Terima Kasih
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 01 November 2015
Waktu saya SMP (pada 1950-an), Bu Mul, guru bahasa Indonesia
saya, mengajarkan untuk berkata ”terima kasih” kepada seseorang yang sudah
membantu kita atau berbuat kebaikan kepada diri kita; dan orang itu
seharusnya menjawab ”terima kasih kembali” atau cukup ”kembali” saja.
Bu Mul berpesan agar jangan sekali-sekali mengatakan ”terima
kasih, ya” karena ungkapan itu tidak sopan. Kata ”ya” di belakang setiap kata
dianggap ditujukan kepada pihak yang lebih rendah atau untuk merendahkan.
Misalnya, kepada anak kecil kita mengatakan, ”Jangan duduk di sini, ya,”
tetapi kepada orang dewasa, apalagi yang patut dihormati, kita akan mengatakan,
”Mohon untuk tidak duduk di sini.”
Tapi, hari ini, generasi sekarang biasa saja mengucapkan ”terima
kasih, ya” atau kalau mau lebih sopan, ”ya”-nya dipanjangkan ”terima kasih,
yaaaa”, dan jawabannya ”iyaaaa”, makin panjang ”iya”-nya makin bagus. Masih
di zaman saya SMP. Bu Narti, guru bahasa Inggris saya, mengajarkan bahwa
dalam bahasa Inggris ungkapan rasa terima kasih dinyatakan dalam kata-kata
”thank you ” dan jawabannya ”you’re welcome ” atau ”welcome ” saja.
Sekarang orang Inggris atau Amerika masih mengucapkan ”thank
you”, tetapi jawabannya macam-macam, bisa ”OK ”, ”all right ”, ”any time ”,
”yup ” atau yang lainnya. Jelas, bahasa berubah seiring perubahan zaman
sepanjang masa. Yang dulu dianggap kurang sopan, sekarang dianggap
biasa-biasa saja. Jadi ada perubahan dalam rasa berbahasa. Saya sebagai orang
dulu sering merasa risi mendengar orang berkata ”terima kasih, ya” dan
mendengar jawabannya ”yaaa”.
Tapi apa daya saya seorang melawan gelombang perubahan yang
begitu dahsyat. Namun yang lebih menggalaukan adalah perubahan makna yang
sangat signifikan dari kata-kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Makna kata-kata tersebut bisa menyimpang 180 derajat dan makin tersebar luas
karena digunakan tanpa kontrol melalui media massa (terutama TV).
Contoh kata ”armada” yang aslinya biasa dipakai di kalangan
angkatan laut dan artinya adalah sekumpulan atau sejumlah kapal perang yang
beroperasi di bawah satu komando. Satu armada bisa terdiri atas, misalnya, 10
kapal perang. Jadi kalau ada 10 armada, seluruhnya ada 100 kapal perang.
Tetapi sekarang armada dikenakan juga pada bus Transjakarta dan perusahaan
taksi atau moda transportasi lain dengan makna yang sudah berubah sama
sekali.
Kalau misalnya dikatakan ”pemerintah telah menyiapkan 10 armada
truk TNI untuk mengangkut para pengungsi ke tempat yang lebih aman”, yang
dimaksud adalah hanya 10 truk, bukan 100 truk, karena arti armada di sini
adalah unit (satuan) truk, bukan kumpulan dari satuan seperti dimaksudkan
dalam ”Komando Armada Indonesia Kawasan Timur” dari TNI AL. Alangkah
berbedanya antara 10 dan 100.
Contoh lain, orang sekarang sering menggunakan istilah ”tolak
ukur” yang maksudnya adalah standar ukuran tertentu. Padahal arti yang
sebenarnya dari kata ”tolak” adalah mendorong (misalnya beramairamai menolak
mobil mogok) atau menyangkal, tidak membenarkan, tidak mau menerima
(misalnya, beramai-ramai menolak RUU Anti-KPK), jadi tidak tepatlah kalau
kita menggunakan kata ”tolak” kalau yang dimaksud adalah standar. Istilah
yang tepat adalah ”tolok ukur”.
Pernah melihat petugas PU (Pekerjaan Umum) mengukur jarak antara
dua titik di jalanan? Seorang petugas mengintai dari balik alat seperti kamera,
sedangkan seorang lagi memegangi tonggak yang bertuliskan angka-angka.
Petugas pertama mengarahkan ”kamera”-nya ke tonggak untuk mengukur jarak
antara ”kamera” dan tonggak.
Tonggak inilah yang dinamakan tolok. Nantinya tolok ukur itu
akan ditanam di sepanjang jalan (misalnya: jalan tol) dengan jarak tertentu
dan digunakan oleh pengemudi untuk menentukan posisinya berapa jauh lagi dia
dari kota tujuan. Inilah yang dinamakan ”tolok ukur”.
Pada tahun 1972-1973, saya kuliah di Universitas Edinburgh,
Skotlandia (Inggris). Setiap hari Sabtu, untuk membuang waktu, saya suka
mengunjungi suami-istri Indonesia, Om Tom dan Tante Siu (keduanya sudah
almarhum), yang sudah bermukim di Edinburgh entah berapa lama.
Om Tom adalah seorang dokter ahli radiologi, lulusan Fakultas
Kedokteran Universitas Edinburgh, tetapi beliau minta pensiun dini dan lebih
suka membantu istrinya, Tante Siu, berdagang batu akik (orang Inggris
ternyata gemar batu akik juga). Kata Om Tan, lebih senang jualan batu akik di
toko istrinya karena kerjanya santai, tetapi duitnya lebih banyak, daripada
kerja di rumah sakit.
Om Tan dan Tante Siu memang lancar berbahasa Indonesia, tetapi
mereka mengaku sulit sekali membaca koran karena terlalu banyak singkatan dan
kata-kata baru, yang tidak bisa dicari keterangannya di kamus.
Istilah-istilah seperti ABRI, Korpri, Pramuka, Persit (Persatuan Istri
Tentara), dan masih banyak lagi, belum pernah didengar atau dibacanya ketika
mereka masih di Indonesia.
Padahal bahasa adalah alat komunikasi. Dasarnya adalah
kesepakatan bersama tentang arti suatu simbol (bisa bunyi, bisa huruf). Buat
orang Jawa kata ”gedang” berarti pisang dan ”atos” berarti keras, sedangkan
buat orang Sunda ”gedang” adalah pepaya dan ”atos” berarti sudah. Bagaimana
dengan kata-kata ”boil”, ”woles”, ”ciyus”, ”OTW”, ”BTW”, ”asber”, atau ”GTH”?
Saya jamin 90% dari pembaca, tidak peduli berasal dari etnik mana, tidak
mengerti arti kata-kata itu.
Bagaimana orang akan berkomunikasi jika tidak saling mengerti
makna kata-kata yang digunakan? Di era netizen sekarang ini, ”terima kasih”
akan ditulis ”tks” atau ”mks” (makasih) atau ”thx” (thanks ) saja. Tidak ada
basa-basi lagi, tidak perlu kesantunan lagi. Kalau guru-guru SMP saya, Bu Mul
dan Bu Narti, masih hidup sekarang, beliau-beliau pasti kebingungan melihat
tata-krama orang sekarang. Sungguh dahsyat pengaruh teknologi terhadap
perilaku dan budaya manusia. Terima kasih, yaaaa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar