Paradoks Sekolah Lima Hari
Junaidi Abdul Munif ; Direktur el-Wahid Center, Semarang
|
MEDIA
INDONESIA, 09 November 2015
SEKOLAH di Indonesia selama ini berlangsung
enam hari, dari Senin sampai Sabtu, kendati ada sekolah-sekolah swasta yang menerapkan
lima hari. Pun dengan hari kerja para orangtua, sama dengan hari sekolah.
Kita melihat bahwa anak-anak di Indonesia seperti disibukkan dengan belajar
secara formal di sekolah atau lembaga pendidikan nonformal. Dengan sekolah
enam hari, anak-anak masih dituntut les pada sore dan malam hari. Itu
dilakukan karena dirasa anak belum bisa memahami sepenuhnya materi pelajaran
di sekolah.
Dari situ muncul fenomena betapa berharganya
hari Minggu sebagai libur yang akan disambut anak-anak dengan gembira. Terlebih
tanggal merah (hari libur) tidak terjadi pada Minggu, terutama pada akhir
pekan. Minggu sering disebut hari keluarga karena pada hari itu anak dan
orangtua bisa memiliki waktu bersama sehari penuh yang dimanfaatkan untuk
liburan, jalan-jalan, atau menghadiri kondangan.
Karena itu, muncul wacana sekolah lima hari
sebagaimana ada juga kerja lima hari. Sebagai wacana, sekolah lima hari akan
selalu menarik. Asumsinya ialah meski berlangsung enam hari, pelajar masih
melaksanakan pelajaran tambahan, seperti les pelajaran atau bakat-minat yang
tidak difasilitasi sekolah siswa bersangkutan.
Ekstrakurikuler yang diselenggarakan dirasa
belum cukup membuat anak mempunyai kemampuan yang mumpuni sesuai dengan bakat
dan minatnya.
Salah satu pemerintah daerah yang coba
menerapkan sekolah lima hari ialah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Dia
mengeluarkan Surat Edaran bernomor 420/006752/2015 tentang Penyelenggaraan
Pendidikan pada Satuan Pendidikan di Jawa Tengah. Pelaksanaan dilakukan pada
SMA dan SMK di Jawa Tengah. Meskipun bukan paksaan, kebijakan itu menuai
kontroversi, bahkan ada kelompok masyarakat yang menolaknya. Sekolah lima
hari yang ditawarkan Ganjar Pranowo belum menemukan formulasi yang baku.
Wacana sementara masih menggunakan kurikulum lama, hanya waktu belajar
diperpanjang sampai pukul 16.00 WIB. Tidak lupa dengan pemenuhan hak-hak
pelaksanaan ibadah dan pengajaran agama seperti sekolah fullday yang banyak diterapkan sekolah-sekolah swasta.
Sekolah sore
Pelaksanaan sekolah lima hari bertentangan dengan
kebiasaan masyarakat, terutama di perdesaan. Faktanya, ada sekolah sore
(madrasah diniah) di bawah LP Ma’arif NU, ataupun TPQ (taman pendidikan Alquran)
yang diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat yang tidak bisa kita
sampingkan. Itu masih ditambah anak-anak mengaji di masjid atau di musala selepas
salat magrib.
Di kompleks perumahan pun banyak TPQ yang
biasanya menggunakan teras masjid sebagai tempat belajar. Ini menunjukkan
semakin tingginya kesadaran masyarakat tentang pendidikan agama untuk
anak-anak. Yang patut cukup disesalkan, kesadaran itu hanya dilakukan untuk anak-anak
usia SD. Setelah menginjak usia SMP dan SMA, mereka tidak lagi belajar di TPQ
atau madrasah diniah. Padahal,
pembelajaran agama untuk anak usia SD di TPQ dan madin hanya bersifat pengenalan dasar agama.
Sekolah sore pada masyarakat perdesaan ialah
soal kultur yang berjalan turun-temurun, menjadi identitas dalam melaksanakan
moda pendidikan agama. Peran masyarakat seperti itu mesti diapresiasi dan
dihormati pemerintah karena membantu penyelenggaraan pendidikan agama di
Indonesia. Di perdesaan, akan mudah kita temukan ustaz atau guru agama yang
ikhlas mengajar di madrasah tanpa bayaran, semata demi menjaga keberlangsungan
pendidikan agama Islam di masyarakat. Gedung pun dibangun dari hasil swadaya
masyarakat dengan bantuan desa atau anggaran pemerintah.
Kalau alasan sekolah lima hari bertujuan
memajukan pendidikan karakter, yaitu agar anak memiliki waktu lebih banyak
dengan keluarga, perlu kita kaji lagi.
Pendidikan karakter bukan hanya bisa dipenuhi
keluarga. Banyak aspek yang bisa menjadi medium pendidikan karakter. Salah
satunya interaksi dengan orang-orang di lingkungan anak. Sekolah sore
memungkinkan anakanak bergaul dengan teman-temannya yang beda sekolah pada
pagi hari.
Pendidikan karakter tidak hanya bersumber dari
keluarga, tapi juga nilai-nilai agama yang diajarkan di sekolah diniyah dan
TPQ. Nilai-nilai agama tidak semata berkaitan dengan ubudiah, tapi juga pelajaran akhlak (etika, budi pekerti) pada
orangtua, masyarakat, dan negara. Sekolah lima hari dari pagi sampai sore
akan mengambil jam dan kesempatan anak-anak belajar di sekolah agama atau
sekolah sore.
Penyamaan hari libur
Sekolah pagi dan sore selama ini seolah
berjalan sendiri-sendiri dengan peraturan dan kebijakan masing-masing.
Misalnya, soal pemilihan hari libur yang berbeda antara sekolah pagi dan
sore. Sekolah pagi menjadikan Minggu sebagai hari libur, mengikuti kalender
Masehi dan pemerintah. Sementara itu, madrasah diniah sore biasanya mengambil libur Jumat sore karena merupakan
hari umat Islam.
Faktor ini sedikit banyak membuat sebagian
anak-anak ada `malas' sekolah sore karena waktu mereka bebas sekolah hanya
setengah hari. Dengan waktu sekolah seperti ini, anak hanya punya waktu luang
sekolah pada Jumat sore dan Minggu pagi. Itu pun jika sekolah pagi tidak meng
gelar ekstrakurikuler pada Jumat sore. Artinya, Jumat sore yang semestinya
bisa jadi hari libur, tetap diisi dengan kegiatan di sekolah pagi. Betapa
sibuknya anak-anak dengan kegiatan sekolah.
Kalau memang alasan anak dekat dengan keluarga
penting, perlu adanya kesesuaian waktu antara sekolah pagi dan sekolah sore.
Terutama kesamaan hari masuk dan libur. Dalam hal ini, sekolah diniah sore
yang mengambil hari libur Jumat sore bisa menggantinya dengan menetapkan
Minggu sebagai hari libur. Sebagaimana banyak MI, MTs, dan MA di bawah
Kementerian Agama yang menjadikan Minggu sebagai hari libur. Hal ini
bertujuan mengantisipasi kalau sekolah pagi akan menyelenggarakan kegiatan
pada Minggu, misalnya karya wisata.
Kita patut khawatir, ketika anak sekolah lima
hari, Sabtu dan Minggu justru digunakan untuk liburan ke luar kota. Pasalnya,
sekolah lima hari, dari pagi sampai sore, telah menyita banyak waktu anak-anak
sehingga liburan akhir pekan akan mendapatkan pembenarannya. Orangtua dan
anak yang bekerja dan sekolah lima hari sama-sama akan menyambut akhir pekan
dengan gembira. Anak-anak akan berpotensi membolos sekolah sore selama dua
hari karena liburan keluarga ini.
Dengan sekolah lima hari, anak-anak mungkin
akan menjadi lebih dekat dengan keluarga. Namun, itu mesti dibayar mahal
dengan ketidakdekatan anak-anak dengan lingkungan. Pendidikan karakter
semestinya bergerak pada ranah keluarga, lingkungan, masyarakat, serta agama.
Integrasi ketiganya akan mencetak generasi muda yang nasionalis-religius. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar