Jumat, 07 Februari 2014

Seleksi Hakim MA yang Profesional

Seleksi Hakim MA yang Profesional

Binsar Gultom   ;   Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palembang dan Pascasarjana Universitas Bengkulu
KOMPAS,  07 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
PENDAPAT hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 yang menyatakan kewenangan DPR dalam seleksi calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial hanya bersifat ”menyetujui” atau ”menolak” telah bertentangan kembali dengan Pasal 24A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.

Isi pasal itu: ”Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebut bahwa DPR dapat ”menolak” calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial seperti sekarang terjadi.

Bias dan tak tegas

Putusan Mahkamah Konstitusi ini bias dan tidak tegas: memberi ruang gerak bagi Komisi III DPR ”menolak” mentah-mentah tiga calon hakim agung (Suhardjono, Maria Anna Samiyati, dan Sunarto) yang disodorkan KY.

Dulu penulis kagum akan terobosan putusan MK yang bersifat final. Namun, setelah melihat banyak ketidakkonsistenan atas putusan itu, penulis jadi sadar dan sekarang harus mengusulkan agar putusan MK tak boleh bersifat final. Dalam hal-hal yang sangat luar biasa dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK), seperti layaknya sistem yang berlaku di Mahkamah Agung.

Pencantuman istilah ”menolak” dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadikan DPR, selain Komisi Yudisial, berwenang menilai atau menyeleksi kembali calon hakim agung. Mestinya kewenangan DPR sebagaimana diatur Pasal 24A Ayat 3 UUD 1945 hanya ”menyetujui”, yakni merekomendasikan nama yang diusulkan KY untuk mendapat keputusan presiden. Ini dapat dimaklumi karena jabatan hakim agung adalah jabatan profesi dan jabatan karier, bukan jabatan politis.

Turun ke lapangan

Untuk mendapatkan figur hakim agung yang profesional, Komisi Yudisial adalah pihak yang dipercayakan konstitusi mencari embrio hakim agung. Oleh karena itu, hemat penulis, mulai sekarang menjadi tugas dan tanggung jawab Komisi Yudisial sedini mungkin inspeksi, turun ke lapangan, membuat pangkalan data seluruh hakim di Indonesia mulai dari peradilan tingkat pertama hingga banding.

Tujuannya adalah untuk mengetahui integritas, prestasi/kemampuan, keadaan keluarga, situasi kesehatan, keberanian, dan kejujuran para hakim. Penelusuran data ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan Komisi Yudisial akan mutu hakim.
Dengan mekanisme turun ke lapangan, kesan bahwa rekrutmen hakim agung seperti membuka lapangan kerja bagi pelamar yang berminat menjadi hakim agung tidak terjadi lagi.

Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung telah bisa menjemput bola kandidat hakim agung dimaksud sejak dini. Tak boleh lagi terjadi hanya karena yang bersangkutan lolos seleksi secara instan, lantaran hasil ujian seleksinya saat itu bagus, kemudian dinyatakan lulus dan diterima menjadi hakim. Di sisi lain, kemampuan teknis peradilan, mental, dan moral, sesungguhnya yang bersangkutan belum siap menjadi hakim agung.

Akan lebih komprehensif lagi manakala mekanisme rekrutmen calon hakim agung melibatkan langsung Mahkamah Agung sebagai pihak yang turut serta melakukan seleksi awal di bidang kompetensi dan kemampuan teknis peradilan para hakim di seluruh Indonesia sebelum calon hakim agung tersebut dikirim kepada KY. Bukankah Mahkamah Agung yang lebih tahu rekam jejak hakim-hakim itu?

Kurang pas

Selama ini terkesan Mahkamah Agung hanya mengirim daftar nama calon hakim agung kepada Komisi Yudisial. Mereka berasal dari Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi melalui persetujuan ketua pengadilan tinggi.

Berdasarkan pengalaman penulis ketika mengikuti seleksi calon hakim agung periode 2012 hingga lulus tahap wawancara di tingkat Komisi Yudisial, seleksi yang dilakukan Komisi Yudisial selama ini menyangkut kemampuan teknis peradilan kurang pas. Oleh karena itu, seyogianya menyangkut kemampuan teknis peradilan uji kepatutan diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Muda MA sesuai dengan bidang masing-masing kamar pidana, perdata, tata usaha negara, agama, dan militer.

Setelah  Mahkamah Agung melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk kemampuan teknis peradilan,  barulah Mahkamah Agung mengirimkan tiga nama kandidat hakim agung (untuk kebutuhan satu orang hakim agung yang dipandang layak menjadi hakim agung) kepada Komisi Yudisial untuk kembali dilakukan uji kelayakan oleh Komisi Yudisial.

Dari penilaian Komisi Yudisial yang ketat ini, kemudian nama-nama kandidat tersebut disaring lagi oleh Komisi Yudisial menjadi satu orang sesuai kebutuhan hakim agung untuk satu orang calon hakim agung (1:1), kemudian baru diteruskan kepada DPR (vide putusan Mahkamah Konstitusi).

Fungsi DPR di sini hanya untuk mendapat persetujuan terhadap nama-nama kandidat yang dikirimkan oleh Komisi Yudisial. Kemudian DPR mengirimkan nama tersebut kepada presiden untuk diangkat dan ditetapkan sebagai hakim agung berdasarkan Surat Keputusan Presiden (vide Pasal 24A Ayat 3 UUD 1945).

Karena hakim agung itu user dari Mahkamah Agung, sangat logis jika uji kelayakan di bidang teknis peradilan diserahkan kepada Mahkamah Agung. Jika seleksi hakim agung  hanya melibatkan Komisi Yudisial tanpa pelibatan Mahkamah Agung, terlebih setelah DPR telah dibatasi kewenangannya hanya memberikan ”persetujuan” atas calon yang diusulkan Komisi Yudisial, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Komisi Yudisial, dapat diprediksikan bahwa Komisi Yudisial akan kewalahan mencetak kader-kader hakim agung yang kredibel, kapabel, dan profesional.

Terlebih sekarang fungsi Komisi Yudisial telah bertambah, yakni untuk memilih calon hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakim agung dan hakim konstitusi yang ”takut akan Tuhan” dan profesional di bidang kompetensi peradilan, Komisi Yudisial sangat memerlukan kerja sama yang solid antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar