Memberdayakan
Pemilih Muda
Gun
Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik
UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 27 Februari 2014
Diskusi
dengan tema ”Strategi Memenangi Pemilih Muda” yang digelar Redaksi KORAN
SINDO dan Sindonews.com, Rabu (26/2), menarik dan inspiratif.
Forum
tersebut memfasilitasi bertemunya para politisi partai politik, analis dan
para aktivis muda lintas organisasi. Titik temu pemikiran yang berkembang
dalam diskusi, memosisikan pemilih muda sebagai kelompok penting dan
menentukan pada Pemilu 2014.
Substansi Peran
Secara
kuantitatif, jumlah pemilih muda di Pemilu 2014 sangat signifikan. Merujuk
data KPU terbaru, kelompok pemilih pemula yang berusia 17–21 tahun, jumlahnya
ada 18.334.458. Jika rentang usia diperlebar antara 17–29 tahun, pemilih muda
diperkirakan plus minus di angka 53 juta. Tentu tak cukup membahagiakan jika
perspektif yang dibangun hanya memosisikan kaum muda sebagai angka yang
dikonversikan menjadi suara oleh partai politik.
Sudah
selayaknya saat berbicara pemilih muda, maka seluruh pihak memiliki tanggung
jawab untuk memperkuat substansi peran kaum muda dalam penataan demokrasi
Indonesia saat ini dan ke depan. Meminjam analogi dunia bisnis, pemilih muda
ini merupakan investasi paling prospektif terutama dalam memperkuat
transformasi Indonesia melalui mekanisme demokrasi elektoral yang
memberdayakan dan menggerakkan. Jika diidentifikasi, ada tiga pelapisan
kelompok pemilih muda.
Pertama,
publik umum (general public) yang
masih awam, tak memiliki perhatian, dan sangat jarang berinteraksi dengan
wacana dan tindakan politik. Sebagian besar mereka memosisikan politik
terlebih pemilu sebagai hal di luar dirinya sehingga menjaga jarak. Lapis
kedua, adalah kaum muda beperhatian (attentive
public) yang mulai kritis, mandiri, independen, anti-status quo, tidak
puas dengan kemapanan, pro perubahan tetapi masih menjaga jarak untuk aktif
di politik terlebih dalam perebutan kekuasaan.
Lapis
ketiga, yakni kelompok elite yang selain memiliki karakteristik seperti lapis
beperhatian juga memiliki jiwa, semangat, dan motivasi tinggi untuk terlibat
penuh dalam beragam aktivitas politik. Kaum muda sendiri akan memilih peran-
peran mereka, yakni melakukan integrasi vertikal ke kekuasaan, memilih untuk
menjadi pemimpin imparsial (impartial
leader), atau mereka tetap menjadi pengikut (follower). Saat berupaya memenangi pemilih muda, partai, caleg,
dan juga capres kerap gamang dalam menerapkan model pendekatannya.
Jika
diidentifikasi, ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi partai saat
berjumpa dengan kelompok pemilih muda. Pertama, kenyataan masih banyaknya
pemilih muda yang minim pengetahuan tentang pemilu. Kedua, pemilih muda
secara umum belum memiliki keajekan dalam konstruksi berpikir sebagai
representasi sikap dan tindakan aktor dalam konteks pemilu. Makanya kelompok
ini masih kerap dilabeli sebagai massa mengambang (floating mass).
Praktiknya
di pemilu, pilihan anak-anak muda sangat mungkin berubah-ubah atau menjadi
swing voters tergantung tingkat kesukaan, penerimaan, popularitas, dan
keterpilihan partai di kalangan muda. Ketiga, masalah kesenjangan komunikasi
politik (political communication gap)
antara partai dan basis-basis pemilih muda. Praktik kerja sporadis partai
menjelang pemilu dan pendekatan yang berorientasi pemasaran politik semata,
dibaca oleh pemilih muda sebagai upaya semata-mata menjadikan mereka sebagai
objek dan angka yang akan dikumulasikan untuk kepentingan partai dan politisi
saja.
Model
yang dominan digunakan para politisi adalah model linear. Mereka
memosisikandirisebagaielite, bukan model reciprocal atau timbal balik yang
bisa menginspirasi kaum muda untuk bersinergi dalam politik kekitaan.
Keempat, PartyID atau identifikasi kepartaian yang lemah di kalanganpemilih
muda. Suasana psikologis pemilih muda saat mengidentifikasi partai dan
politisi masih belum membaik. Dampaknya, apresiasi pemilih muda terhadap
partai pun terus melemah. Opini buruk perilaku korup para politisi yang setiap
hari menghiasi media massa, menenggelamkan gaung harapan penyelenggaraan
pemilu.
Strategi Pendekatan
Apa
pun cara pendekatan partai, caleg dan capres terhadap pemilih muda, penting
bagi partai untuk menyiapkan dua hal pokok. Pertama, basis semua aktivitas
mendekati pemilih muda ini harusnya literasi politik. Partai memiliki
tanggung jawab membuat pemilih muda melek politik dan berdaya. Posisi pemilih
muda harus diperkuat dengan pertimbangan kelompok ini akan menjadi salah satu
kantong menentukan dalam regenerasi kepemimpinan baik di level nasional
maupun lokal.
Caranya,
partai politik, akademisi, kelompok kepentingan, kelompok penekan,
pemerintah, dan media massa harus bersama-sama melakukan pengarusutamaan
gerakan literasi politik. Mengutip pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000),
singkatnya literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan
dan sikap. Crick menegaskan, literasi politik lebih luas dari hanya
pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam
kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam
melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena
publik yang sifatnya suka rela.
Secara
operasional, gerakan literasi politik itu bisa dilakukan melalui upaya
mendaftar dan menganalisis isu-isu kontemporer seputar Pemilu 2014 melalui
pendekatan CFR (conclusion, finding,
recommendation), membuat peer group
untuk sharing dan melakukan aksi
bersama, menyelenggarakan pendidikan politik di basisbasis pemilih muda.
Selain
itu, juga bisa dengan mengintensifkan diskusi-diskusi politik di ICT (information and communication technology),
merekrut kaum muda dalam satu kaderisasi yang utuh mulai dari ajakan masuk ke
partai, pelibatan dalam aktivitas politik sehat, pendistribusian ke jabatan-jabatan
publik di masa mendatang. Kedua, strategi penetrasi ke pemilih muda
seyogianya mengedepankan pendekatanpendekatan public relations politik yang bersifat interaksional. Konsep Triple-C patut dipertimbangkan.
Hubungan
komunitas (community relations),
pemberdayaan komunitas (community
empowerment) dan pelayanan komunitas (community
services) yang akan mempertemukan kepentingan politisi dengan harapan
kaum muda. Partai mendapatkan dukungan di bilik suara dan pemilih muda
tercerahkan sekaligus terberdayakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar