Monorel
Bukan Angkutan Massal
Agus
Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen
|
TEMPO.CO,
26 Februari 2014
Dalam
beberapa tulisan atau komentar di berbagai media, saya sering menyampaikan
bahwa monorel bukanlah alat transportasi massal yang layak dipakai di kota
sebesar Jakarta, seperti layaknya bus kota, kereta api, MRT, dan sebagainya.
Monorel
merupakan people mover atau alat angkut terbatas berbasis rel yang biasanya
dioperasikan di antara terminal di bandara atau di taman wisata, dan daerah
perbelanjaan, seperti di Bandara Changi Singapura, Disneyland di AS, serta
pusat belanja George Street di Sydney.
Untuk
kota sebesar dan sepadat Jakarta, monorel sangat tidak cocok karena
investasinya mahal dengan penumpang terbatas, dan akan menghasilkan tarif per
orang yang sangat mahal. Apalagi monorel Jakarta adalah investasi swasta,
jadi tidak berhak atas subsidi pemerintah. Artinya, kerugian bagi pengelola
ada di depan mata.
Proyek
monorel Jakarta ini awalnya memang sudah penuh masalah setelah Temasek
Singapura, yang semula akan membangunnya, mundur pada 2004/2005. Setelah itu
sempat bergonta-ganti investor, akhirnya proyek PT Jakarta Monorel (JM) ini
mangkrak pada masa Foke menjadi Gubernur DKI Jakarta. Padahal pembangunannya
dipayungi oleh Keputusan Presiden (Kepres).
Pada
masa awal Gubernur Joko Widodo (JKW) pada 2013, penulis sempat diundang ke
Balai Kota untuk mendengarkan paparan dari Proyek Jakarta Monorel yang
seyogianya akan dibangun oleh Konsorsium BUMN. Namun tiba-tiba muncul
rombongan PT JM, yang katanya datang atas undangan JKW. Panitia sempat
bingung, begitu pula Tim Monorel Konsorsium BUMN yang dipimpin oleh PT Adhi
Karya Persero Tbk (AK). Mereka berniat hengkang dari pertemuan tersebut.
Di
sini sudah terlihat betapa kencangnya PT JM melobi Gubernur JKW. Pada
akhirnya memang green line dan blue line diserahkan kembali ke PT JM oleh
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan investor Ortus Holdings milik Edward
Soeryajaya. Mereka akhirnya berhasil melakukan groundbreaking bersama
Gubernur JKW di Kuningan pada 16 Oktober 2013.
Ternyata,
eh ternyata, upaya PT JM bersama Ortus Holdings kali ini juga kembali
bermasalah dan "mangkrak", yang ditengarai disebabkan oleh adanya
kemacetan pembayaran ganti rugi dari PT JM ke PT AK karena adanya perbedaan
nilai pembayaran tiang-tiang monorel yang dibangun oleh PT AK. Maka
Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PT JM dan Pemprov DKI Jakarta sampai hari
ini belum bisa ditandatangani.
Sebagai
informasi, kontrak antara PT JM dan PT AK untuk pembangunan monorel dilakukan
dalam mata uang dolar Amerika (US$). Berdasarkan due diligence BPKP Provinsi
DKI Jakarta No. LAP-3178/PW.09/5/2010 tertanggal 21 April 2010, biaya
pembangunan, termasuk PPN 10 persen, adalah US$ 14.887.252,10 atau Rp
233.188.159,00.
Kemudian,
berdasarkan hasil laporan Kantor Jasa Penilai Publik Amin-Nirwan-Alfiantori
dan Rekan tertanggal 7 Februari 2013, nilainya adalah Rp 193.662.000,00.
Sedangkan berdasarkan Minute of Meeting (MoM) antara PT JM dan PT AK
tertanggal 18 Maret 2013, disepakati angka final Rp 190.000.000.000, termasuk
PPN 10 persen.
Namun
ternyata, sampai hari ini, PT JM masih ingkar janji dengan menyatakan bahwa
utang PT JM ke PT AK hanya Rp 130 miliar. PT JM melalui Presiden Komisarisnya
menyatakan bahwa angka Rp 190 miliar itu termasuk Rp 50 miliar untuk biaya
pembuatan stasiun yang tidak pernah ada wujudnya. Karena itu, PT JM hanya mau
membayar Rp 130 miliar.
Berdasarkan
penjelasan Dirut PT AK: "Yang dimaksud dengan stasiun adalah hitungan
fondasi dan tiang di lokasi stasiun yang berbeda dengan lokasi yang
non-stasiun, bukan bangunan stasiun, yang memang belum pernah dibangun."
Menurut saya, PT JM memang mencari-cari masalah karena sejak awal saya ragu
perusahaan ini mempunyai dana sebesar Rp 16 triliun untuk membangun monorel.
Keraguan
saya diperkuat oleh pencantuman ridership (penumpang) di brosur mereka, yang
menurut saya "lebay". Dalam brosur dinyatakan bahwa per gerbong
monorel dapat mengangkut 253 penumpang (lebih besar daripada MRT dan KRL).
Patut diduga bahwa jumlah ridership digelembungkan supaya mendapatkan angka
tarif per penumpang yang terjangkau, misalnya Rp 9.000 per penumpang.
Menurut
hitung-hitungan bodo saya, jika angka ridership-nya wajar, tarif sekali naik
monorel bisa mencapai lebih dari Rp 30 ribu per penumpang. Ini tarif yang
tidak akan terjangkau oleh publik, dan pasti JKW juga tidak akan setuju.
Saran
saya untuk Gubernur, batalkan saja Proyek Jakarta Monorel ini karena, selain
monorel bukan angkutan umum, PT JM tampaknya tidak akan sanggup membangunnya.
Apalagi ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga tidak akan memberikan
fasilitas apa-apa kepada investor.
Masalah
utang-piutang sebaiknya segera diselesaikan saja. Jika PT JM menolak
hitung-hitungan yang sudah disepakati (Rp 190 miliar), gunakan saja angka
resmi dari BPKP dalam mata uang dolar Amerika, yaitu US$ 14.887.252,10. Ini
angka sah, bukan angka hasil negosiasi.
Jika
PT AK sebagai pemilik tiang-tiang yang mangkrak sanggup meneruskan
pembangunan monorel ini, silakan melanjutkan bersama konsorsium BUMN-nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar