingin menjadi ketua partai (agar selanjutnya berpotensi menjadi menteri), keinginannya itu akan mudah terpenuhi selama sistem multipartai tetap berlaku.

Pertobatan Politik

Jika ada pertanyaan, siapakah yang mampu menepis ancaman belenggu koalisi sebagai kutukan sistem multipartai? Jawabnya, siapa lagi kalau bukan presiden pemenang pilpres.

Jika pemenang pilpres nanti memang betul-betul ingin membangun pemerintahan yang efektif dan solid, ia harus berani menjadi pemimpin yang menghapus sistem multipartai. Dalam hal ini, regulasi yang menjadi dasar berlakunya sistem multipartai harus diubah atau diganti dengan regulasi baru untuk mendasari sistem dwipartai.

Dengan kata lain, jika sistem multipartai layak dianggap hanya mengabadikan kutukan koalisi atau bisa dianggap sebagai dosa politik, selayaknya segera ditobati secara politik. Artinya, pemenang pilpres nanti layak mengajak semua pihak, terutama jajaran elite politik, melakukan pertobatan politik agar bangsa dan negara kita tidak terus-menerus menjadi korban kutukan politik, berupa belenggu koalisi.

Pertobatan politik harus dimaknai sebagai pencerahan politik menuju sistem dwipartai atau meninggalkan sistem multipartai untuk selama-lamanya.

Merujuk data empiris di sejumlah negara, pertobatan politik di negara kita tentu bukan hal yang mustahil. Tampilnya dua capres dalam pilpres adalah fakta politik baru. Berdasarkan dua koalisi partai-partai yang bisa terjadi, sistem dwipartai pasti bisa terwujud pula.

Jika pertobatan politik sudah bisa dilakukan, sistem dwipartai bisa diwujudkan. Jadi, pilpres-pilpres berikutnya pasti menghasilkan pemenang yang mampu membangun pemerintahan yang efektif dan solid, tanpa dibayang-bayangi belenggu koalisi lagi. Ini sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara maju.

Dengan demikian, selayaknya pemenang pilpres berani mengajak semua pihak bersiap-siap melakukan pertobatan politik sebagai upaya menepis ancaman kutukan belenggu koalisi yang identik dengan pemerintahan korup sebagai efek domino sistem multipartai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar