Penunjukan Langsung pada Tender
Proyek Infrastruktur
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan
Publik UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 09 November 2015
PEMERINTAH berencana menerbitkan peraturan
presiden (perpres) tentang proyek strategis nasional.Dalam perpres tersebut
akan diatur agar pemerintah memiliki kekuasaan menunjuk langsung (tanpa
proses lelang) investor swasta untuk mengerjakan proyek-proyek fisik yang
strategis secara nasional. Diperkirakan, perpres itu sudah akan diterbitkan
pekan ini. Selanjutnya terungkap data bahwa ada sekitar 220 proyek
infrastruktur yang ditawarkan pemerintah dalam perpres tersebut, yang
direncanakan bakal dibangun hingga 2019 (Media
Indonesia, 5/11/2015).
Di satu pihak, kita bisa memahami betapa
pemerintah seakan `geregetan' dengan lambatnya belanja pemerintah (government budget disbursement) tahun
ini yang menyebabkan pemerintah tidak berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi
secara optimal. Belanja pemerintah memang mulai naik pada triwulan III-2015,
tetapi itu belum cukup menolong. Pertumbuhan ekonomi memang sedikit naik,
dari 4,67% (triwulan II) menjadi 4,73% (triwulan III). Namun, itu masih jauh
di bawah target pertumbuhan 2015 sebesar 5,7%. Bahkan, untuk mencapai target
5% sekalipun, hal itu tampaknya hampir pasti sulit dicapai.
Karena alasan itulah tampaknya pemerintah
berusaha secara `habis-habisan' (all
out) agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi 2016 lebih tinggi. Caranya?
Belanja modal (capital expenditure)
pemerintah terbesar ialah membangun infrastruktur.
Pada RAPBN 2016, belanja infrastruktur
dicanangkan Rp300 triliun. Itu jumlah yang signifikan.Namun masalahnya,
bagaimana pemerintah bisa dengan mulus membelanjakannya? Berdasarkan
pengalaman selama ini, pemerintah selalu kesulitan untuk membelanjakannya.
Ada banyak kendala dalam pembelanjaan
infrastruktur. Hal yang paling sering menjadi alasan ialah kesulitan
membebaskan lahan.Fakor berikutnya ialah proses tender yang panjang. Untuk
hal yang pertama, hal ini bisa dipahami karena pada dasarnya menentukan harga
tanah wajar tidaklah mudah.Setidaknya, dalam praktik dapat ditemukan tiga
harga tanah. Pertama ialah harga dasar (floor
price).Pada harga yang dipatok rendah inilah biasanya orang mengklaim
harga tanahnya untuk membayar pajak. Pemilik tanah umumnya mengaku harga
tanahnya rendah jika hal itu dipakai sebagai dasar untuk membayar pajak tanah
dan bangunan (PBB).
Kedua ialah harga pasar (market price). Inilah titik tertinggi harga tanah yang menjadi
titik temu antara harga yang diinginkan oleh penjual (supplier) dan harga yang diinginkan oleh pembeli (demander). Harga ini dalam banyak
kasus sedemikian tinggi, terutama jika tanahnya berada pada lokasi yang
strategis (prime location).
Ketiga ialah harga yang dipakai dasar bagi
pemerintah untuk menarik pajak, disebut nilai jual objek pajak (NJOP). Titik
ini sebenarnya bisa disebut sebagai `kompromi' yang dilakukan pemerintah dari
kedua kutub harga dasar dan harga pasar. Jika pemerintah menetapkan NJOP sama
dengan harga dasar, pemerintah akan rugi karena pajak yang dipungut bakal
rendah atau tidak optimal. Namun, jika NJOP ditetapkan sebesar harga pasar
(yang berarti tinggi, sesuai ekuilibrium pasar), banyak pemilik tanah dan
bangunan akan berusaha keras untuk menghindar dari pajak.Kerepotan lain
ialah, jika harga NJOP terlalu tinggi, pemerintah juga akan menemui kesulitan
ketika membebaskan tanah untuk keperluan pembangunan, misalnya untuk
penyediaan infrastruktur.
Situasi ini hingga kini terus berlanjut.
Ketika pemerintah berusaha membebaskan tanah, terjadilah sengketa; pemerintah
maunya menggunakan NJOP yang sudah dianggap moderat, sementara pemilik tanah
ngotot berpegang pada harga pasar yang notabene lebih tinggi daripada NJOP.
Karena itu, bagi pemerintah, membebaskan lahan merupakan masalah terbesar
yang terus menghantui.
Kesulitan lain ialah proses tender
infrastruktur yang panjang, yang kadang tidak menghasilkan pemenang.Jika ini
yang terjadi, tender pun harus diulang. Jika waktunya tidak cukup, proyek
tersebut harus diundur ke tahun anggaran berikutnya (menjadi proyek carry over).
Titik krusial inilah yang mungkin hendak
diatasi dengan upaya penunjukan langsung proyek-proyek infrastruktur. Tentu
saja kebijakan ini menjadi kontroversial. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
lang sung bereaksi, bahwa `jangankan penunjukan langsung, melalui proses
tender yang ketat pun proyek infrastruktur selalu rawan terjadinya tindak
korupsi' (Media Indonesia, 7/11/2016).
Wakil Presiden Jusuf Kalla berkilah bahwa
proyek-proyek yang akan diberi fasilitas penunjukan langsung akan melalui
proses seleksi yang ketat, tidak sembarang proyek diizinkan. Namun. tetap
saja hal ini akan menimbulkan celah moral
hazard. Justru Presiden dan Wakil Presiden akan kerepotan karena mereka
mungkin akan dilibatkan dalam proses seleksi, proyek apa saja yang layak dan
diizinkan untuk tidak ditenderkan. Ini malah akan menambah beban kerja
Presiden dan Wapres karena nantinya komite seleksi ujung-ujungnya harus minta
`payung' perlindungan hukum kepadanya. Pasti Presiden dan Wapres akan didudukkan
sebagai steering committee, yang
ujung-ujungnya malah merepotkan.
Menurut saya, sebaiknya proyek-proyek
infrastruktur tetap harus melalui tahapan tender seperti biasa. Jika proyek
tersebut semakin strategis, semakin membutuhkan kemampuan dan kapasitas besar
oleh kontraktornya, maka peserta tender pun akan mengerucut ke jumlah yang
kecil. Hanya kontraktor yang besar yang bisa memenuhi syarat tender, misalnya
dari sisi kapasitas finansial dan pengalamannya.
Dari jumlah yang kecil itu, tidak tertutup kemungkinan
pesertanya hanya satu. Ini hal yang bisa saja terjadi karena telah terjadi
proses seleksi alamiah. Jika peserta hanya satu, tidak berarti tender harus
diulang. Pemerintah tetap perlu `memelototi' proposalnya, dengan bantuan
konsultan independen untuk menilainya.
Pemerintah tetap perlu berhati-hati
menyeleksinya secara objektif.Hingga hari ini pun saya masih belum bisa
mengerti, bagaimana kereta cepat (bullet
train), atau mungkin setengah cepat, bakal dibangun di segmen
Jakarta-Bandung. Saya menduga kelayakannya agak dipaksakan. Karena di Jepang,
kereta shinkansen terbentang melalui kota-kota beesar seperti Tokyo,
Yokohama, Nagoya, Kyoto, dan Osaka. Di Tiongkok, kereta besar membentang antara
dua kota terbesar yang berpenduduk sama-sama 30 juta orang, yakni Shanghai
dan Beijing.
Adapun rute Jakarta-Bandung yang jaraknya cuma
120 km, kota-kota sebesar apa yang bakal dilalui? Bekasi? Cikarang? Kedua
kota itu sangat tidak meyakinkan untuk dapat menunjang kelayakan ekonomi rute
Jakarta-Bandung. Mungkin baru 25 tahun ke depan rute ini bakal layak, tetapi
belum sekarang. Semua itu harus dihitung dengan cermat, tidak bisa
dipaksakan. Kadang-kadang diperlukan intuisi, tentunya intuisi ekonomi yang
baik untuk membuat keputusan (judgement)
layak-tidaknnya sebuah proyek.
Sudah jelas Jakarta-Bandung tidaklah memiliki
karakteristik sebagaimana yang dimiliki Jepang atau Tiongkok seehingga
kelayakan `kereta peluru' pantas dipertanyakan. Namun kenyataannya, proyek
kereta Jakarta-Banndung bakal tetap dilaksanakan juga, dengan alasan
`business to business'' alias `tidak membebani APBN'. Namun, benarkah begitu?
Saya sangat meragukannya. Jangan-jangan itu
cuma retorika alias wishful thinking.
Kembali ke soal bebas tender untuk proyek
infrastruktur, saya harap pemerintah berhati-hati. Atau paling aman, tidak perlu
melakukannya. Serahkan saja urusan ini kepada pasar; biarkan tender biasa
berlangsung. Bahwa selama ini proyek infrastruktur terhambat, pemerintah perlu
mencari solusi lain. Berdasarkan analisis tentang adanya tiga versi harga
tanah, mau tidak mau secara realistis pemerintah harus merogoh kocek lebih
dalam agar tanah dapat dibebaskan. Bukan dengan cara membebaskan proses
tender bagi proyek-proyek tertentu, yang justru akan mengundang praktik moral haazard.
Saya belum dapat diyakinkan bahwa moral hazard adalah perilaku yang
mudah dipadamkan dalam perekonomian Indonesia. Saya kok tidak percaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar