Kamis, 05 November 2015

Terima Kasih

Terima Kasih

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 01 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Waktu saya SMP (pada 1950-an), Bu Mul, guru bahasa Indonesia saya, mengajarkan untuk berkata ”terima kasih” kepada seseorang yang sudah membantu kita atau berbuat kebaikan kepada diri kita; dan orang itu seharusnya menjawab ”terima kasih kembali” atau cukup ”kembali” saja.

Bu Mul berpesan agar jangan sekali-sekali mengatakan ”terima kasih, ya” karena ungkapan itu tidak sopan. Kata ”ya” di belakang setiap kata dianggap ditujukan kepada pihak yang lebih rendah atau untuk merendahkan. Misalnya, kepada anak kecil kita mengatakan, ”Jangan duduk di sini, ya,” tetapi kepada orang dewasa, apalagi yang patut dihormati, kita akan mengatakan, ”Mohon untuk tidak duduk di sini.”

Tapi, hari ini, generasi sekarang biasa saja mengucapkan ”terima kasih, ya” atau kalau mau lebih sopan, ”ya”-nya dipanjangkan ”terima kasih, yaaaa”, dan jawabannya ”iyaaaa”, makin panjang ”iya”-nya makin bagus. Masih di zaman saya SMP. Bu Narti, guru bahasa Inggris saya, mengajarkan bahwa dalam bahasa Inggris ungkapan rasa terima kasih dinyatakan dalam kata-kata ”thank you ” dan jawabannya ”you’re welcome ” atau ”welcome ” saja.

Sekarang orang Inggris atau Amerika masih mengucapkan ”thank you”, tetapi jawabannya macam-macam, bisa ”OK ”, ”all right ”, ”any time ”, ”yup ” atau yang lainnya. Jelas, bahasa berubah seiring perubahan zaman sepanjang masa. Yang dulu dianggap kurang sopan, sekarang dianggap biasa-biasa saja. Jadi ada perubahan dalam rasa berbahasa. Saya sebagai orang dulu sering merasa risi mendengar orang berkata ”terima kasih, ya” dan mendengar jawabannya ”yaaa”.

Tapi apa daya saya seorang melawan gelombang perubahan yang begitu dahsyat. Namun yang lebih menggalaukan adalah perubahan makna yang sangat signifikan dari kata-kata yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Makna kata-kata tersebut bisa menyimpang 180 derajat dan makin tersebar luas karena digunakan tanpa kontrol melalui media massa (terutama TV).

Contoh kata ”armada” yang aslinya biasa dipakai di kalangan angkatan laut dan artinya adalah sekumpulan atau sejumlah kapal perang yang beroperasi di bawah satu komando. Satu armada bisa terdiri atas, misalnya, 10 kapal perang. Jadi kalau ada 10 armada, seluruhnya ada 100 kapal perang. Tetapi sekarang armada dikenakan juga pada bus Transjakarta dan perusahaan taksi atau moda transportasi lain dengan makna yang sudah berubah sama sekali.

Kalau misalnya dikatakan ”pemerintah telah menyiapkan 10 armada truk TNI untuk mengangkut para pengungsi ke tempat yang lebih aman”, yang dimaksud adalah hanya 10 truk, bukan 100 truk, karena arti armada di sini adalah unit (satuan) truk, bukan kumpulan dari satuan seperti dimaksudkan dalam ”Komando Armada Indonesia Kawasan Timur” dari TNI AL. Alangkah berbedanya antara 10 dan 100.

Contoh lain, orang sekarang sering menggunakan istilah ”tolak ukur” yang maksudnya adalah standar ukuran tertentu. Padahal arti yang sebenarnya dari kata ”tolak” adalah mendorong (misalnya beramairamai menolak mobil mogok) atau menyangkal, tidak membenarkan, tidak mau menerima (misalnya, beramai-ramai menolak RUU Anti-KPK), jadi tidak tepatlah kalau kita menggunakan kata ”tolak” kalau yang dimaksud adalah standar. Istilah yang tepat adalah ”tolok ukur”.

Pernah melihat petugas PU (Pekerjaan Umum) mengukur jarak antara dua titik di jalanan? Seorang petugas mengintai dari balik alat seperti kamera, sedangkan seorang lagi memegangi tonggak yang bertuliskan angka-angka. Petugas pertama mengarahkan ”kamera”-nya ke tonggak untuk mengukur jarak antara ”kamera” dan tonggak.

Tonggak inilah yang dinamakan tolok. Nantinya tolok ukur itu akan ditanam di sepanjang jalan (misalnya: jalan tol) dengan jarak tertentu dan digunakan oleh pengemudi untuk menentukan posisinya berapa jauh lagi dia dari kota tujuan. Inilah yang dinamakan ”tolok ukur”.

Pada tahun 1972-1973, saya kuliah di Universitas Edinburgh, Skotlandia (Inggris). Setiap hari Sabtu, untuk membuang waktu, saya suka mengunjungi suami-istri Indonesia, Om Tom dan Tante Siu (keduanya sudah almarhum), yang sudah bermukim di Edinburgh entah berapa lama.

Om Tom adalah seorang dokter ahli radiologi, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Edinburgh, tetapi beliau minta pensiun dini dan lebih suka membantu istrinya, Tante Siu, berdagang batu akik (orang Inggris ternyata gemar batu akik juga). Kata Om Tan, lebih senang jualan batu akik di toko istrinya karena kerjanya santai, tetapi duitnya lebih banyak, daripada kerja di rumah sakit.

Om Tan dan Tante Siu memang lancar berbahasa Indonesia, tetapi mereka mengaku sulit sekali membaca koran karena terlalu banyak singkatan dan kata-kata baru, yang tidak bisa dicari keterangannya di kamus. Istilah-istilah seperti ABRI, Korpri, Pramuka, Persit (Persatuan Istri Tentara), dan masih banyak lagi, belum pernah didengar atau dibacanya ketika mereka masih di Indonesia.

Padahal bahasa adalah alat komunikasi. Dasarnya adalah kesepakatan bersama tentang arti suatu simbol (bisa bunyi, bisa huruf). Buat orang Jawa kata ”gedang” berarti pisang dan ”atos” berarti keras, sedangkan buat orang Sunda ”gedang” adalah pepaya dan ”atos” berarti sudah. Bagaimana dengan kata-kata ”boil”, ”woles”, ”ciyus”, ”OTW”, ”BTW”, ”asber”, atau ”GTH”? Saya jamin 90% dari pembaca, tidak peduli berasal dari etnik mana, tidak mengerti arti kata-kata itu.

Bagaimana orang akan berkomunikasi jika tidak saling mengerti makna kata-kata yang digunakan? Di era netizen sekarang ini, ”terima kasih” akan ditulis ”tks” atau ”mks” (makasih) atau ”thx” (thanks ) saja. Tidak ada basa-basi lagi, tidak perlu kesantunan lagi. Kalau guru-guru SMP saya, Bu Mul dan Bu Narti, masih hidup sekarang, beliau-beliau pasti kebingungan melihat tata-krama orang sekarang. Sungguh dahsyat pengaruh teknologi terhadap perilaku dan budaya manusia. Terima kasih, yaaaa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar