Status
Awas dan Evaluasi Televisi
Khoiri
Akhmadi ; Eksekutif Produser RCTI, Anggota Tim Buku Panduan Informasi
Peringatan Dini Tsunami bagi Lembaga Penyiaran Indonesia oleh BMKG, BNPB, LIPI
dan Kominfo, GTZ
|
KORAN
SINDO, 27 Februari 2014
Gunung
Kelud meletus pukul 22.50 WIB, setelah sebelumnya dinyatakan status Awas
pukul 21.15 WIB pada 13 Februari 2014. Ada jeda waktu 95 menit, dari status
Awas ke era letusan. Waktu ini tergolong singkat.
Bandingkan
dengan Gunung Merapi di Yogyakarta 25 Oktober 2010. Jarak status Awas Merapi
ke letusan gunung hampir 33 jam. Sementara status Awas Gunung Sinabung ke
letusan pertama yang cukup besar 24 November 2011, berjarak hampir 15 jam.
Begitu bervariasinya jarak antara status Awas dan letusan gunung berapi,
perlu tindakan peringatan dini dengan cepat dan akurat kepada warga
terdampak. Dan, salah media yang bisa memberikan informasi dini dengan cepat
dan efektif di masa kritis ini adalah televisi dan radio.
Dua
media ini juga bagian dari mata rantai peringatan dini tsunami yang diatur
pemerintah selama ini. Mencermati status penyampaian dini status Awas Gunung
Kelud 13 Februari lalu, tak banyak televisi yang menyiarkan begitu cepat. Ada
satu televisi berita yang cepat mengumumkan status Awas Gunung Kelud, karena
kebetulan sedang acara program berita, saat status Awas diumumkan pukul 21.15
WIB. Namun, sebagian besar televisi menyiarkan kondisi Gunung Kelud setelah
meletus pukul 22.50 WIB.
Tidak
adanya peraturan yang mengharuskan media penyiaran bereaksi cepat
pascapengumuman status Awas sebuah gunung, membuat sikap media penyiaran
berbeda-beda. Sementara dalam peringatan dini tsunami, media penyiaran sudah
seragam mengudarakan STOP PRESS, seperti diatur dalam Permen Kominfo Nomor
20/P/ M.KOMINFO/8/2006. BMKG sudah memasang software komputer untuk
peringatan dini tsunami di delapan stasiun televisi nasional, dan radio.
Fungsinya,
untuk menyiarkan stop press, lima
menit pascagempa, bersamaan dengan data potensi tsunami yang disampaikan BMKG
ke media. Stop press berupa blocking 30
detik, dilengkapi tune tinggi, untuk membuat masyarakat tahu dan peduli
apa yang segera dilakukan. Peringatan dini ini harus cepat diketahui
masyarakat, karena tsunami sampai ke pantai hanya perlu waktu 20 hingga 30
menit, pasca gempa bumi di laut.
Peringatan Dini Status Awas
Melihat
eskalasi dampak letusan gunung, tak ada salahnya pemerintah juga mengatur
keseragaman penyampaian peringatan dini gunung yang berstatus Awas. Mengingat
jarak waktuantarastatusAwasdengan letusan, biasanya tidak terlalu lama.
Peringatan dini status Awas ini penting, mengingatkan masyarakat akan letusan
gunung makin dekat dan tindakan evakuasi oleh pemda dan tim SAR.
Dibanding
penyampaian dini tsunami, dalam peringatan dini status Awas di gunung,
peluang ditonton warga terdampak, lebih besar. Karena listrik sebagai sumber
daya televisi atau radio, masih menyala. Ini yang terjadi di Gunung Kelud.
Sedikitnya 200.000 warga langsung mengungsi, ketika status masuk Awas.
Sebagian besar mereka selalu menonton televisi sejak dari status gunung
Waspada hingga Siaga. Sementara saat peringatan dini tsunami, sering warga
sulit menonton televisi atau mendengar radio, karena listrik mati akibat
gempa bumi.
Kearifan Lokal di Gunung
Namun
saat masa kritis sebuah bencana, masyarakat kadang hanya mengandalkan kearifan
lokal. Saat tsunami Aceh 2004 lalu misalnya, masyarakat Pulau Simeulue, pulau
yang terdekat dari sumber gempa bumi 8,9 SR, ternyata korbannya kurang dari
10 orang. Masyarakat mengenal Smong yang artinya tsunami. Dengancara
gethoktular turun-temurun, Smong mendorong warga menjauh dari pantai, karena
air laut surut, yang berarti akan datang tsunami. Takkalahserunya,
kearifanlokal di gunung.
Biasanya
dua atau tigahari sebelummeletushewanhewan besar seperti monyet, harimau,
ular akan turun gunung. Perilaku hewan-hewan ini dipercaya menjadi pertanda
gunung akan meletus. Kasus Kelud, Merapi, dan Sinabung banyak media
memberitakan hewan-hewan besar turun gunung beberapa hari sebelum letusan
besar. Namun, masih ada kearifan lokal yang cenderung menjadi fatalisme.
Mereka
meyakini ada firasat dari gunung jika akan meletus dan menolak evakuasi.
Inilah yang oleh EmileDurkhaim, sosiolog Prancis, seharusnya bisa dihindari.
Karena fatalisme itu, mirip bunuh diri akibat tekanan keadaan di sekitarnya,
danpasrah tanpa ada usaha penyelamatan. Dalam kasus ini, sering menolak evakuasi
dan tidak percaya hasil analisa PVBMG yang meneliti gunung dengan teknologi
canggih.
Di
sinilah media harus berperan mengedukasi warga yang salah mengartikan kearifan
lokal. Patut diacungi jempol bagi PVBMG, pemda, dan tim SAR, dalam kasus
Gunung Kelud. Berkat peringatan dini status Awas yang disampaikan pada waktu
yang tepat dan cepat, 200.000 warga yang berada di kawasan berbahaya 10
kilometer dari puncak Gunung Kelud mengungsi sebelum meletus. Korban pun bisa
diminimalisasi. Menjadi pembelajaran penting bagi media penyiaran sebagai
mata rantai peringatan dini bencana.
Indonesia
masuk dalam ring of fire dengan 127
gunung api. Kini 22 gunung berstatus di atas normal. Ada yang status Waspada,
ada yang Siaga. Bukan tak mungkin, gunung-gunung itu berubah menjadi Awas.
Pada tahap inilah, media penyiaran menjadi sangat penting, untuk menjadi alat
peringatan dini secara cepat dan serentak.
Diseminasi
peringatan dini tsunami yang sudah diatur, selayaknya menjadi acuan bersama
dalam penyampaian peringatan dini status Awas gunung berapi, demi
menyelamatkan warga dan mengurangi risiko dampak bencana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar