Jumat, 28 Februari 2014

Status Awas dan Evaluasi Televisi

Status Awas dan Evaluasi Televisi

Khoiri Akhmadi  ;   Eksekutif Produser RCTI, Anggota Tim Buku Panduan Informasi Peringatan Dini Tsunami bagi Lembaga Penyiaran Indonesia oleh BMKG, BNPB, LIPI dan Kominfo, GTZ
KORAN SINDO,  27 Februari 2014

                                                                                         
                                                                                                                       
Gunung Kelud meletus pukul 22.50 WIB, setelah sebelumnya dinyatakan status Awas pukul 21.15 WIB pada 13 Februari 2014. Ada jeda waktu 95 menit, dari status Awas ke era letusan. Waktu ini tergolong singkat.

Bandingkan dengan Gunung Merapi di Yogyakarta 25 Oktober 2010. Jarak status Awas Merapi ke letusan gunung hampir 33 jam. Sementara status Awas Gunung Sinabung ke letusan pertama yang cukup besar 24 November 2011, berjarak hampir 15 jam. Begitu bervariasinya jarak antara status Awas dan letusan gunung berapi, perlu tindakan peringatan dini dengan cepat dan akurat kepada warga terdampak. Dan, salah media yang bisa memberikan informasi dini dengan cepat dan efektif di masa kritis ini adalah televisi dan radio.

Dua media ini juga bagian dari mata rantai peringatan dini tsunami yang diatur pemerintah selama ini. Mencermati status penyampaian dini status Awas Gunung Kelud 13 Februari lalu, tak banyak televisi yang menyiarkan begitu cepat. Ada satu televisi berita yang cepat mengumumkan status Awas Gunung Kelud, karena kebetulan sedang acara program berita, saat status Awas diumumkan pukul 21.15 WIB. Namun, sebagian besar televisi menyiarkan kondisi Gunung Kelud setelah meletus pukul 22.50 WIB.

Tidak adanya peraturan yang mengharuskan media penyiaran bereaksi cepat pascapengumuman status Awas sebuah gunung, membuat sikap media penyiaran berbeda-beda. Sementara dalam peringatan dini tsunami, media penyiaran sudah seragam mengudarakan STOP PRESS, seperti diatur dalam Permen Kominfo Nomor 20/P/ M.KOMINFO/8/2006. BMKG sudah memasang software komputer untuk peringatan dini tsunami di delapan stasiun televisi nasional, dan radio.

Fungsinya, untuk menyiarkan stop press, lima menit pascagempa, bersamaan dengan data potensi tsunami yang disampaikan BMKG ke media. Stop press berupa blocking 30 detik, dilengkapi tune tinggi, untuk membuat masyarakat tahu dan peduli apa yang segera dilakukan. Peringatan dini ini harus cepat diketahui masyarakat, karena tsunami sampai ke pantai hanya perlu waktu 20 hingga 30 menit, pasca gempa bumi di laut.

Peringatan Dini Status Awas

Melihat eskalasi dampak letusan gunung, tak ada salahnya pemerintah juga mengatur keseragaman penyampaian peringatan dini gunung yang berstatus Awas. Mengingat jarak waktuantarastatusAwasdengan letusan, biasanya tidak terlalu lama. Peringatan dini status Awas ini penting, mengingatkan masyarakat akan letusan gunung makin dekat dan tindakan evakuasi oleh pemda dan tim SAR.

Dibanding penyampaian dini tsunami, dalam peringatan dini status Awas di gunung, peluang ditonton warga terdampak, lebih besar. Karena listrik sebagai sumber daya televisi atau radio, masih menyala. Ini yang terjadi di Gunung Kelud. Sedikitnya 200.000 warga langsung mengungsi, ketika status masuk Awas. Sebagian besar mereka selalu menonton televisi sejak dari status gunung Waspada hingga Siaga. Sementara saat peringatan dini tsunami, sering warga sulit menonton televisi atau mendengar radio, karena listrik mati akibat gempa bumi.

Kearifan Lokal di Gunung

Namun saat masa kritis sebuah bencana, masyarakat kadang hanya mengandalkan kearifan lokal. Saat tsunami Aceh 2004 lalu misalnya, masyarakat Pulau Simeulue, pulau yang terdekat dari sumber gempa bumi 8,9 SR, ternyata korbannya kurang dari 10 orang. Masyarakat mengenal Smong yang artinya tsunami. Dengancara gethoktular turun-temurun, Smong mendorong warga menjauh dari pantai, karena air laut surut, yang berarti akan datang tsunami. Takkalahserunya, kearifanlokal di gunung.

Biasanya dua atau tigahari sebelummeletushewanhewan besar seperti monyet, harimau, ular akan turun gunung. Perilaku hewan-hewan ini dipercaya menjadi pertanda gunung akan meletus. Kasus Kelud, Merapi, dan Sinabung banyak media memberitakan hewan-hewan besar turun gunung beberapa hari sebelum letusan besar. Namun, masih ada kearifan lokal yang cenderung menjadi fatalisme.

Mereka meyakini ada firasat dari gunung jika akan meletus dan menolak evakuasi. Inilah yang oleh EmileDurkhaim, sosiolog Prancis, seharusnya bisa dihindari. Karena fatalisme itu, mirip bunuh diri akibat tekanan keadaan di sekitarnya, danpasrah tanpa ada usaha penyelamatan. Dalam kasus ini, sering menolak evakuasi dan tidak percaya hasil analisa PVBMG yang meneliti gunung dengan teknologi canggih.

Di sinilah media harus berperan mengedukasi warga yang salah mengartikan kearifan lokal. Patut diacungi jempol bagi PVBMG, pemda, dan tim SAR, dalam kasus Gunung Kelud. Berkat peringatan dini status Awas yang disampaikan pada waktu yang tepat dan cepat, 200.000 warga yang berada di kawasan berbahaya 10 kilometer dari puncak Gunung Kelud mengungsi sebelum meletus. Korban pun bisa diminimalisasi. Menjadi pembelajaran penting bagi media penyiaran sebagai mata rantai peringatan dini bencana.

Indonesia masuk dalam ring of fire dengan 127 gunung api. Kini 22 gunung berstatus di atas normal. Ada yang status Waspada, ada yang Siaga. Bukan tak mungkin, gunung-gunung itu berubah menjadi Awas. Pada tahap inilah, media penyiaran menjadi sangat penting, untuk menjadi alat peringatan dini secara cepat dan serentak.

Diseminasi peringatan dini tsunami yang sudah diatur, selayaknya menjadi acuan bersama dalam penyampaian peringatan dini status Awas gunung berapi, demi menyelamatkan warga dan mengurangi risiko dampak bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar