Parlemen
versus Pengemis
Wayan
Windia ; Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas
Udayana,
Ketua Badan
Penjaminan Mutu Unud
|
JAWA
POS, 28 Februari 2014
DALAM
setiap berceramah tentang subak, saya tidak lupa menyelipkan pernyataan yang
tragis. Bahwa ternyata petani yang lahannya 1 hektare dan menanam padi,
pendapatannya lebih rendah daripada seorang pengemis jalanan. Selanjutnya,
dalam berita akhir-akhir ini, berkait sidang perkara SKK Migas, saya agak
tercenung dengan kesaksian di pengadilan. Bahwa pihak eksekutif harus
memberikan setoran ke DPR agar anggaran kementeriannya terjamin. Artinya,
agar anggarannya tidak diberi tanda bintang, yang berarti anggaran itu belum
bisa dicairkan. Untuk mencairkannya, perlu ada setoran.
Hal
seperti itu telah lama saya dengar dan sudah menjadi rahasia umum. Namun,
baru kali ini saya mendengarnya di pengadilan. Banyak juga saya dengar di
tingkat lokal bahwa anggota DPRD pun sering "nitip" anggaran pada
proyek-proyek yang dikelola dinas/SKPD terkait. Kalau SKPD tidak mau,
anggaran proyek itu akan diberi tanda bintang. Kalau berita itu benar,
parlemen kita dari tingkat daerah hingga ke pusat sejatinya sudah rusak. Saya
pikir yang merusak itu adalah sistem politik kita yang liberal, dan sementara
itu rakyat kita masih miskin.
Kini,
menjelang Pemilu 2014, tampaknya sudah ramai ada wacana di pedesaan, tentang
berbagai "amplop" yang berhamburan melalui pimpinan banjar atau
desa. Kalau saya tanya, mengapa mau menerima amplop dari berbagai caleg?
Apakah tidak sebaiknya hanya menerima uang dari satu caleg agar kita masih
dianggap punya integritas dan harga diri? Mereka pun dengan ringan saja
menjawab. "Ah, nanti setelah
mereka terpilih, kan mereka juga akan korupsi di sana," katanya. Hal
ini tampaknya bermakna bahwa ternyata mulai tingkat rakyat hingga wakilnya,
dan bahkan banyak juga kalangan kepala daerah, kementerian, pimpinan parpol,
dan penegak hukum, yang tersangkut korupsi.
Kalau
begini keadaannya, apakah kita bisa mengatakan bahwa korupsi di Indonesia
sejatinya sudah menjadi budaya masyarakat? Kalau masyarakat sudah korup dan
parpol juga korup, apakah mungkin bisa muncul pemimpin bangsa yang baik?
Sebab, pemimpin bangsa pada dasarnya muncul melalui saringan parpol. Bahkan,
personal lembaga negara dan para komisioner (MK, KPU, KPI, KIP, dll.), muncul
melalui saringan kader parpol di DPR. Kalau begini keadaannya, tidak heran
kalau muncul kader bangsa sekelas Akil Mochtar, Anas Urbaningrum, Andi
Mallarangeng, Lutfi Hasan Iskak, dll, yang kini berada dalam tahanan KPK.
Mari
kita kembali pada tema tulisan, yakni bahasan tentang parlemen versus
pengemis. Patut dicatat bahwa kaum pengemis, penerimaannya sekitar Rp 3 juta
per bulan. Anggota parlemen (lokal) penerimaannya mungkin lebih Rp 30 juta
per bulan. Adapun anggota parlemen pusat, penerimaannya pasti berlipat-lipat.
Tetapi, mengapa mereka masih rakus? Bahkan, dengan ancaman memberikan tanda
bintang pada mata anggaran, atau menggagalkan anggaran yang diajukan pihak
eksekutif.
Tampaknya,
manusia memang adalah misteri. Tabiatnya tak dapat diduga. Orang yang sudah
besar gajinya belum tentu tidak tergoda dengan harta, takhta, dan wanita.
Bahkan, mungkin semakin menjadi-jadi, karena mereka ingin mempertahankan atau
bahkan meningkatkan takhtanya. Apalagi, orang-orang politik, mereka pasti
tidak pernah merasa puas dengan takhtanya. Sama dengan orang dagang yang juga
tak pernah merasa puas dengan hartanya. Sistem politik yang liberal dan
sistem ekonomi yang kapitalistis adalah media yang empuk untuk melakukan
tindakan korupsi, di tengah-tengah rakyat dengan jurang kaya miskin yang
sangat lebar.
Sebaliknya,
pengemis tampaknya lebih punya moralitas. Mereka tidak akan ngotot atau
mengancam kalau kita tidak memberikan sesuatu. Mereka pasti ngeloyor saja,
dengan muka yang datar dan tidak merasa kecewa, dalam keadaan yang demikian.
Mengapa hal-hal itu bisa terjadi? Sebab, sang pengemis tidak memiliki
kekuasaan. Sebaliknya, parlemen memiliki kekuasaan yang sangat besar. Bahkan
jauh samakin besar, setelah era reformasi. Khususnya di bidang anggaran,
parlemen memiliki kekuasaan hingga pada level proyek. Sebaliknya, Indonesia
yang menganut sistem presidensial, justru kekuasaan presiden jauh sangat
dikurangi, khususnya dalam hal pengangkatan komisioner, pembuatan UU, dll.
Kekuasaan
(yang semakin besar) itulah yang menyebabkan parlemen menjadi (semakin
korup). Karena itu, perlu diadakan reformasi kekuasaan lembaga negara di
Indonesia agar sesuai dengan esensi UUD. Kekuasaan parlemen perlu dikaji
ulang, dan kita kembali ke jatidiri bangsa, sesuai amanat Pancasila dan UD
1945 (yang asli). Napas politik dalam setiap pengambilan keputusan di
Indonesia saat ini, tampaknya, terlalu sangat keras. Tentu saja kalau
dibandingkan dengan napas profesionalisme. Karena itu, peran parlemen di
Indonesia perlu segera dipangkas. Tujuannya agar wakil rakyat di gedung
parlemen tidak berkembang menjadi koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar