Tri
Dharma PT dan Karier Dosen
Suyono
; Guru Besar Pendidikan Bahasa Indonesia
Fakultas
Sastra Universitas Negeri Malang
|
KOMPAS,
28 Februari 2014
USUL
Hendra Gunawan dari ITB (Kompas, 25/1) agar urutan Tri Dharma Perguruan
Tinggi ditinjau ulang sungguh menarik. Hendra menguraikan bahwa
tugas utama perguruan tinggi (PT) adalah mengembangkan ilmu pengetahuan.
Jadi, pelaksanaan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat merupakan
fungsi lanjutan setelah penelitian dan pengembangan iptek dilaksanakan dengan
baik.
Dengan
pemahaman seperti itu, idealnya pendidikan dan penelitian wajib
berbasis penelitian sehingga urutan Tri Dharma PT yang tepat: penelitian,
pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat. Peninjauan urutan itu
mendesak dilakukan agar perhatian semua pihak terhadap penelitian berubah
sehingga mutu dan produktivitas penelitian meningkat dan pengembangan iptek
di Indonesia dapat dipercepat.
Perubahan
paling awal sehubungan dengan itu adalah
perkuliahan dan pengabdian akan lebih baik karena berbasis riset.
Dengan urutan baru itu, dosen dituntut lebih sering meneliti dengan kualitas
terus meningkat juga. Perlu payung hukum baru mengubah urutan itu: peraturan
menteri atau peraturan presiden.
Tak
ada peraturan perundangan yang dilanggar jika urutan diubah. Memang urutan
tak serta-merta mengubah gairah dan produktivitas penelitian dosen. Namun,
paling tidak ia dapat menciptakan kondisi baru, apalagi jika ada pilihan karier
dosen yang lebih jelas dan terukur sebagai kebijakan lanjutan.
Pada
kebijakan lanjutan itu, misalnya, ada tiga jalur karier dosen yang perlu
dirancang siste- matis dan konsisten sejak awal: dosen peneliti dan pengabdi,
dosen pendidik, dan dosen birokrat. Karena itu, sejak jadi dosen (asisten
ahli), awalannya adalah placement test. Tes ini diberikan setelah diadakan
penjelasan dan simulasi melalui lokakarya di kampus masing-masing. Dengan
tiga jalur itu, proporsi beban satuan kredit semester (SKS) berbeda-beda,
sesuai dengan jenis jalur yang dipilih dosen.
Pindah jalur
Untuk
dosen peneliti dan pengabdi, misalnya, bidang penelitian dan pengabdian
setiap semester minimal 9-10 SKS, perkuliahan 6 SKS. Untuk dosen pendidik,
perkuliahan minimal 9-10 SKS, penelitian dan pengabdian 6 SKS. Untuk dosen
birokrat, perkuliahan dan penunjang minimal 9-10 SKS, penelitian dan
pengabdian 6 SKS. Dengan demikian, jumlah beban SKS setiap dosen, jalur mana
pun yang dipilih, berada pada rentangan 15-16 SKS.
Sebagai
ilustrasi, karena diawali dengan placement test, yang menjadi ketua jurusan,
misalnya, adalah yang hasil tes manajerialnya paling tinggi. Yang jadi dekan,
selain hasil placement test paling
tinggi, harus pernah jadi wakil dekan atau ketua jurusan. Dan seterusnya
sampai ke rektor. Diharapkan kinerja dosen lebih baik, jelas, dan berkualitas
sesuai dengan potensi dan pengalaman masing-masing. Sementara itu, yang jadi
dosen peneliti benar-benar produktif dan karyanya bermutu. Demikian juga yang
menjadi dosen pendidik.
Penjurusan
karier dosen, misalnya, dimulai sejak masa kerja tiga tahun, yakni setelah
dosen memiliki jabatan fungsional terendah, asisten ahli. Saat prajabatan
atau setiap tahun diadakan penjelasan ”penjurusan itu” dan disampaikan oleh
pemimpin. Bisa dan boleh pindah jalur, dengan syarat sudah 3-5 tahun di
jalurnya dan gagal atau tidak produktif dan ada potensi besar di jalur baru.
Namun, yang pindah jalur ke dosen birokrat harus tetap melewati jabatan
terendah: ketua jurusan.
Perlu
dicatat, mengingat formasi jabatan itu sangat terbatas, sekalipun memilih
jalur dosen birokrat, ia belum tentu jadi pejabat. Artinya, tetap ada
kompetisi dan seleksi yang ketat untuk memperoleh pejabat yang terbaik. Hal
itu juga berlaku pada jalur dosen peneliti. Sekalipun memilih jalur dosen
peneliti, belum tentu ia menjadi peneliti andal dan sangat produktif. Namun,
penelitiannya seharusnya lebih banyak daripada dosen yang memilih jalur dosen
pendidik.
Pindah
jalur, selama jadi dosen, paling banyak dilakukan tiga kali, paling cepat
tiga tahun setelah berada di jalur sebelumnya, dan paling lambat 10 tahun
sebelum pensiun. Misalnya, jika dosen (bukan guru besar) pensiun pada usia 65
tahun, semula memilih jalur dosen peneliti dan sangat produktif sampai dengan
usia 50 tahun bisa saja setelah itu ia pindah jalur ke dosen birokrat. Karena
kinerjanya baik, ia terpilih jadi ketua jurusan selama empat tahun. Setelah
itu, di usia 54 tahun terpilih jadi dekan dan karena kinerjanya amat baik
pada usia 58 tahun jadi rektor.
Jadi,
di jalur karier mana pun, setiap dosen mestinya mencapai kinerja terbaik
dengan kesempatan adil untuk semua. Dengan tiga jalur itu, karier dosen lebih
jelas, terukur, dan kinerjanya akan lebih baik karena sistemnya jelas dan
terbuka untuk dipilih, pindah jalur, atau pilihan karier.
Ilustrasi
lebih teknis: ketika pilihannya pejabat, yang berhak untuk dipilih adalah
mereka yang berada di jalur dosen birokrat atau dosen peneliti untuk ketua
lembaga penelitian/pengabdian kepada masyarakat. Dengan kondisi ini pula
kompetisi lebih sehat dan iklim kerja diharapkan juga lebih baik. Berkarier
di jalur dosen peneliti juga menjanjikan.
Yang
kurang menjanjikan adalah yang berkarier di dosen pendidik. Dalam
kenyataannya, memang ada dosen yang ”bakatnya” hanya mengajar dengan sedikit
meneliti dan mengembangkan ilmu. Sementara yang lain sangat berbakat meneliti
dan mengembangkan ilmu, mengajarnya hanya untuk pelengkap.
Sekelompok
lain berbakat jadi birokrat, mengajar dan meneliti sebagai pelengkap.
Kelompok ini tak banyak, sejajar dengan sedikitnya kebutuhan tenaga birokrat.
Jika
tawaran kebijakan ini dipilih, semua terkondisi bekerja maksimal. Tidak
seperti yang terjadi saat ini, yang jadi birokrat mungkin sebagian kurang
sepenuh hati menjalankan tugasnya. Demikian juga yang tanpa tugas tambahan,
sebagian kurang sepenuh hati mengajar dan meneliti karena ketiadaan jalur
karier yang jelas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar