Sabtu, 14 November 2015

Pahlawan Nasional

Pahlawan Nasional

James Luhulima  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 14 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 5 November lalu, Presiden Joko Widodo memimpin acara penobatan lima orang dari berbagai latar belakang sebagai pahlawan nasional. Kelima orang itu adalah Ki Bagus Hadikusumo, I Gusti Ngurah Made Agung, Komisaris Jenderal (Purn) Moehammad Jasin, Mas Isman, dan Bernard Wilhelm Lapian.

Menurut aturan yang ada, pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia (WNI), atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI) yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan serta kemajuan bangsa dan negara.

Proses penobatan lima orang sebagai pahlawan nasional itu berlangsung lancar karena kelima tokoh dinilai berjasa melawan penjajah Belanda. Sebagai penjajah, Belanda itu adalah musuh bersama bangsa Indonesia pada masa lalu. Dengan demikian, orang yang berjasa besar dalam memerangi penjajah akan dilihat sebagai pahlawan oleh seluruh bangsa Indonesia. Itu sebabnya, jika peran dan jasa seseorang itu jelas dan diketahui banyak orang, proses menuju penobatan sebagai pahlawan nasional berjalan mulus.

Situasinya menjadi lain ketika seseorang yang akan dinobatkan sebagai pahlawan itu adalah seseorang yang memiliki peran atau jasa yang besar dalam membela negara terhadap perlawanan dari dalam karena yang dilawan adalah bangsa sendiri.

Dalam situasi seperti itu, konteks politik dan waktu menjadi hal yang sangat penting. Bisa saja suatu kelompok yang pada masa lalu dianggap sebagai musuh yang harus diperangi kini tidak lagi dianggap sebagai musuh, baik itu karena kebijakan politik yang berubah maupun karena alasan-alasan lain. Dengan demikian, seseorang yang tadinya dianggap pahlawan karena peran dan jasanya kini menjadi tidak relevan.

Keadaan seperti itu terjadi saat mendiang presiden kedua RI, Soeharto, dan mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo diusulkan menjadi pahlawan nasional. Sewaktu ada yang mengusulkan hal itu, langsung mendapatkan tentangan dari para aktivis hak asasi manusia (HAM).

Perlukah gelar itu?

Pertanyaannya, kemudian, perlukah Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo dinobatkan sebagai pahlawan nasional? Pertanyaan ini sengaja diajukan karena yang perlu mendapatkan gelar pahlawan nasional adalah seseorang yang belum mendapatkan ”pengakuan” atas peran dan jasa yang disumbangkan bagi bangsa dan negara, atau dengan kata lain, peran dan jasanya belum dicatat oleh sejarah.

Soeharto telah mendapatkan ”pengakuan” atas perjuangan yang dilakukannya. Bukan itu saja, ia menduduki jabatan sebagai Presiden RI selama lebih dari 30 tahun. Ia sempat mendapatkan gelar sebagai Bapak Pembangunan. Soeharto telah memiliki tempat tersendiri di dalam perjalanan sejarah Indonesia. Sejarah telah mencatat pencapaian Soeharto. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto tidak akan membuat nama Soeharto menjadi lebih besar, dan tidak diberikan gelar pahlawan nasional pun, tidak membuat nama Soeharto menjadi lebih kecil.

Hal yang sama berlaku bagi Sarwo Edhie Wibowo. Sejarah telah mencatat peran dan jasanya ketika mengatasi gerakan G30S. Saat membicarakan peristiwa G30S tahun 1965, nama Sarwo Edhie Wibowo tidak dapat dipisahkan dari peristiwa itu.

Peran dan jasa Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo, untuk menyebut beberapa, sangat terikat oleh konteks politik dan waktu. Memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo pada saat ini tidaklah tepat karena konteks politiknya sudah berubah. Memaksakan untuk memberikan gelar pahlawan nasional hanya akan ”mengerdilkan” peran mereka pada masa lalu. Oleh karena usul itu pasti akan mendapat tentangan keras dari aktivis HAM dan orang-orang yang mengalami dampak buruk dari peran dan jasa mereka pada masa lalu.

Posisi presiden pertama RI, Sukarno, pun lebih kurang sama dengan Soeharto dan Sarwo Edhie Wibowo. Nama Sukarno tidak dapat dipisahkan dari sejarah berdirinya NKRI. Selain presiden pertama RI (1945-1967), bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sukarno telah diberi gelar sebagai Proklamator Kemerdekaan RI.

Namun, ketika pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada yang mengusulkan untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Sukarno, tidak sedikit yang mempertanyakannya. Misalnya, Sukarno selama ini disangka terlibat G30S sehingga sebelum diberikan gelar pahlawan nasional, statusnya perlu diperjelas dulu, bersalah atau tidak. Atau, Sukarno bukankah sudah diberi gelar sebagai Proklamator Kemerdekaan RI, apakah pemberian gelar pahlawan nasional itu tidak justru memperkecil perannya? Mereka menganggap gelar proklamator itu jauh lebih besar daripada sekadar pahlawan nasional.

Namun, pertanyaan-pertanyaan itu tidak membuat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ragu untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Sukarno dan Hatta menjelang peringatan Hari Pahlawan tahun 2012. Waktu juga yang menunjukkan bahwa nama Sukarno tidak menjadi lebih besar karena diberikan gelar pahlawan. Bahkan, kini, banyak orang yang tak mengetahui bahwa Sukarno telah memperoleh gelar pahlawan nasional tiga tahun lalu.

Bagi banyak orang, Sukarno dikenal sebagai pejuang kemerdekaan, proklamator, dan Presiden RI yang pertama. Begitu pula dengan Soeharto dan Sarwo Edhie, peran dan jasa mereka telah dicatat oleh sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar