Rabu, 26 Februari 2014

Etika Media dalam Pemilu

Etika Media dalam Pemilu

Thomas Koten  ;   Direktur Social Development Center
SUARA KARYA,  25 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Setiap kali menjelang pemilu, media massa cetak dan elektronik selalu dihiasi iklan-iklan politik. Media massa relatif tidak pikir panjang menerima semua iklan yang disodorkan para kandidat, karena dianggap sebagai rezeki musiman bagi perusahaan dan pengelola media massa.

Salahkah itu? Tentu tidak. Memang, salah satu fakta bahwa media massa adalah perusahaan. Sebagai sebuah perusahaan, media massa tentu akan selalu berorientasi profit ekonomi. Semua perusahaan media selalu bersaing untuk meraih profit ekonomi sebanyak-banyaknya demi tetap lestari atau tetap eksisnya perusahaan media massa. Persaingan itu dapat dilihat dari perang tarif iklan politik. Dan, sengitnya persaingan itu mengingat jumlah media begitu banyak saat ini.

Di samping persaingan antara media massa, tentu juga terjadi persaingan yang sangat ketat di antara parpol dan para kontestannya atau antarpara kandidat yang menjadikan media sebagai wadah pembangunan dan pembentukkan citra penaikan popularitas. Dan, karena begitu ketatnya persaingan di antara berbagai kepentingan, maka mencuatlah apa yang disebut konflik kepentingan. Muaranya adalah menyembulnya persoalan lain yang bertalian dengan etika media yang memiliki misi moralnya. Adalah sejauh mana media memerankan dirinya sebagi sosok etis yang menjalankan misi moralnya dalam ikut serta memberikan pendidikan politik rakyat.

Keberadaan media massa cetak dan elektronik kini harus direnungkan bahwa kehadirannya selain sebagai sebuah perusahaan yang berorientasi profit ekonomi, juga memiliki idealisme sosial yang luhur. Dengan demikian, media massa di satu sisi memiliki saham dengan orientasi profit ekonomi atau bisnis, tetapi di sisi lain memiliki tim redaksi yang terdiri dari para jurnalis, kaum terpelajar profesional dengan orientasi etis-idealis.

Implikasinya, lahirlah apa yang disebut dengan konflik kepentingan, antara para pemegang saham dengan kepentingan para jurnalis di mana kerap berjalan dengan deontologi bisnis yang bercorak kapitalis, mengatur profesi jurnalis. Dalam hal ini, kaum jurnalis dipaksa untuk menempatkan publik tidak lebih sebagai target market. Karena itu, seringkali pula mencuat konflik antara kepentingan manajemen perusahaan yang berorientasi bisnis dan kepentingan profesionalisme redaksional yang berjuang mengembangkan idealisme media massa yang berdimensi sosial nan luhur.

Pada saat-saat menjelang pemilu, satu hal yang tidak terbantahkan adalah mencuatnya konflik kepentingan antara kepentingan politik dari para kontestan yang merupakan pihak pemasang iklan, yang tentu menyatu dengan kepentingan bisnis di satu pihak. Di pihak lain, kepentingan redaksional berusaha memberikan pendidikan rakyat sambil mempertahankan idealisme media lewat tanggung jawab moral pemberitaan.

Dalam kaitan dengan iklan politik dan kepentingan politik para kandidat ini, umumnya kepentingan idealisme media dibuat tidak berdaya oleh kepentingan ekonomi yang bercorak kapitalistik, sehingga media relatif tidak bisa 'ngotot' untuk memperbaiki sistem pemilu yang cenderung mengarah kepada politik uang yang membahayakan demokrasi atau kepentingan-kepentingan politik yang berpihak pada kepentingan bangsa. Memang, semakin banyak kandidat yang menghamburkan uang untuk beriklan di media massa cetak dan elektronik, semakin besar pula setoran yang akan dikejarnya. Dalam situasi ini, media massa dipaksa mengalah dengan pihak-pihak pemasang iklan politik. Menolak iklan di masa-masa menjelang pemilu atau kampanye sebagai reziki misiman, memang menjadi sesuatu yang 'terlalu mewah' bagi media alias sangat mustahil.

Benturan kepentingan itu, tentu akan berhadapan lagi dengan kepentingan publik media yang sering melahirkan destabilisasi keseimbangan hubungan antara perusahaan media dengan karya intelektual. Pertama, kepentingan para pembaca atau pemirsa yang secara kolektif, institusi atau organisasi yang di satu sisi bersiteguh menginginkan media yang bebas mengeksplorasi dan mengelaborasi apa saja, serta berani dan kritis, tetapi di sisi lain sering juga menunjukkan sikap yang tidak toleran, jika informasi yang dipublikasikan mengganggu mereka.

Kedua, kepentingan pasar yang mencakupi seluruh komponen dalam masyarakat. Pasarlah yang akhirnya menjadi penentu karakter bagi keberlanjutan interaksi antara media dengan masyarakatnya. Masyarakat hendaknya jangan diposisikan sebagai konsumen belaka yang pasif atau tong sampah yang dapat menampung apa saja yang dibuang ke sana. Jika masyarakat ditempatkan sebagai konsumen belaka, yang diarahkan untuk melihat media hanya dari sisi bisnis, dan bukan sebagai publik-kaum terdidik, maka apa yang dinamakan sebagai misi jurnalis untuk mencerdaskan dan memberikan pencerahan bagi masyarakat akan tinggal sebagai memori masa silam yang terlalu manis.

Benturan antara kepentingan, yakni perusahaan pengelola media, idealisme media yang bersenyawa dengan para pekerja media nan idealis yang tidak lain adalah kaum intelektual dan dengan para pembaca yang terdiri dari masyarakat sosial, itulah yang kerap membuat rumitnya mengelola dan mengembangkan media di era mutakhir saat ini. Eksistensi dan kualitas media ditentukan oleh sejauh mana media hadir dan sanggup keluar dari problema kepentingan tersebut, yang dikentalkan menjadi kepentingan ekonomi, politik, publik dan idealisme media.

Dengan tetap menjaga etika dan idealismenya, media harus tidak henti-hentinya menunjukkan adanya kekuatan redaksional yang bisa melawan subordinasi media oleh komitmen politik dan kepentingan bisnis perusahaan pengelola media. Media harus secara profesional memperhatikan kepentingan pembaca, pemirsa atau masyarakat umum agar dalam perjalanannya tetap mendapatkan legitimasi publik sebagai penjamin tetap eksis dan lestarinya media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar