Dicari,
Calon Wakapolri yang Berintegritas
Wawan
H Purwanto ; Pengamat intelijen; Direktur Lembaga
Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN)
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2014
Bandingkan dengan artikel Wawan H
Purwanto yang telah dimuat
di REPUBLIKA 25 Februari 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/02/calon-wakapolri.html
“Sosok
Wakapolri haruslah orang yang mau mendengar segala masukan, kritik, dan saran
dari mana pun, penuh semangat, energik, dan memiliki mental pengabdian.”
DI tahun politik 2014,
suasana makin ingar bingar, panas, dan bergejolak. Di saat itu pula Komisaris
Jenderal (Komjen) Oegroseno akhir bulan ini mengakhiri masa jabatannya
sebagai wakil kepala Polri (Wakapolri). Sebuah jabatan strategis yang
membutuhkan kejelian untuk mencari pengganti yang tepat guna tetap tegaknya
stabilitas nasional.
Sosok Wakapolri harus
berintegritas dan netral dan berdiri di atas semua golongan. Ini tentu tidak
mudah, mengingat kepentingan parpol juga tidak kecil guna mengamankan posisinya
di masa datang. Ada sejumlah perwira tinggi bintang tiga Polri yang saat ini
menjabat dan berpeluang menjadi Wakapolri, seperti Badrodin Haiti, Anton
Bahrul Alam, Anang Iskandar, Budi Gunawan, Suparni Parto, dan Suhardi Aliyus.
Masalah senioritas dalam jabatan sering menjadi pertimbangan sebelum ketok
palu di Wanjakti. Badrodin angkatan 82 meraih Adi Makayasa, Anton dan Suparni
angkatan 80 (jelang pensiun), Anang angkatan 82, Budi angkatan 83, Suhardi
Aliyus 85 (baru sebulan menjabat bintang 3).
Faktor angkatan juga
menjadi salah satu pertimbangan. Senioritas sering menjadikan pemikiran untuk
menghindari beban psikologis terhadap juniornya. Suara masyarakat tetap
menjadi pertimbangan, sebab Wakapolri menjadi salah satu ujung tombak
pengambil kebijakan di dalam pelayanan hukum. Yang paling penting Wakapolri
nanti merupakan sosok yang kuat integritasnya dalam mengemban amanah bangsa
melewati tahun politik yang penuh gejolak.
Sebagai anggota Polri yang
telah sampai pada job bintang tiga tentu sudah melalui seleksi ketat, dan
tidak mudah mencapai jabatan tersebut. Hal ini menjadi modal sosial guna
meraih kepercayaan publik, tinggal rekam jejak perjalanan tugasnya yang harus
ditelisik ulang. Yang pasti, Wakapolri harus bisa saling mengisi dengan
Kapolri dan tidak berseberangan. Tidak boleh ada matahari kembar dalam satu
institusi. Presiden juga harus memilih kandidat yang tepat, mengingat makin
dekatnya pemilu dan pergantian kepemimpinan nasional.
Tour
of duty dan tour of area
menjadi salah satu petimbangan pula, mengingat luasnya wilayah Indonesia.
Tuntutan transparansi dan akuntabel menjadi harga mutlak. Berbahaya, jika
sosok Wakapolri tidak netral dan tidak profesional dalam bertugas.
Problem
solver
Yang paling utama adalah
jauhkan posisi Wakapolri dari kepentingan partai. Sebab,
bila ada
keberpihakan sudah pasti akan menuai ketidakpuasan masyarakat. Pengalaman
mengatasi berbagai persoalan berat akan mematangkan profesionalisme kinerja
seorang Wakapolri. Ini bukan perkara mudah, sebab posisi Wakapolri rentan
terhadap intrik-intrik politik dari luar yang ingin kepentingannya diamankan.
Sungguh berbahaya jika ada tekanan internal dan eksternal yang membuat
pilihan jatuh berdasarkan kepada subjektivitas dan kepentingan sesaat apalagi
unsur kedekatan semata.
Dukung-mendukung sebelum
pencalonan biasa terjadi. Setiap kandidat tentu juga mencari cara agar
dirinya yang terpilih. Jabatan itu bukan hak, melainkan amanah. Jika
sebelumnya bisa memegang amanah, niscaya dia berpeluang besar tampil sebagai
pemenang. Semua calon memiliki kans untuk terpilih.
Wakapolri ke depan harus
memiliki keberanian, wawasan dan personal approach yang baik, jejaring yang
luas, tidak kompromistis, tegas dan lugas dalam menjalankan perintah,
bertindak cepat, tepat, dan terukur. Pengamanan Pemilu 2014 merupakan ujian
awal pelaksanaan tugasnya. Polisi dikatakan ideal jika mampu berdiri di atas
semua golongan. Terlebih sekarang sorotan masyarakat makin tajam terhadap
kinerja polri.
Masyarakat Indonesia begitu
majemuk dan sangat mendambakan sosok pimpinan yang profesional, amanah,
jujur, baik, tangguh, dan berwibawa. Jujur dan baik saja tidak cukup,
Wakapolri harus mumpuni dan sarat pengalaman mengatasi problem keamanan dalam
negeri.
Tingkat kepangkatan dan
senioritas tetap menjadi salah satu pertimbangan. Hal ini tentu saja
dilakukan guna menghindari adanya kecemburuan di internal. Bukan saatnya lagi
melakukan trial and error.
Sosok Wakapolri haruslah
orang yang mau mendengar segala masukan, kritik, dan saran dari mana pun.
Penuh semangat, energik, dan memiliki mental pengabdian dalam bertugas guna
mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
sebagaimana cita-cita bangsa Indonesia. Tidak mudah menemukan kembali sosok
mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso (alm).
Perlu disadari bahwa di tengah
segala keterbatasan fasilitas, sosok Wakapolri jangan kehilangan karakter.
Identitas tetap harus dijaga walau ada tuntutan mampu bekerja sama dengan
semua pihak, baik vertikal maupun horizontal. Konsolidasi internal juga
mutlak harus dilakukan, agar tercipta soliditas dan dukungan penuh anggota
atas visi dan misi Polri ke depan.
Dukungan
masyarakat
Sosok Wakapolri ideal harus
menjunjung tinggi kode etik, SOP (standard
operating procedure) dalam sistem pengamanan dan memimpin mekanisme kerja
yang efisien efektif. Bahwa di tengah keterbatasan anggaran, Polri tetap
dituntut untuk profesional.
Memang bukan hal yang mudah. Akan tetapi, dengan
kesungguhan hati, semua akan dimudahkan. Semangat crime hunter tetap melekat, buru hingga tertangkap, informasi
yang tajam dan tepercaya terus digali dari masyarakat. Tanpa kedekatan dengan
masyarakat akan sulit menyelesaikan masalah yang demikian kompleks.
Sosok Wakapolri ke depan
harus kritis, logis. Mampu menganalisis persoalan secara jeli, sehingga
menyajikan kinerja yang unggul. Polri berangkat dari fakta, bukan opini.
Wakapolri harus mampu membuat early
warning, problem solving dan
forecasting. Sistem deteksi dini dan cegah dini harus terus di-update sehingga tidak tertinggal
zaman. Kejahatan makin cangih seiring dengan perkembangan teknologi. Sikap
antisipatif tetap menjadi perilaku yang melekat dalam tubuh pemimpin Polri
yang ideal.
Kecepatan menjadi pertaruhan kinerja polri, tetapi juga harus
tepat dan akurat. Polri adalah pengayom dan pelindung masyarakat, tetapi juga
harus tegas saat mengambil tindakan dalam aksi penegakan hukum. Di sinilah
sering terjadi di mana polisi itu dibenci tetapi juga dirindukan.
Polri bersama-sama dengan
TNI bisa saling mengisi ketika harus membutuhkan tambahan pasukan yang di
BKO-kan di Polri. Kerja sama ini penting dan sangat perlu selain untuk
mengurangi bentrokan dan kesalahpahaman di lapangan. Jangan anggap
kesenjangan sebagai sesuatu yang ringan, sebab akan menciptakan bom waktu
yang setiap saat dapat meledak.
Pemilihan sosok Wakapolri jangan masuk ke
wilayah SARA. Ini menjadi kunci. Sebab Polri adalah pengawal Pancasila dan
UUD 1945. Sila dalam Pancasila bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan.
Paham yang dipegang harus integralistik dan jiwa Bhayangkara tetap dipegang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar