Rupiah
Menguat dan Stabil
A
Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
27 Februari 2014
Rupiah
belakangan ini mulai menunjukkan gejala positif: menguat dan stabil. Awal
pekan ini, rupiah menguat ke level Rp 11.728 per dollar AS (24/2). Selain
menguat, rupiah juga menunjukkan level stabilitas yang cukup tinggi. Bahkan,
sebelum rupiah menguat sampai di bawah Rp 12.000 per dollar AS, Bank Indonesia
sudah dibuat percaya diri untuk tidak mengubah kebijakan suku bunganya, BI
Rate tetap 7,5 persen. Sesudah itu, rupiah bahkan terus mengalami apresiasi.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Penguatan
rupiah, sebagaimana halnya sebelumnya pelemahan rupiah hingga Rp 12.200 per
dollar AS, selalu disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal berupa dinamika perekonomian global, terutama yang terjadi
di Amerika Serikat. Adapun faktor internal—sebenarnya juga tidak sepenuhnya
internal karena banyak variabel ekonomi global yang memengaruhinya —mengacu
pada kondisi obyektif kinerja fundamental ekonomi (economic fundamentals), seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi,
suku bunga, neraca pembayaran, neraca transaksi berjalan, dan neraca perdagangan.
Dari
sisi eksternal, penguatan rupiah terjadi karena arus modal masuk (capital inflows) yang kencang. Ini
bisa dideteksi dari bergairahnya pasar modal sehingga Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) tercatat 4.623 pada Senin (24/2). Dominasi investor asing di
Bursa Efek Indonesia (BEI) masih sangat besar, diperkirakan sedikitnya 50
persen. Fluktuasi IHSG banyak ditentukan oleh aktivitas investor asing.
Peristiwa
ini tidak cuma di Indonesia. Di India, mata uang rupee yang selama ini paling
tajam terdepresiasi selain rupiah, juga mendadak menguat karena ditopang oleh
masuknya dana global (The Economic
Times, 24/1). Mata uang India praktis bisa kita pakai sebagai pembanding
(benchmark) karena ada beberapa
kesamaan karakteristik dengan kita. Kedua negara sama-sama merupakan negara
berkembang dengan pertumbuhan ekonomi tinggi (emerging countries) yang belakangan ini sama-sama kedodoran dalam
hal infrastruktur sehingga mulai kurang diminati investor global.
Faktor stimulus ekonomi AS
Mengapa
dana global yang semula mengalir ke New York kini mulai beralih ke
negara-negara emerging markets? Jawabnya adalah di AS sendiri timbul polemik
seputar stimulus ekonomi. Pengurangan stimulus ekonomi menimbulkan dua kubu.
Dari kubu Partai Republik (oposisi), cenderung mengkritik efektivitas
stimulus ekonomi yang dilakukan pemerintah federal. Defisit fiskal rata-rata
1 triliun dollar AS diragukan efektivitasnya, bahkan diramalkan akan
menyebabkan
crowding
out, yakni suku bunga akan terdorong ke atas.
Namun,
Paul Krugman membantah dugaan ini (”The
Stimulus Tragedy”, The New York Times, 22/1). Stimulus fiskal tidak
terbukti menyebabkan crowding out. Buktinya, suku bunga terus diturunkan
hingga mencapai level terendah sepanjang sejarah AS, yakni sekitar 0,25
persen. Tren suku bunga rendah ini juga terjadi di Eropa. Bank Sentral Eropa
(ECB) juga menetapkan suku bunga acuan 0,25 persen. Semua ini dimaksudkan
untuk memberikan stimulus pertumbuhan ekonomi.
Editorial
koran The New York Times (22/1)
juga mencatat serangkaian data yang menunjukkan bahwa sejak stimulus
dikeluarkan Presiden Barack Obama pada 2009, telah dibangun 72.000 kilometer
jalan, 2.700 jembatan diganti atau diperbaiki, tercipta 1,6 juta pekerjaan
setiap tahun. Jika tidak ada stimulus, 5,3 juta orang akan menjadi miskin.
Karena itu, stimulus seyogianya dilanjutkan karena telah terbukti
efektivitasnya.
Stimulus
lain, yakni pencetakan uang untuk membeli kembali obligasi Pemerintah AS (quantitative easing), semula
diperkirakan akan berakhir pada Oktober 2014. Kepala The Fed yang baru, Janet
Yellen, diduga akan mengeksekusinya. Namun, sekarang muncul banyak pendapat
bahwa stimulus masih perlu dilanjutkan. Polemik ini memicu kebingungan para
investor yang semula sudah memegang erat aset-asetnya dalam denominasi dollar
AS yang kemudian mengalirkan dananya ke emerging markets. Inilah fenomena
yang menyebabkan rupiah dan rupee yang semula paling terpuruk di antara mata
uang Asia, kini cenderung menguat.
Dampak
dari mengalir-masuknya modal asing ini adalah meningkatnya cadangan devisa
kita, kini kembali di atas batas psikologis 100 miliar dollar AS. Itulah
sebabnya rupiah terus menguat.
Sementara
itu, di sisi lain, memang terjadi perbaikan dalam indikator ekonomi makro
kita. Yang paling utama adalah neraca keseimbangan eksternal (external balance). Data terbaru neraca
perdagangan, November dan Desember 2013 mencatat surplus yang signifikan.
Surplus Desember 2013 sangat mengesankan: 1,52 miliar dollar AS. Sepanjang
2013, meski masih mencatat defisit 4 miliar dollar AS, angka ini lebih rendah
daripada ekspektasi semula 5 miliar dollar AS-6 miliar dollar AS. Begitu pula
defisit transaksi berjalan 28 miliar dollar AS berada di bawah proyeksi
semula 32 miliar dollar AS.
Membaiknya
kinerja ekspor dan menurunnya ekspor hampir pasti disebabkan oleh melemahnya
rupiah. Kejadian ini mirip dengan peristiwa krisis 1998 ketika rupiah melemah
ke level Rp 12.000 per dollar AS, daya saing produk kita serta-merta
meningkat. Ekspor pun meningkat, sementara impor melemah sehingga surplus
perdagangan melebar.
Hal
ini berkebalikan dengan yang terjadi di AS. Jika pengurangan stimulus moneter
(tapering off) dilanjutkan, dollar
AS akan terus meroket tajam. Ini tidak baik bagi neraca perdagangan AS yang
sudah defisit besar, terutama terhadap China. Apa lagi mata uang China (yuan)
sekarang justru sedang melemah seiring dengan melemahnya indikator ekonomi
makronya, terutama pertumbuhan ekonomi yang ”hanya” 7,7 persen atau level
terendah sejak 2001.
Seperti
diketahui, Pemerintah China mengawal ketat pergerakan kurs yuan dan hanya
mengizinkan yuan berfluktuasi 1 persen dalam sehari (Bloomberg, 25/2). Sistem
kurs ini dimungkinkan karena Pemerintah China memiliki cadangan devisa
terbesar di dunia: 3,8 triliun AS.
Pesan
yang bisa diperoleh dari fenomena ini adalah modal global akan senantiasa
mondar-mandir dari negara maju (AS dan Eropa) ke negara-negara emerging markets (China, India,
Indonesia, Brasil). Dinamika ini begitu cepat atau sensitif. Hanya dengan
wacana tapering off, di mana
stimulus QE diturunkan dari 85 miliar dollar AS ke 65 miliar dollar AS, sudah
cukup membuat rupiah terpuruk ke Rp 12.200 per dollar AS. Sebaliknya,
perdebatan tentang efektivitas stimulus di AS ternyata mampu mendorong dana
global dikirim ke Jakarta sehingga IHSG berada di zona hijau 4.600-an dan
rupiah tampak stabil di Rp 11.700-an per dollar AS.
Prospek rupiah
Pertanyaan
selanjutnya: apakah penguatan rupiah akan berkelanjutan? Menurut saya,
prospek ke arah sana sangat cerah. Berbeda dengan Thailand, Turki, dan
beberapa negara lain yang mengalami instabilitas politik, Indonesia tampak
benar-benar mantap dan stabil menghadapi pemilu legislatif (April) dan pemilu
presiden (Juli 2014). Stabilitas politik akan menjadi kunci berlanjutnya
stabilitas dan penguatan rupiah.
Kita
sudah berpengalaman terhadap instabilitas politik yang menyengsarakan
perekonomian pada 1998. Karena itu, kita tidak mau itu terulang. Saat ini
kita sudah cukup dewasa dan sanggup menghindarinya. Momentum pemilu hendaknya
kita manfaatkan benar untuk membentuk pemerintahan yang lebih baik dan
presiden baru dengan karakteristik kepemimpinan kuat. Saya tidak meragukan
hasrat kita untuk secara antusias mewujudkannya. Tahun Pemilu 2014 bukanlah the year of living dangerously.
Percayalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar