Pesohor
Indra
Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan
|
TEMPO.CO,
25 Februari 2014
Layaknya raja-raja, kini para koruptor pun dikelilingi oleh para
perempuan, termasuk pesohor (selebritas). Dengan uang yang melimpah, para
koruptor mampu membeli kehangatan relasi emosional dari para perempuan
penghibur (penyanyi, foto model, bintang sinetron, dan lainnya), baik yang
sudah punya nama atau pendatang baru.
Motif relasi personal antara pesohor dan koruptor pun
bermacam-macam, dari sebatas teman biasa, hubungan profesional, pacar gelap,
sampai istri simpanan yang dinikahi secara siri. Perbedaan status itu bisa
jadi hanya sekadar predikat untuk konsumsi publik demi menghindar dari stigma
buram. Misalnya, perselingkuhan atau jual-beli jasa seksual. Namun, apa pun
statusnya, para pesohor itu mengaku mendapat guyuran uang dalam jumlah besar,
dari puluhan sampai ratusan juta. Mereka pun mendapatkan barang-barang mewah:
mobil, perhiasan, alat-alat elektronik, rumah, dan lainnya.
Dalam proses hukum, selama ini status mereka baru sebatas saksi.
Mereka masih aman, belum dijerat dengan pasal pencucian uang. Kepada KPK,
mereka pun dengan "suka rela" mengembalikan uang dan barang yang
pernah mereka terima dari koruptor. Uniknya, sambil menyerahkan barang dan
uang itu, mereka memberi pernyataan yang gagah: ikut gigih melawan korupsi.
Tak jarang, layaknya pengkhotbah agama, mereka pun berbicara tentang
pentingnya moralitas, etika, dan norma.
Relasi intim antara pesohor dan koruptor bukan hal baru. Dalam
masyarakat tradisional, para pesohor yang dikenal sebagai ledhek (perempuan
penghibur) sudah biasa menjalin relasi emosional dengan para penguasa dari
kelas demang, tumenggung, adipati, patih, sampai raja. Mereka ada yang
dijadikan gundik oleh penguasa.
Tradisi relasi ledhek-penguasa ekonomi dan politik itu mengalami
transformasi dalam era modern. Ledhek menjelma menjadi selebritas/pesohor
berhabitat dunia industri hiburan (budaya pop/massa). Mereka menjadi
kelangenan publik dan para pemilik otoritas di berbagai lembaga
pemerintah/negara. Mereka memasuki kehidupan jet-set layaknya para sosialita.
Mereka bisa menjalin hubungan intim dengan orang-orang parlemen, birokrat,
hakim, jaksa, polisi, dan pengusaha. Otomatis, mereka pun tumbuh dan besar
dalam atmosfer kelas menengah, akibat cipratan rezeki yang berupa uang dan
akses.
Hedonisme menjadi ideologi yang mengatur dan menentukan langgam
hidup mereka.
Gaya hidup serba mewah demi pelampiasan hedonisme akhirnya
memakan diri dan integritas para pesohor. Biaya hidup yang sangat tinggi
mengendurkan prinsip-prinsip moral, sehingga mereka menjadi permisif terhadap
iming-iming dari para koruptor. Kehormatan pun digadaikan demi meraih
kemewahan. Mereka dengan sadar memposisikan para koruptor sebagai sponsor
bagi pemuasan hedonismenya.
Mereka baru kaget dan malu ketika para pemberi uang dan barang
yang selama ini dikenal sebagai orang baik itu ternyata tak lebih dari
pemangsa uang negara. Mereka pun sibuk cuci nama dengan berbagai pernyataan
yang intinya menjelaskan bahwa, terhadap para koruptor, hubungan mereka
netral tanpa kepentingan. Namun, hukum dan penegak hukum (KPK) tidak gampang
dibohongi. Hukum mestinya tidak meletakkan mereka sebagai korban, melainkan
pihak atau orang yang turut menikmati hasil perampokan uang negara. Jika,
terbukti bersalah, para pesohor hitam ini layak dihukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar