Jasa
Tak Terhimpun, Dosa Tak Berampun
Sarlito
Wirawan Sarwono ; Psikolog Universitas Indonesia
dan
Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
26 Februari 2014
PADA
3 Februari 2009, demonstran dari kelompok pemekaran Provinsi Tapanuli
berhasil menyerbu masuk gedung DPRD Provinsi Sumatera Utara. Terjadi
kericuhan di dalam ruang sidang yang berakibat Ketua DPRD Provinsi Sumatera
Utara Abdul Azis Angkat tewas.
Ketika
itu polisi disalahkan karena tidak mampu mengendalikan massa.
Di
sisi lain, pada 24 Desember 2011 polisi bertindak tegas membubarkan massa
yang memblokade Pelabuhan Sape di Bima, Nusa Tenggara Barat. Namun, mereka
juga disalahkan karena ada dua korban di pihak massa. Padahal, dengan
dibebaskannya Pelabuhan Sape masyarakat bisa merayakan Natal di tempat
masing-masing. Kapolda dan kapolres dituding sebagai pihak yang bertanggung
jawab. Mereka diminta mundur.
Banyak
contoh lain yang bisa dideretkan di sini. Dalam pembahasan Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru di DPR
tidak ada yang membela polisi. Padahal, kewenangan penyelidikan
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) akan ditiadakan. Mana mungkin polisi
bekerja tanpa kewenangan penyelidikan? Apalagi dalam hal RUU Ketahanan
Nasional tahun lalu dan yang paling mutakhir RUU Perubahan UU Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian, Polri benar-benar harus berjuang sendirian.
Nasib polisi
Itulah
nasib polisi. Jasa tak terhimpun, dosa tak berampun. Setiap anggota
kepolisian tahu itu. Namun, apa mau dikata?
Faktanya, Aiptu Labora Sitorus yang bukan jenderal saja bisa menumpuk
duit berkontainer-kontainer, apalagi yang jenderal.
Dan
untuk menjadi jenderal di Polri, konon, tidak susah. Lika-liku di dalam
manajemen SDM Polri bisa dimanfaatkan oleh setiap anggota Polri yang mau memanfaatkannya.
Banyak
sekali hal di dalam Polri yang dianggap masyarakat di luar sebagai bisa
dipermainkan. Itulah sebabnya masyarakat tidak percaya kepada Polri, apalagi
mendukungnya.
Sebagian
masyarakat bahkan bukan lagi hanya curiga kepada Polri, melainkan sudah
menganggapnya sebagai musuh. Penembakan dan pembunuhan terhadap anggota Polri
yang sedang berdinas dan di luar dinas, yang jumlahnya makin meningkat pada
2013, merupakan bukti bahwa Polri adalah public enemy bagi sebagian
masyarakat.
Pemikiran
seperti ini tentu saja sangat keliru. Tanpa Densus 88, misalnya, mungkin kita
tidak bisa tidur nyenyak sejak Bom Bali I karena setiap hari ada bom meledak,
seperti yang terjadi di Irak dan Afganistan.
Orang
Jakarta sudah bisa menikmati layanan traffic management center (TMC) yang
disiapkan oleh Polda Metro Jaya melalui televisi dan Twitter untuk
menghindari kemacetan lalu lintas. Polisi bersama TNI (bukan IPW, Kompolnas,
atau Komnas HAM) selalu yang paling dulu hadir membantu masyarakat di saat
bencana. Beberapa penelitian yang pernah saya lakukan tentang tanggapan
masyarakat terhadap Polri (2012 dan 2013) membuktikan bahwa bagaimanapun juga
masyarakat membutuhkan polisi.
Momentum
Akan
tetapi, memang betul sudah saatnya Polri mengadakan koreksi ke dalam.
Reformasi Birokrasi Polri (RBP) dan Rencana Strategis (Renstra) Polri yang sudah disusun dan mulai diterapkan
sejak masa Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo perlu diikuti dengan
tindakan-tindakan nyata dari Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman terhadap jajaran
Polri yang terbukti masih berperilaku menyimpang.
Momentumnya
sekarang sedang pas karena masyarakat masih penuh harap terhadap Kapolri
Sutarman yang dianggap sebagai perwira tinggi Polri yang bersih dan hampir
tidak punya catatan cela dalam kariernya.
Demikian
juga dengan Wakil Kapolri Komjen
Oegroseno yang, meski sudah masuk usia pensiun pada 19 Februari 2014, masih tetap
dipertahankan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tanpa
mengurangi penghargaan kepada Polri sendiri, jika kapolri dan wakapolri bisa
menunjukkan kinerja yang konkret seperti Jokowi-Ahok (keruk kali yang mampet,
relokasi pedagang kaki lima, menambah bus transjakarta, pecat pejabat yang
”brengsek”), dengan sendirinya publik akan mendukung Polri.
Divisi
Hubungan Masyarakat (Humas) Polri bisa duduk manis saja karena media massa
dan media sosial otomatis akan menjadi humas Polri, seperti media massa dan
media sosial sekarang juga selalu mendukung setiap langkah Gubernur dan Wagub
DKI meski banjir dan macet masih tetap terjadi di Jakarta.
Yang
kita perlukan dari Polri sekarang adalah KKN: kemauan kerja nyata! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar