Motif
Jahat Revisi KUHP dan KUHAP
Agust
Riewanto ; Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas
Negeri Sebelas Maret Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Februari 2014
BELAKANGAN ini DPR dan
pemerintah tengah melakukan upaya revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun,
sejumlah pengamat hukum, akademisi, praktisi, dan pegiat antikorupsi menolak
revisi terhadap kedua kitab ini. Penolakan itu bisa dimaklumi karena draf
rancangan undang-undang (RUU) ini menyimpang dari semangat pemberantasan
korupsi di Indonesia.
Sesungguhnya urgensi revisi
terhadap KUHP sudah sangat lama dinantikan publik karena kedua kitab ini
telah usang dan tak lagi mampu menampung kebutuhan penegakan hukum di
Indonesia yang kian kompleks problemnya. Jadi, dibutuhkan perangkat KUHP yang
kian visioner yang dapat memecahkan aneka problem penegakan hukum dalam
sistem peradilan pidana yang efektif dan efisien, juga mampu menyeimbangkan
perhatian antara hak asasi korban kejahatan dan pelaku kejahatan. Lebih dari
itu, revisi KUHP ini diperlukan untuk mendesain materi hukum pidana yang
lebih bercita rasa Indonesia, bukan cita rasa kolonial. Sebab KUHP merupakan
produk hukum warisan kolonial yang di negaranya saja telah lama ditinggalkan
karena tak lagi sesuai dengan perubahan peradaban Belanda. Sebaliknya KUHP di
Indonesia menjadi kitab `sakral' yang masih berlaku hingga hari ini.
Begitu pula KUHAP, kendati
merupakan produk hukum asli Indonesia, karena sudah berusia senja yakni
dibuat pada 1981, perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan KUHP. Tidak
mungkin merevisi KUHP tanpa merevisi KUHAP karena kedua kitab ini merupakan
dua sisi mata uang, yang masing-masing saling menopang sebagai kesatuan
sistem. KUHP merupakan hukum materiil dan KUHAP meruapakan hukum formil dalam
sistem peradilan pidana.
Kodifikasi dan unifikasi
Kebijakan produk legislasi di
Indonesia baik dalam hukum pidana, perdata, maupun tata negara menempatkan
kodifikasi dan unifikasi sebagai asas dalam merancang materi hukumnya. Karena
itu, para perancang RUU KUHP dan RUU KUHAP diharapkan mampu mengodifikasikan
dan mengunifikasikan kemajemukan materi hukum pidana yang berkembang dalam hukum
pidana adat lokal di Indonesia, baik yang bersumber dari tradisi asli
Indonesia maupun hukum Barat dan hukum Islam.
Dengan demikian, revisi KUHP
ini dapat menjadi sarana integrasi hukum-hukum yang berkembang di Indonesia (living law), dan mampu menjawab
kebutuhan akan aneka kekosongan materi dalam penegakan hukum pidana yang kian
kompleks seiring perkembangan tekonologi informasi dan ekonomi global.
Selain itu, revisi KUHP dan
KUHAP ini diharapkan mampu menjembati asas penegakan hukum Indonesia yang
berideologi prismatik, yakni mengambil nilai-nilai positif dari dua sistem
hukum; Civil Law (Eropa
Kontinental) dan Anglo Saxon
(Amerika Serikat). Pada model Civil Law berideologi rechststaat, kepastian hukum menjadi sendi utamanya sehingga
dalam penegakan hukum aparat hukum lebih mengutamakan pada aspek hukum
tertulis (UU). Sistem ini mengajarkan pada pentingnya berpikir positivistik
dan legalistik.
Adapun pada model Anglo Saxon
berideologi rule of law, keadilan
lebih diutamakan dalam penegakan hukum. Karena itu, aparat hukum dalam
penegakan hukum dapat mengabaikan hukum tertulis (UU), aparat hukum harus
dapat menggali keadilan berdasarkan pada keyakinannya, tanpa memperhatikan
hukum tertulis (UU). Sistem ini mengajarkan pada pentingnya berpikir sosiologis
yurisprudensi. Menurut Roscoe Pound (1957) dalam The Development of Constitutional Guarantees of Liberty, kedua
sistem ini hingga kini mendominasi khazanah ideologi penegakan hukum di
dunia.
Revisi KUHP dan KUHAP tidak
mengambil dua blok ideologi penegakan hukum ini, tetapi mengambil sisi
kepastian hukum dari model Civil Law,
tetapi juga memperhatikan aspek keadilan dari model Anglo Saxon. Karena itu,
melalui revisi KUHP dan KUHAP ini diharapkan aparat hukum di Indonesia di
samping berpikir legalistik, juga harus berpikir sosiologis.
Lemahkan pemberantasan korupsi
Revisi KUHP dan KUHAP ini
diharapkan juga mampu menjadi hukum materiil dan formil dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia. Karena itu, kedua kitab ini seharusnya mampu
mengodifikasikan aneka problem kekosongan hukum dalam pemberantasan korupsi.
Bahkan harus memperkuat dan bukan melemahkan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Faktanya, sejumlah materinya justru melemahkan upaya pemberantasan
korupsi.
Pertama, di dalam RUU ini tidak
lagi ada pasal yang mengatur tentang pembuktian terbalik. Padahal mustahil
memberantas korupsi dan pencucian uang tanpa ada upaya pembuktian terbalik
dari tersangka. Jamak diketahui proses pembuktian biasa dalam kasus-kasus
korupsi sangatlah sulit, kecuali tangkap tangan. Pembuktian terbalik
sesungguhya menjadi roh dalam pembongkaran kejahatan korupsi yang sistemik,
masif, dan terstruktur.
Kedua, RUU ini juga hanya
menyebutkan institusi umum dalam penegakan hukum pidana, yakni kejaksaan,
kepolisian, dan hakim, tidak menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai institusi hukum. Tentu itu sangat membahayakan dalam upaya
pemberantasan korupsi karena kitab ini tidak mengakui eksistensi lembaga
penting ini. Siapa pun tahu bahwa KPK adalah institusi yang bersifat ad hoc (auxilary state agencies). Namun, meng ingat begitu kuatnya budaya
korupsi di Indonesia, jika hanya menggunakan institusi kepolisian dan
kejaksaan dalam pember antasan korupsi, jelas tidak akan memadai. Bukan saja
karena institusi tersebut tidak bisa dibilang bersih, melainkan juga telah
kehilangan kepercayaan publik. Adalah wajib RUU ini untuk meletak kan KPK
sebagai institusi hukum dalam penegakan hukum pidana korupsi di Indonesia.
Sebagai cermin dari sensitivitas perancang RUU ini akan perlunya model
pemberantasan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa. Jika RUU ini dapat
mengakomodasi eksistensi KPK, sesungguhya tak diperlukan lagi UU organik yang
mengatur KPK. Dengan begitu, RUU KUHP ini akan menjadi kitab kodifikasi
seluruh model dan kelembagaan antikorupsi.
Ketiga, RUU ini mengatur
putusan Mahkamah Agung (MA) tidak boleh lebih tinggi dari putusan pengadilan
tinggi (PT). Ini materiil yang janggal karena pembatasan putusan hakim
merupakan pengaturan yang tidak semestinya diatur dalam RUU ini. Sebab hakim
adalah profesi independen yang dapat membuat kreasi hukum berdasarkan
keyakinan dan fakta-fakta hukum di persidangan. Ketika putusan hakim dibatasi
dalam KUHP, sama maknanya mengebiri dan mengerdilkan fungsi hakim dalam
menemukan hukum dan keadilan. Ini sangat membahayakan model penegakan hukum
tindak pidana korupsi sebab selama ini putusan hakim MA pasti lebih tinggi
dari putusan hakim PT.
Seperti tecermin dalam kasus
korupsi Hambalang dengan terdakwa Angelina Sondakh dan korupsi di Korlantas Polri
dengan tersangka Djoko Susilo. Karena itu, motif jahat dari perancang RUU ini
mencantumkan pembatasan putusan hakim MA ini untuk memagari agar hal serupa
tak terulang kembali. Karena itu, pembatasan putusan hakim ini adalah materi
RUU ini yang prokorupsi bukan antikorupsi.
Keempat, materi RUU ini bahkan
lebih tragis lagi dalam memandang arti korupsi yang kian bias sebab tidak
mengualifikasikan suap (gratifikasi) kepada pegawai negeri sipil sebagai
korupsi, tetapi hanyalah tindak pidana jabatan. Begitu pula RUU ini tak
membuat definisi dan operasional yang jelas akan arti penyuap aktif dan
penyuap pasif sebagai tindak pidana korupsi yang perlu diganjar hukuman yang
sama beratnya.
Pendeknya, upaya revisi
terhadap KUHP dan KUHAP sepatutnya didukung sepanjang dimaksudkan untuk
pembaruan guna mengisi kekosongan materi penegakan hukum terutama
pemberantasan korupsi. Akan tetapi, bila revisi KUHP dan KUHAP ini justru
menyimpan agenda untuk melemahkan pemberantasan korupsi, revisi ini patut
ditolak. Publik menginginkan revisi KUHP dan KUHAP yang antikorupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar