Kamis, 05 November 2015

Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Serapah

Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Serapah

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 25 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada suatu malam sehabis The Prof Band ngamen di lapangan Monas, dalam rangka memeriahkan salah satu acara panggung rakyat yang digelar Pemprov DKI, kami anak-anak band, campuran antara profesor dan profesional, bergerak menuju mobil yang diparkir di halaman Lemhannas.

Pas lampu hijau dipenyeberangan Jalan Merdeka Selatan menyala, kami maju untuk menyeberang. Sebagian dengan memanggul alat musik masing-masing. Saya sendiri menggotong saksofon tenor saya yang lumayan berat. Tapi pas sampai di tengah penyeberangan, sebuah sepeda motor yang ditumpangi dua orang (yang nyopir cowok, yang bonceng cewek) melaju kencang memotong jalan kami yang jelas-jelas di tengah jalur zebra (zebra cross).

Karena kaget beberapa anggota band berteriak, termasuk saya sendiri, ”Hooi!” Tapi Mas Suresh, pemain bas kami (dia prof juga, tetapi bukan profesor melainkan profesional), yang kebetulan sedang memegang gelas Aqua yang masih penuh, secara refleks melempar motor itu dengan gelas Aqua. Terdengar suara ”glotak” yang keras sekali. Rupanya peluru ”torpedo” Mas Suresh tepat kena sasaran.

Kami semua berhenti untuk menunggu apa yang akan terjadi (untung sudah malam sehingga lalu lintas sepi dan lampu penyeberangan masih hijau untuk kami). Ternyata si pengendara motor tidak terima dan menghentikan motornya, turun dari motornya dan menghampiri kami dengan sikap menantang.

Melihat hal itu, Mas Suresh juga meletakkan gendongan bas elektriknya yang berat itu dan berjalan menghampiri si pemotor yang ukurannya setengah badannya Mas Suresh. Beruntung peristiwa ini tidak sampai menimbulkan korban jiwa karena pemotor yang relatif mungil itu ditahan-tahan oleh perempuan yang memboncengnya (kami tidak sempat menanyakan bagaimana status mereka berdua). Yang jelas, sepertinya bukan tukang ojek dan penumpangnya.

Betul, memang kejadian yang menimpa rombongan pemusik para profesor ini adalah peristiwa kecil, peristiwa biasa yang setiap hari terjadi, apalagi di Jakarta. Tapi pada bulan November 1980, sebuah pertengkaran antara seorang pemuda Tionghoa dan seorang mahasiswa Jawa dari Universitas 11 Maret di Solo berubah menjadi kerusuhan rasial yang memakan korban banyak jiwa dan menyebar ke antero Jawa Tengah, bahkan sudah hampir menyeberang ke Jawa Barat.

Demikian pula kerusuhan etnik di Kalimantan Barat, dipicu oleh peristiwa senggolan antara pemuda Melayu dan Madura di pergelaran dangdutan dalam acara perkawinan di Kota Sanggau Ledo. Akibat senggolan, si Madura mengeluarkan badik dan robohlah dua orang pemuda Melayu. Maka tersiarlah kabar burung bahwa dua korban penusukan (Melayu) tadi tewas dalam perjalanan ke RS.

Dampak dari berita burung itu, pemuda-pemuda dari Kampung Melayu (yang oleh orang Madura di Kalimantan Barat dianggap sebagai ”kerupuk” karena nggak berani melawan kalau diapa-apain) menyerbu perkampungan Madura dan sejak itu pecahlah perang etnik yang berkepanjangan di Kalbar, yang dimulai tahun 1997, tetapi belum selesai seluruhnya hingga tahun 2012 (?).

Begitu juga kerusuhan di Ambon dan Maluku Utara (1999-2004) yang berasal dari persoalan antarpribadi yang berkembang menjadi konflik sektarian yang menimbulkan banyak korban jiwa. Pertanyaan kita, sebagai bangsa Indonesia yang biasanya sopan santun dan peka terhadap orang lain, kok bisa terjebak sumpah serapah yang mengganggu perasaan orang lain, yang bisa memicu konflik?

Bukan sekadar konflik antarpribadi, melainkan konflik yang kemudian berkembang dan membesar sehingga mengancam eksistensi NKRI. Republik Indonesia jadi terancam terpecah belah berdasarkan etnik atau agama atau golongan, sementara pada 1928 para pendiri bangsa ini sudah meletakkan dasar-dasar NKRI dengan ”Soempah Pemoeda”. Soempah Pemoeda itu sendiri sebenarnya adalah pengerucutan dari Kebangkitan Nasional 1908.

Setelah sekian ratus bangsa ini berjuang sendiri- sendiri dan melahirkan begitu banyak pahlawan daerah, tetapi tidak juga kunjung merdeka, pada era Budi Oetomo timbullah kesadaran untuk bersama- sama bangkit sebagai bangsa, yang 20 tahun kemudian dikonkretkan dalam Soempah Pemoeda dan pada tahun 1945 diwujudkan dalam Proklamasi Kemerdekaan.

Namun, setelah NKRI diproklamasikan, langsung terjadi perpecahan. Di antara penandatangan akta Soempah Pemoeda ada nama RM Kartosuwiryo, teman seperguruan Bung Karno yang sama-sama murid HOS Tjokoraminoto, tetapi pada 1949 Kartosuwiryo justru memproklamasikan NII (Negara Islam Indonesia) melawan NKRI yang akhirnya ditumpas oleh Bung Karno pada tahun 1962.

Namun dampaknya masih ada sampai sekarang dalam bentuk radikalisme Islam dan terorisme. Selain itu ada lagi seorang murid HOS Cokroaminoto yang lain, Semaun, yang kemudian menjadi pendiri Partai Komunis Indonesia. Jika dia tidak dibuang ke Belanda oleh Pemerintah Belanda pada waktu itu, saya rasa ia pun akan menghadiri Kongres Pemoeda II 1928 yang monumental itu, walaupun kita tahu bahwa pada 1948 dan 1965 dua kali terjadi pemberontakan oleh PKI melawan NKRI.

Jadi, memang untuk menegakkan, mengamalkan, dan mengabadikan Soempah Pemoeda bukan barang mudah. Sumpah satu bangsa, satu nusa dan satu bahasa Indonesia terancam tercabik-cabik antarkepentingan dan ideologi masingmasing seperti kasus Tolikara dan Singkil (agama), kerusuhan Jakarta 1998 (rasial) atau tawuran pilkada (golongan), termasuk juga makin banyaknya penggemar McD, Doraemon, dan K-Pop yang merupakan invasi budaya ke Indonesia.

Lebih mudah sekarang orang bersumpah serapah ketimbang bersumpah pemuda. Tapi dulu, kalau misalnya rombongan The Prof Band menyeberang di Jalan Merdeka Selatan dan ada sepeda (dulu belum ada motor) memotong mendadak, maka tidak akan ada botol air teh (dulu belum ada Aqua) terlempar dan sumpah serapah. Yang ada adalah seruan Sumpah Pemuda, ”Merdeka,” dari para profesor yang dijawab dengan lebih semangat lagi oleh pengendara motor, ”Merdeka juga!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar