Seleksi
Hakim MA yang Profesional
Binsar Gultom ; Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Palembang dan
Pascasarjana Universitas Bengkulu
|
KOMPAS,
07 Februari 2014
PENDAPAT hukum putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 yang menyatakan kewenangan DPR dalam seleksi
calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial hanya bersifat ”menyetujui” atau ”menolak” telah bertentangan kembali dengan Pasal 24A ayat 3 Undang-Undang
Dasar 1945.
Isi pasal itu: ”Calon hakim agung diusulkan Komisi
Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai hakim agung oleh Presiden”.
Berdasarkan ketentuan
tersebut, tidak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebut
bahwa DPR dapat ”menolak” calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi
Yudisial seperti sekarang terjadi.
Bias dan tak tegas
Putusan Mahkamah
Konstitusi ini bias dan tidak tegas: memberi ruang gerak bagi Komisi III DPR ”menolak”
mentah-mentah tiga calon hakim agung (Suhardjono, Maria Anna Samiyati, dan
Sunarto) yang disodorkan KY.
Dulu penulis kagum
akan terobosan putusan MK yang bersifat final. Namun, setelah melihat banyak
ketidakkonsistenan atas putusan itu, penulis jadi sadar dan sekarang harus
mengusulkan agar putusan MK tak boleh bersifat final. Dalam hal-hal yang
sangat luar biasa dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK),
seperti layaknya sistem yang berlaku di Mahkamah Agung.
Pencantuman istilah
”menolak” dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadikan DPR, selain
Komisi Yudisial, berwenang menilai atau menyeleksi kembali calon hakim agung.
Mestinya kewenangan DPR sebagaimana diatur Pasal 24A Ayat 3 UUD 1945 hanya
”menyetujui”, yakni merekomendasikan nama yang diusulkan KY untuk mendapat
keputusan presiden. Ini dapat dimaklumi karena jabatan hakim agung adalah
jabatan profesi dan jabatan karier, bukan jabatan politis.
Turun ke lapangan
Untuk mendapatkan
figur hakim agung yang profesional, Komisi Yudisial adalah pihak yang
dipercayakan konstitusi mencari embrio hakim agung. Oleh karena itu, hemat
penulis, mulai sekarang menjadi tugas dan tanggung jawab Komisi Yudisial
sedini mungkin inspeksi, turun ke lapangan, membuat pangkalan data seluruh
hakim di Indonesia mulai dari peradilan tingkat pertama hingga banding.
Tujuannya adalah untuk
mengetahui integritas, prestasi/kemampuan, keadaan keluarga, situasi kesehatan, keberanian, dan kejujuran para hakim. Penelusuran data ini
diharapkan dapat memperkaya pengetahuan Komisi Yudisial akan mutu hakim.
Dengan mekanisme turun
ke lapangan, kesan bahwa rekrutmen hakim agung seperti membuka lapangan kerja
bagi pelamar yang berminat menjadi hakim agung tidak terjadi lagi.
Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung telah bisa menjemput bola kandidat hakim agung dimaksud sejak
dini. Tak boleh lagi terjadi hanya karena yang bersangkutan lolos seleksi
secara instan, lantaran hasil ujian seleksinya saat itu bagus, kemudian
dinyatakan lulus dan diterima menjadi hakim. Di sisi lain, kemampuan teknis
peradilan, mental, dan moral, sesungguhnya yang bersangkutan belum siap
menjadi hakim agung.
Akan lebih
komprehensif lagi manakala mekanisme rekrutmen calon hakim agung melibatkan
langsung Mahkamah Agung sebagai pihak yang turut serta melakukan seleksi awal
di bidang kompetensi dan kemampuan teknis peradilan para hakim di seluruh
Indonesia sebelum calon hakim agung tersebut dikirim kepada KY. Bukankah
Mahkamah Agung yang lebih tahu rekam jejak hakim-hakim itu?
Kurang pas
Selama ini terkesan
Mahkamah Agung hanya mengirim daftar nama calon hakim agung kepada Komisi
Yudisial. Mereka berasal dari Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi melalui
persetujuan ketua pengadilan tinggi.
Berdasarkan pengalaman
penulis ketika mengikuti seleksi calon hakim agung periode 2012 hingga lulus
tahap wawancara di tingkat Komisi Yudisial, seleksi yang dilakukan
Komisi Yudisial selama ini menyangkut kemampuan teknis peradilan kurang pas.
Oleh karena itu, seyogianya menyangkut kemampuan teknis peradilan uji kepatutan
diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Muda MA sesuai dengan bidang
masing-masing kamar pidana, perdata, tata usaha negara, agama, dan militer.
Setelah Mahkamah
Agung melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk kemampuan teknis
peradilan, barulah Mahkamah Agung mengirimkan tiga nama kandidat hakim
agung (untuk kebutuhan satu orang hakim agung yang dipandang layak menjadi
hakim agung) kepada Komisi Yudisial untuk kembali dilakukan uji kelayakan
oleh Komisi Yudisial.
Dari penilaian Komisi
Yudisial yang ketat ini, kemudian nama-nama kandidat tersebut disaring lagi
oleh Komisi Yudisial menjadi satu orang sesuai kebutuhan hakim agung untuk
satu orang calon hakim agung (1:1), kemudian baru diteruskan kepada DPR (vide putusan Mahkamah Konstitusi).
Fungsi DPR di sini
hanya untuk mendapat persetujuan terhadap nama-nama kandidat yang dikirimkan
oleh Komisi Yudisial. Kemudian DPR mengirimkan nama tersebut kepada presiden
untuk diangkat dan ditetapkan sebagai hakim agung berdasarkan Surat
Keputusan Presiden (vide Pasal 24A
Ayat 3 UUD 1945).
Karena hakim agung
itu user dari Mahkamah Agung, sangat logis jika uji kelayakan di
bidang teknis peradilan diserahkan kepada Mahkamah Agung. Jika seleksi hakim
agung hanya melibatkan Komisi Yudisial tanpa pelibatan Mahkamah Agung,
terlebih setelah DPR telah dibatasi kewenangannya hanya memberikan
”persetujuan” atas calon yang diusulkan Komisi Yudisial, tanpa mengurangi
rasa hormat saya kepada Komisi Yudisial, dapat diprediksikan bahwa Komisi
Yudisial akan kewalahan mencetak kader-kader hakim agung yang kredibel,
kapabel, dan profesional.
Terlebih sekarang
fungsi Komisi Yudisial telah bertambah, yakni untuk memilih calon hakim
konstitusi di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakim
agung dan hakim konstitusi yang ”takut akan Tuhan” dan profesional di bidang
kompetensi peradilan, Komisi Yudisial sangat memerlukan kerja sama yang solid
antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar