Wakaf Budaya, Belajar dari Sosok Umar Kayam
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan; Tinggal
di Yogyakarta
|
KOMPAS,
14 November 2015
Keteladanan masih jadi
krisis laten bangsa kita. Tumbangnya otoritarianisme dan munculnya demokrasi
liberal tak otomatis disertai kemunculan tokoh-tokoh nasional yang layak
dijadikan panutan secara nilai, etik, dan moral.
Dunia politik, hukum,
dan ekonomi paling jeblok dalam soal keteladanan. Sementara dunia kebudayaan
masih lumayan melahirkan tokoh-tokoh teladan. Umar Kayam (1932-2002),
misalnya, tokoh yang turut membangun berdirinya Orde Baru, tetapi kemudian
bersikap kritis dan memilih posisi di luar kekuasaan dan mewakafkan
keilmuannya melalui jalur pendidikan dan kebudayaan.
Membangun kultur
Di jagat seni dan
budaya,Umar Kayamlayak disebut sebagai tokoh yang memiliki spirit
filantropik. Dengan ide-idenya yang cerdas, kaya, dan tajam, budayawan dan
sastrawan itu meneguhkan betapa pentingnya bangsa ini melakukan transformasi
budaya menjadi bangsa yang modern, berbasis budaya tradisi, plural, dan civilized. Atau bangsa yang berakar
budaya, terbuka, memiliki etika, etos tinggi, dan dignity.
Umar Kayam tidak
terobsesi jadi orang kaya. Dalam kesederhanaan hidupnya, ia gigih bergelut
dengan ide-ide besarnya tentang budaya dan masyarakat. Ia membuka ruang-ruang
kemungkinan bagi seni budaya Indonesia untuk terus mencari, bereksplorasi,
menemukan nilai-nilai baru dan segar sehingga terhindar dari stagnasi dan
involusi (jalan di tempat). Selaku Direktur Jenderal Radio dan TV, ia
mendorong lahirnya film-film bermutu, berkarakter keindonesiaan, dan
inspiratif. Ini antara lain ditandai dengan lahirnya film-film Sjumandjaja,
Nya Abbas Akub, Arifin C Noer, Ami Priyono, dan lainnya.
Aktif di dalam Dewan
Kesenian Jakarta, pada tahun 1970-an Umar Kayam juga turut membangun kultur
kreatif Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta yang berdampak pada lahirnya
pementasan berkualitas karya para maestro seni: Rendra, Arifin C Noer, Putu
Wijaya, Sardono W Kusumo, dan lainnya. Umar Kayam pula yang menjadikan TIM
tidak elitis. Koes Plus, Srimulat, lenong dan wayang orang, wayang kulit
punturut di dalam derap kreativitas di TIM.
Di Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, tempat ia mengajar, ia merintis pasar seni yang mempertemukan
budaya kampus dengan budaya urban perkotaan dan budaya desa. Pasar seni ala
Kayam ini turut menginspirasi berbagai festival di banyak kota.Ia pun selalu
membuka lebar Pusat Studi Kebudayaan UGM yang dipimpinnya, bagi semua orang,
lintas ilmu, lintas sosial, lintas agama, lintas budaya untuk berinteraksi
melahirkan kemajemukan gagasan.
Kepribadian solider
Sosok yang memiliki
kepribadian solider ini dikenal sebagai pribadi yang terbuka, toleran,
menjunjung kemajemukan, dan loma
(murah hati). Ia suka memberi ilmu-pengetahuan dan atensi yang hangat kepada
teman- temannya. Ia pun suka mentraktir makan yang enak-enak. Tanpa memandang
suku, agama, kelas sosial, dan aliran politik, ia menjadi mentor bagi banyak
orang.
Tak hanya itu, Umar
Kayam juga membuka akses bagi para seniman untuk melakukan mobilitas
vertikal-kultural. Banyak seniman besar lahir dari lingkaran pergaulan Umar
Kayam. Untuk semua kontribusi besar itu—ini yang mengagumkan—ia tak pernah
merasa berjasa atau main klaim, apalagi melakukan kooptasi. Semua yang ia
lakukan dianggap sebagai kewajaran hidup atau kewajiban atas sesama sekaligus
investasi nilai bagi perkembangan kebudayaan masyarakat. Kerendahan hati dan
keikhlasan justru membikin ketokohan Umar Kayam semakin besar. Sikap ini
tecermin pada pemikiran tokoh Lantip dalam novelnya, Para Priyayi (1992).
Umar Kayam adalah
pribadi yang melampau dirinya baik sebagai sosiolog, budayawan, maupun
sastrawan. Ia menjalani takdirnya sebagai cendekiawan yang berani bertarung
memperjuangkan nilai-nilai kebenaran (etika, logika, estetika, dan saintika)
yang memiliki resonansi kemanusiaan dan kemasyarakatan, bahkan bangsa.
Bagi Umar Kayam, ilmu
tidak bebas nilai. Ilmu harus diorientasikan untuk membangun nilai-nilai
ideal kehidupan agar manusia, masyarakat mendapat ruang bernapas, hak hidup,
hak berkebudayaan, hak mewujudkan cita-cita sosial, hak memiliki martabat,
dan hak untuk sejahtera. Karena itu, bagi Umar Kayam, ukuran cendekiawan
bukan hanya kecakapan keilmuan, keterampilan teknis, tetapi yang utama juga
komitmen, integritas, dan dedikasi. Ini yang menghindarkan cendekiawan dari
sekadar tukang, orang suruhan.
Berkaca pada Umar
Kayam, cendekiawan semestinya tidak sekadar pintar (kecerdasan akal), tetapi
juga lantip (kecerdasan terkait orientasi sosial, kultural)dan waskita
(kecerdasan terkait dengan nilai-nilai spiritual). Kepintaran atau kecerdasan
akal hanya menitikberatkan pada hitungan-hitungan rasional, apa yang
menguntungkan dan tidak menguntungkan. Cendekiawan yang hanya memiliki
kepintaran tak lebih dari pemburu kesempatan, peluang (oportunis) demi
kepemilikan kebendaan. Maka, cendekiawan harus lantip dan waskita sehingga
mampu mengorientasikan diri pada kebenaran, kebaikan kolektif (masyarakat),
dan mampu memiliki horizon nilai lebih luas terkait spiritualitas.
Digusur pragmatisme
Negeri ini cenderung
didominasi para cendekiawan pintar, tetapi kurang atau bahkan tidak memiliki
”kelantipan” dan ”kewaskitaan”. Pada awalnya para cendekiawan pintar itu
berapi-api memperjuangkan kepentingan publik, tetapi setelah berkuasa mereka
mendadak berubah menjadi pemburu kekuasaan dan harta. Sifat lantip dan
waskita digusur pragmatisme yang menganggap sesuatu menjadi bernilai jika
memiliki kegunaan praktis, jangka pendek, dan instan.
Para politikus, para
penyelenggara negara, para penguasa ekonomi, para penegak hukum, ada baiknya
berguru pada Umar Kayam yang berani mewakafkan kemampuan dirinya untuk
kemanusiaan, masyarakat, kebudayaan, dan peradaban bangsa. Syaratnya, harus
berani hidup sederhana, mengasah visi kultural, sosial, politik, ekonomi,
lebih mengutamakan idealisme daripada pragmatisme, memiliki spirit
filantropik, beretika dan beretos tinggi, toleran, humanis, dan mampu
melahirkan karya-karya sosial, kultural.
Untuk apa jadi tokoh jika
selama kariernya hanya cari popularitas dan menumpuk harta? Sejarah akan
menguji integritas, komitmen, dan kapabilitas Anda dalam peran
sosial-politik-kultural di negeri ini. Apakah Anda hanyalah politikus
oportunistik danmencla-mencle atau negarawan? Sebaiknya Anda terus-menerus
menggugat diri. Rakyat menunggu keteladanan Anda! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar