Alpa
Sosialisasi Askes dan Jamsostek
Effnu
Subiyanto ; Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik
(Forkep), Kandidat Doktor Ekonomi Unair
|
SUARA
KARYA, 26 Februari 2014
Sentralisasi Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) pada 1 Januari 2014 yang kemudian diturunkan menjadi
UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) memang sangat
mendesak. Dua korporasi besar BUMN, yakni PT Askes dan PT Jamsostek yang berturut-turut
berubah nama menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyatakan siap
dengan perubahan nama itu.
Iklan pada media cetak dan
elektronik sering ditayangkan untuk menyatakan kesiapan transformasi itu,
namun sisi sosialisasi dengan stake holder secara langsung ternyata sangat
minim dilakukan.
Kealpaan dua BUMN ini tentu
sangat disayangkan karena Askes dan Jamsostek akan menentukan nasib kesehatan
dan jaminan pensiunan puluhan juta orang. Nilai uang yang sudah ditanamkan
dari rakyat Indonesia kepada Askes, misalnya, kini langsung mendapat anggota
10,3 juta dari Jamkesda 175 kabupaten/kota dengan nilai premi Rp 19.225 per
orang. Ini belum termasuk nilai buku yang ditransformasi dari Askes yang
pasti bernilai triliunan.
Sementara Jamsostek mengaku
mengendalikan nilai aset sekitar Rp 147,24 triliun per November 2013. Dana
dua BUMN dari pengerahan dana rakyat Indonesia yang menjadi pelanggannya itu,
kini sangat menentukan instrumen moneter nasional dan menjadi sumber pembiayaan
utama negeri ini. Dengan kapitalisasi kekayaan sejumlah itu, maka akan
berlomba perbankan, pasar modal, obligasi, asuransi, surat utang dan masih
banyak instrumen keuangan lainnya merayu-rayu memberikan benefit menggiurkan.
Apakah benefit itu untuk pembayar iuran, tentu saja tidak, benefit itu adalah
untuk manajemen dalam konteks welfare.
Risiko dengan perubahan
nama yang sama sekali berbeda itu secara hukum tidak mudah di Indonesia.
Askes berubah menjadi BPJS Kesehatan sementara Jamsostek berubah menjadi BPJS
Ketenagakerjaan, otomatis diperlukan usaha luar biasa untuk menyesuaikan
harta kekayaannya yang ditanamkan di mana-mana. Stake holder kedua BUMN ini
otomatis mendapat risiko langsung bahwa nilai manfaat yang ditanamkan ke
berbagai institusi pengerah dana itu terancam lenyap pada 1 Januari 2014.
Tepat pada tahun baru itu, argometer Askes dan Jamsostek akan berawal dari
nol secara otomatis.
Harus
Transparan
Hal yang selama ini
diremehkan oleh umumnya para pengerah dana secara massal adalah sosialisasi.
Masyarakat tidak diberikan cukup edukasi dan pengertian bagaimana manfaat
suatu program tertentu kepada pelanggannya. Perusahaan ini mengemis-ngemis
ketika memerlukan dana namun melupakan ketika uang sudah di tangan. Bahkan
setelah uang itu terkumpul sangat besar jumlahnya, bagaimana pengelolaan dana
itu juga tidak transparan disampaikan.
Mengenai transformasi
menjadi BPJS sebentar lagi, gap informasi malah semakin besar terjadi. Rakyat
yang cerdas tentu akan bertanya, apa benefit dengan berubah nama, siapa pihak
yang diuntungkan dengan perubahan nama dan berapa benefit yang diperoleh.
Dalam tataran makro ketika
SJSN menjadi UU No 40/2004 dalam sidang-sidang DPR tentu seluruh rakyat pada
akhirnya yang diuntungkan. Namun, tentu saja pemahaman bahwa stake holder
yang loyal membayar iuran ketika Askes dan Jamsostek dalam masa-masa sulit,
tidak boleh dirugikan harus dilindungi. Jangan terkesan pelanggan loyal
selama ini dikorbankan dalam ketidak-tahuan.
Masalah berikutnya yang
kini mengemuka adalah pertentangan pemilihan Program Pensiun Manfaat Pasti
(PPMP) dan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) untuk tenaga kerja. Jamsostek
tentu saja lebih menyukai model iuran pasti daripada manfaat pasti. Jika
dengan skema PPIP, pengepul dana pasti mendapatkan jaminan jumlah iuran
dengan pasti per bulan 8 persen dari upah sementara manfaatnya tidak akan
pernah dijamin. Sementara bagi pembayar iuran tentu saja menyukai skema PPMP
yang lebih memberikan perlindungan pada saat pensiun kelak. Berapa kelak yang
didapatkan terhadap iuran yang rutin dibayarkan ketika pensiun akan dapat
diketahui sehingga tenaga kerja menjadi aman.
Pemerintah akhirnya
memutuskan memilih PPIP yang sangat tidak berpihak kepada pembayar iuran. Ini
sama saja dengan memberikan cek di muka kepada para pengurus BPJS
Ketenagakerjaan untuk bebas mengembangkan modalnya namun tidak menjamin
hasilnya. Jika misalnya para pengurus BPJS Ketenagakerjaan kelak salah dalam
berinvestasi seperti yang terjadi pada Bumiputera yang kini kolaps, maka
sangsi hukumnya tidak ada. Pembayar iuran pada akhirnya yang dikorbankan.
Celah ini harus diwaspadai oleh rakyat dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
yang pada tahun 2014 mulai memberlakukan pasal kejahatan korporasi pertama
kali.
Tidak
Mudah
Transformasi Askes dan
Jamsostek menjadi nama sesungguhnya tidak mudah karena itu jangan
disepelekan. Pada saat perubahan ini jika tidak cermat dan hati-hati
dilakukan maka sekaligus akan membuka peluang meraibkan aset triliunan kedua
BUMN itu. Indikatornya akan kelihatan di belakang hari, jika jumlah aset itu
tidak berkurang pada kesempatan hasil audit akhir tahun maka eksekutif kedua
BUMN itu telah bertindak hati-hati dan jujur. Namun jika didapatkan cerita
sebaliknya maka transformasi menjadi nama baru adalah modus korupsi baru.
Ketika masih banyak keluhan
mendapatkan layanan dan hak-hak dari Askes dan Jamsostek selama ini, maka
seluruh rakyat Indonesia harus mewaspadai tindakan moral hazard atas sebuah
korporasi tidak terkecuali. Momentum perubahan nama korporasi adalah saat
yang tepat, dari sisi manajemen untuk me-laundry semua aib-aib. Sementara
bagi rakyat adalah saat tepat untuk mengukur kesungguhan kinerja manajemen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar