Menjadi
Pemilih yang Cerdas
Benny
Susetyo ; Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 26 Februari 2014
Pemilu
adalah momentum perubahan bagi bangsa ini. Konferensi Wali Gereja Indonesia mengajak
kita semua menjadi pemilih yang cerdas. Kita sedang bersiap diri menyambut
pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD pada 9 April 2014.
Sebagai
negara yang menganut sistem demokrasi, pemilu menjadi peristiwa penting dan
strategis sebagai kesempatan memilih calon anggota legislatif (caleg) dan
perwakilan daerah yang akan menjadi wakil rakyat. Karena itu, KWI berusaha
menegaskan agar kita bisa menjadi pemilih yang cerdas.
Pemilu
sebagai sarana bagi rakyat untuk menentukan elite-elite politik yang duduk
mewakili kepentingan rakyat. Sepanjang reformasi kita bisa menilai secara
singkat kualitas para wakil rakyat yang terpilih sering kali tidak sebanding
dengan harapan rakyat. Sesudah terpilih, umumnya mereka “melupakan” rakyatnya
dan hanya mengejar kepentingan pribadi dan golongannya.
Jangan Menyerah
Namun,
kita tidak boleh menyerah. Hanya dalam pemilulah sebagai sarana demokrasi
bagi kita untuk mendapatkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas. Menjadi
pemilih yang cerdas berarti mensyaratkan rakyat untuk terbuka dan cerdas,
tidak tergiur tipuan-tipuan kampanye, apalagi iming-iming politik uang.
Jangan
pesimistis dan menyerah karena dengan ikut memilih berarti Anda ambil bagian
dalam menentukan arah perjalanan bangsa ke depan. Penting disadari bagi para
pemilih untuk tidak saja datang dan memberikan suara, melainkan menentukan
pilihannya dengan cerdas dan sesuai hati nurani.
Masyarakat
seharusnya jangan asal menggunakan hak pilih, apalagi sekadar ikut-ikutan.
Siapa pun calon dan partai apa pun pilihan yang diyakini, hendaknya dipilih
dengan keyakinan calon tersebut dan partainya akan mewakili rakyat dengan
berjuang bersama seluruh komponen masyarakat mewujudkan cita-cita bersama
bangsa Indonesia. Pertanyaannya adalah caleg macam apa yang mesti dipilih dan
partai mana yang mesti menjadi pilihan kita.
Masih
banyak calon wakil rakyat yang memiliki idealisme untuk bersungguh-sungguh
memperjuangkan kepentingan bangsa ini. Kita harus terbuka, menggunakan mata
hati untuk sejujur-jujurnya dan sejernihnya agar pemilu bisa menghasilkan
para elite yang berkualitas baik.
KWI
menegaskan memang tidak mudah bagi kita untuk menjatuhkan pilihan atas para
caleg. Selain karena banyak jumlahnya, mungkin juga tidak cukup kita kenal
karena tidak pernah bertemu muka. Para caleg yang akan dipilih seharusnya
dipastikan mereka itu memang orang baik, menghayati nilai-nilai agama dengan
baik dan jujur, peduli terhadap sesama, berpihak kepada rakyat kecil, cinta
damai, dan antikekerasan.
Masyarakat
hendaknya berhati-hati dengan mereka yang jelas-jelas berwawasan sempit,
mementingkan kelompok, dikenal tidak jujur, korupsi, dan menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan kedudukan tidak layak dipilih.
Selain
itu, perlu berhati-hati dengan mereka yang seolah-olah bersikap ramah dan
banyak kebaikan yang ditampilkan saat berkampanye. Sebaiknya masyarakat tidak
terjebak atau ikut dalam politik uang yang dilakukan para caleg untuk
mendapatkan dukungan suara.
Kita
perlu mencari informasi secara mendalam mengenai para calon yang tidak
dikenal cara. Demi terjaga dan tegaknya bangsa ini, perlulah kita
memperhitungkan caleg yang mau berjuang untuk mengembangkan sikap toleran
dalam kehidupan antarumat beragama dan peduli pada pelestarian lingkungan
hidup.
Koreksi untuk Parpol
Pesimisme
tidak menyelesaikan masalah. Pesimisme hanya akan membuat kehidupan mundur
dan dimanfaatkan para petualang politik untuk kepentingan pribadi. Sebagian
kalangan yang pesimistis pemilu akan menghasilkan perubahan, harus
mendapatkan keyakinan lain. Hanya dengan mekanisme yang disepakati bersama
seperti pemilulah sebuah perubahan bisa disusun dan direncanakan.
Bagi
partai politik, seharusnya mereka melihat pesimisme dan apatisme rakyat
terhadap politik sebagai koreksi mendasar bagi program dan kinerja mereka
selama ini. Keraguan publik sudah lama tercermin akibat sikap partai peserta
pemilu yang lebih banyak menonjolkan hiburan daripada program kerja yang
jelas.
Cerminan
ini menunjukkan partai politik tidak memiliki prioritas yang jelas untuk membangun
sebuah sistem demokrasi. Padahal, sistem demokrasi akan berjalan bila ada
peradaban politik. Peradaban politik tercermin dalam perilaku politik yang
mengedepankan akal sehat daripada sentimen emosional belaka.
James
Siegel pernah mengatakan, setelah Soekarno meninggal, tidak ada lagi yang
menjadi penyambung lidah rakyat. Hal ini amat mengejutkan bagi publik bahwa
realitas kedaulatan rakyat sebenarnya telah lama hilang, tergantikan
kedaulatan uang. Mengapa ini bisa terjadi? Itu karena elite politik hanya
memberi kenyakinan, bukan pengetahuan.
Partai
politik masih dalam tahap perkembangan masa mencari kepuasan. Orientasi ini
yang membuat partai peserta pemilu masih bersifat reaktif terhadap persoalan.
Isu-isu mereka hanya sekitar lingkaran kepedulian yang orientasinya untuk
membakar emosi massa.
Sulit
kita mencari calon wakil rakyat yang bisa memberikan pengetahuan yang cukup
kepada konstituen tentang idealisme mereka dan cita-cita kebangsaan ini. Ini
membuat kita semakin kesulitan mencari elite yang bermutu, berkomitmen,
bernalar, dan bermoral. Realitasnya ini tidak pernah terjadi karena yang
ditonjolkan sekitar gambar partai belaka, bukan pada realitas sesungguhnya.
Mengutip
kembali anjuran KWI, “Ikutlah memilih.
Dengan demikian, Anda ikut serta dalam menentukan masa depan bangsa.”
Mari
kita lakukan tugas untuk mengiringi pelaksanaan pemilu dengan doa memohon
berkat Tuhan. Semoga pemilu berlangsung dengan damai dan berkualitas serta
menghasilkan wakil-wakil rakyat yang benar-benar memperhatikan rakyat dan
berjuang untuk keutuhan Indonesia. Dengan demikian cita-cita bersama, yaitu
kebaikan dan kesejahteraan bersama semakin mewujud nyata.
Akhirnya,
penting bagi semua warga masyarakat untuk menjaga pemilu berjalan langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, adil, damai, dan berkualitas. Hindarkan segala
peluang kekerasan dalam bentuk apa pun, baik secara terbuka maupun
terselubung. Itu karena bila sampai terjadi kekerasan, damai dan rasa aman
tidak akan mudah dipulihkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar