Peneliti
untuk Industri
Djoko
Sulistyono ; Peneliti
pada Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri
|
REPUBLIKA,
24 Februari 2014
Berbicara tentang akademisi
tidak akan terlepas dengan pembicaraan tentang peneliti. Keduanya sama-sama
bergerak dalam research and development
(R and D). Oleh karena itu, adanya kedekatan antara peneliti dan akademisi
harus mulai dilakukan, dan akan semakin pas lagi jika sinergitas dilakukan dengan
pihak industri, berada langsung di bawah pembinaan pemerintah.
Dengan menyikapi hal itu,
akan sangat menarik pemberitaan pada Harian Republikayang berjudul
"Pengelolaan Perguruan Tinggi Butuh Kementerian Baru". Hal ini
dikatakan oleh Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Ravik Karsi di.
Ravik menjelaskan, saat ini
otonomi perguruan tinggi (PT) dirasakan belum berjalan baik, khususnya dalam
aspek manajemen. Pengelolaan kegiatan Tridharma PT terkesan lebih mementingkan
proses administratif dibandingkan hasil-hasilnya. Di sisi lain, lemahnya sinergi
antarlembaga penghasil riset serta hasil penelitian kurang memenuhi kebutuhan
dan kurang memacu dunia usaha juga menjadi pemicunya.
Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti
Kemendikbud) Joko Santoso, mengatakan jika ingin riset dan penelitian maju,
perlu dibuat Kementerian Pendidikan Tinggi, tapi bukan berada di bawah Kemenristek.
Sinyalemen-sinyalemen seperti itu memang ada benarnya.
Akan tetapi, yang
diungkapkan Dirjen Dikti Kemendikbud perlu ada koreksi.
Pembinaan peneliti yang
tersebar di berbagai kementerian/lembaga tidak secara penuh oleh Kemenristek.
Sementara ini, peneliti-peneliti tersebut memang pembinaan secara
administratif dilakukan oleh LIPI. Akan tetapi yang disayangkan secara
substantif, peneliti-peneliti tersebut seperti "dibiarkan" berkembang
secara alamiah.
Memang diakui sampai saat
ini masih sangat sedikit teknologi yang dihasilkan oleh akademisi, maupun
oleh peneliti di dalam negeri yang dapat mengadopsi industri untuk
menghasilkan produk barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan publik.
Rendahnya produktivitas peneliti dan akademisi sebagaimana terindikasi dari
jumlah publikasi ilmiah dan paten yang diperoleh telah banyak diulas.
Posisi Indonesia kelihatan
sangat kurang produktif bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Hal ini dapat terjadi karena sebagian peneliti dan akademisi menganggap pendekatan
demand-driven akan mengebiri
kreativitas ilmiah.
Untuk mengatasi hal ini,
pemerintah diharapkan mampu merumuskan kebijakan serta membuat dan/atau
merevisi regulasi yang ada agar hubungan yang harmonis dan mutualistik antara
pebisnis dan akademisi--termasuk dengan peneliti tentunya--dapat menjadi
lebih intensif. Regulasi tersebut mencakup upaya untuk menggiring kegiatan
riset agar lebih berorientasi pada penyediaan solusi teknologi atas
permasalahan nasional.
Menurut Lukman Hakim, Ketua
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), untuk bisa mengejar ketertinggalan
kemajuan dari negara lain, Indonesia idealnya membutuhkan 200 ribu peneliti
di berbagai bidang. Saat ini, SDM iptek, khususnya peneliti Indonesia yang
terdaftar di LIPI, sebanyak 8.000 orang dan 16.000 peneliti yang bekerja di
PT. Sedangkan, peneliti dan akademisi yang berada di naungan institusi
swasta, belum dapat dipastikan jumlahnya.
Adanya keterbatasan
fasilitas yang dimiliki pihak litbang pemerintah dan perguruan tinggi dapat
berpengaruh kepada ketidaksesuaian kebutuhan masyarakat dengan teknologi yang
dihasilkan oleh pihak pengembang. Penelitian yang selama ini dilakukan oleh
litbang pemerintah dan PT sulit untuk dikem bangkan dan tidak dimungkinkan
untuk dilakukan penelitian berseri atau berke lanjutan karena adanya
keterbatasan dana.
Dana penelitian di lembaga
litbang pemerintah dan PT tidak memungkinkan untuk melakukan penelitian dari
tahap penelitian dasar/awal hingga pengemasan (packaging), yang kemudian dipamerkan atau didesiminasikan ke
kalangan industri dan masyarakat luas. Pada saat ini, kegiatan litbang masih
berdiri sendiri-sendiri dan sulit untuk berkonsorsium.
Untuk meningkatkan
produktivitas pe neliti dan akademisi, pemerintah hendaknya membuat aturan
mengenai seeds capital dan venture capital untuk mempercepat komersialisasi
hasil-hasil penelitian, dengan skema riset dan standar penelitian yang sesuai
kebutuhan industri atau pengguna teknologi. Pemerintah juga harus memberikan
kemudahan pengelolaan dengan menyerahkan pengelolaan kepada masing-masing institusi
di mana lembaga penelitian tersebut bernaung.
Pembinaan yang dilakukan
pemerintah terhadap peneliti dan akademisi memang perlu dilakukan, apalagi
mereka tersebar di berbagai institusi pemerintah, maupun swasta. Peneliti dan
akademisi yang ada dan tersebar di berbagai institusi swasta sama sekali
belum tersentuh dan terpikirkan oleh pemerintah. Hal ini perlu dilakukan,
karena hasil litbang dari institusi litbang swasta pun perlu terpantau secara
kelembagaan.
Kementerian Riset dan
Teknologi dapat berperan atau mempunyai andil untuk mengubah paradigma
peneliti dan akademisi melalui pemberian masukan terhadap perubahan Rancangan
Peraturan Perundang-undangan tentang Peneliti dan Akademisi. Hal ini termasuk
di dalamnya lembaga litbang yang tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk
melakukan litbang, misalnya BSN dan BIG dan lainnya.
Idealnya, Undang-Undang
(UU) Nomor 18 Tahun 2002 yang mengatur Sistem Nasional Litbang Iptek menjadi
acu an bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tentang peneliti dan
akademisi. Unsur yang terdapat dalam UU Nomor 18 Tahun 2002 masih saling
berkaitan dengan sistem lain. UU Nomor 18 Tahun 2002 harus secara penuh menjadi
kerangka hukum sistem litbang nasional dan sistem pendidikan tinggi.
Selain itu, diperlukan pula
pengaturan mengenai pemberian insentif dan dukungan bagi peneliti dan
akademisi untuk meningkatkan kapabilitas dan kompetensinya serta pemberian
fasilitasi dalam mematenkan hasil penelitiannya. Kementerian Riset dan
Teknologi diharapkan dapat terus memberikan dorongan ke arah penguatan
kebijakan SDM peneliti dan akademisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar